Senin, 22 Juni 2020

Cerbung: Percakapan Rara dan Bunda (I)

"Tidaklah cukup jika kita berdoa ingin menjadi seseorang yang baik, tapi tidak berusaha mendesain lingkungan yang men-support hal tersebut. Tidak pula cukup jika kita berdoa ingin dipertemukan dengan pasangan yang baik, tapi tidak berusaha mengejar lingkaran tempat orang-orang baik tersebut berkumpul." - Bunda
Kesyahduan di Bukit Artapela, Majalaya
Hari itu mata Rara berat sekali, padahal belum genap pukul tujuh malam, tapi Rara sudah berjalan sempoyongan menuju kasur di ruang depan. Ada Bunda juga di sana, tengah tidur-tiduran sambil menonton video Youtube kajian Ustaz Hanan. Tanpa aba-aba, Rara menerobos masuk mendamparkan dirinya ke kasur, tepat di sebelah Bunda.

"Bun, Rara izin merem sebentar ya di sini,"

"Iya, gapapa. Jangan tidur dulu, belum shalat isya, 'kan?"

"He eh," ujar Rara setengah sadar. Disambut dengan tawa kecil Bundanya. Kalau habis magrib sudah mengantuk, pasti karena malam sebelumnya kurang tidur, begitu pikir Bunda mengingat Rara yang pagi tadi menjalankan shalat malam.

"Ra, biar ga tidur dulu. Sambil Bunda ajak ngobrol ya," ujar Bunda gemas. Disambut dengan jawaban lirih Rara, "Iya, Bun."

"Rara pernah nggak membayangkan bagaimana pasangan Rara di masa depan nanti?"

Mata Rara tadinya berat, tapi begitu mendengar pertanyaan Bunda yang lebih berat, Rara langsung terbelalak, "Bunda ini nggak ada intro langsung ngomongin soal begituan aja ih," protes Rara.

"Haha nggak apa, 'kan? Toh sepertinya buat Mba Rara juga bentar lagi bakal ada yang datang," ujar Bunda begitu puas menjaili putri sulungnya, "Jadi gimana?"

"Hmm..." Rara mulai bergumam, "belum kebayang sih, Bun. Rasanya kok Rara masih anak-anak aja ya sampai sekarang?"

"Haha iya. Sampai kapanpun kita akan terus merasa masih anak-anak, kok,"

"Rara tahu," lanjut Bunda, "Kalau kita mau melihat seperti apa pasangan kita nanti, selain melihat ke dalam diri sendiri, lihat jugalah lingkungan tempat kita berkegiatan sehari-hari. Dijamin karakteristiknya nggak akan jauh-jauh."

"Eh kok gitu sih, Bun? Apa artinya jodoh kita tuh pasti yang selingkaran sama kita?" tanya Rara penasaran. Dalam hatinya, Rara tidak sepakat kalau harus demikian, 'kan banyak juga kasus yang baru kenal saja bisa bersama.

"Bukan begitu, Mba," koreksi Bunda, "Lebih tepatnya, kita akan dipertemukan dengan seseorang yang memiliki tujuan, keresahan, nilai hidup, bahkan kebiasaan yang mirip seperti kita,"

"Makanya menentukan lingkungan tempat kita belajar dan berkarya itu penting. Lingkungan itulah yang akan membentuk diri kita dan masa depan kita nanti, pun perihal pasangan ini. Seperti burung, yang hanya hinggap di dahan tempat burung sejenis berkumpul, begitu pula manusia, yang se-rasa dan se-asa akan bersama. Bukan berarti tidak bisa diperjuangkan, justru sangat bisa untuk kita desain sendiri. Maka jika ingin menjadi manusia yang baik dan mendapat pasangan yang baik, Mba Rara juga harus mengejar lingkungan-lingkungan yang baik tersebut, meskipun Mba Rara belum merasa pantas untuk itu. Meskipun bagi Mba Rara, rasanya sulit sekali untuk bertahan di lingkungan tersebut, untuk menyamai kebaikan-kebaikan yang dimiliki orang-orang di sana."

Mendengar penuturan Bunda, hati Rara merasa tenang sekaligus penuh pertanyaan. Rara merasa Bunda cakap sekali membaca apa yang Rara rasa belakangan ini. Perasaan tidak pantas berada di lingkungan yang baik, karena merasa masih begini-begini. Selama ini, Rara khawatir keberadaannya di lingkungan yang baik tersebut malah membuat Rara menjadi manusia hipokrit. Tapi mendengar nasihat Bunda, Rara sadar kalau yang lebih hipokrit daripada itu adalah ketika kita berdoa ingin menjadi orang baik, tapi tidak berusaha untuk mengejar lingkungan yang baik tersebut.

"Hm.. Bun, Mba Rara boleh nanya?" tanya Rara pelan, setengah malu.

"Lho... Justru Bunda nantikan, lho," kata Bunda geli mendapati kekikukan putrinya sendiri.

"Hehe... Bun, misal nih Rara udah berada di lingkungan yang baik, bertemu dengan orang-orang baik, tapi Rara merasa belum menjadi orang baik. Kemudian suatu hari datang lelaki yang baik, baiiik sekali. Sampai Rara merasa nggak pantas untuk lelaki itu... Rara harus bagaimana, Bun?"

Bunda kembali tertawa geli. Sementara Rara telanjur malu telah membuka keresahannya selama ini. Nyatanya, pertanyaan Rara bukan hanya pertanyaan Rara. Banyak 'kan di antara kita yang bertanya-tanya mengenai seberapa boleh kita berharap akan yang terbaik saat diri kita sendiri masih penuh alfa? Banyak bukan yang tidak yakin apakah pantas atau tidak untuk berdoa tentang nama yang kebaikannya sangat jauh dari diri kita?

Untuk jawaban Bunda, nantikan di bagian kedua ya! :)

Bersambung ke bagian kedua.

5 komentar:

  1. MaasyaAllah suka.. 💕 ditunggu episode berikutnya tehhh ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Huaaa alhamdulillah terima kasih banyak sudah mampir dan meninggalkan jejak :)

      Hapus
  2. Jawaban bunda ditunggu nih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Temukan jawaban Bunda di sini ya http://catatan-alifia.blogspot.com/2020/07/cerbung-percakapan-rara-dan-bunda-ii.html?m=1

      Semoga jawabannya menenangkan :)

      Hapus
  3. Uwow mantap teh Nuzul, arahnya kesana ahah. Ketje

    BalasHapus