Senin, 06 Juni 2016

METAMORF [III]

Sudah berapa laksa bincang kita menuai senyap?
Padahal aku tak pernah membubuhi titik,
kau hanya berlalu.
Pelesat pilu.

Ada aku di balikmu.
Mengukir pisah di punggung yang tengah berlalu itu.
"Sampai bertemu,"
biar bincang kita selesai di sini dulu

[Bagian Ketiga: Memahami]

mari duduk sejenak sebelum cangkir (dan bincang kita) lenyapgambar oleh Rafika

[baca dahulu]

Manusia sering terjebak pada pertanyaan: apa yang sesungguhnya harus diperjuangkan? Namun suatu hari aku bertemu dengan lelaki ini. Dia berhasil membuat segalanya tampak sederhana. Dia berkata, perjuangan bisa jadi ialah barisan doa. Doa yang ditambatkan kencang-kencang pada bintang karena dia sempat khawatir doa itu akan jatuh berpulang ke bumi. Ia khawatir kalau kalau doa itu ikut mati bersama tanah atau membusuk menjadi kompos. Lelaki itu menjaga doanya rapat-rapat dalam ransel supaya tidak ada yang mencuri dengar. Bahaya bila ada! Doa tentang perempuannya tidak boleh diketahui siapa pun (untuk saat ini). Sampai sang lelaki bisa kembali dengan bekal yang lebih layak. Kembali pada sang perempuan dengan perbincangan yang semoga nantinya tiada usai. Tidak menuai senyap seperti yang terjadi hari ini.

Sang lelaki dan perempuan, Rafa dan Sabia, lagi-lagi aku harus terpukau pada keabsurdan kisah mereka. Mungkin karena cerita ini berhias diksi ia terlihat tak sungguh ada dalam realita, tetapi percayalah, ia benar adanya.

*

"Aku akan merantau,"

"Untuk apa, Raf?"

"Agar bisa kembali, Fi. Hanya saja, aku ingin kembali dengan bekal yang lebih baik. Dengan deretan hal yang bisa menjadi bahan perbincangan aku dan dia nanti. Tentunya di saat yang paling tepat, aku harap."

**

Syahdu. Pagi hari tepat di hari kelulusan begitu hening. Menarik semua jiwa masuk ke dalamnya. Menyelami dasarnya. Mendaki tingginya. Sungguh Tuhan Mahakuasa dalam mencipta mega yang berarak. Tuhan Mahadaya dalam mencipta langit yang kokoh meski tanpa tiang. Benar, adakah kuasa-Nya yang bisa kita sangsikan?

Di hari kelulusan ada yang tidak datang. Bahkan tidak memberi keterangan, seakan hilang bersama selesainya rentetan ujian masuk sekolah lanjutan. Namun ingar-bingar sorak wisudawan telah melenyapkan tanda tanya tentang keabsenan salah satu di antara mereka. Semua (sempat) lupa kalau ada yang tak ada. Meski yang-tak-ada sebenarnya tengah mendoakan kebahagiaan bagi yang lain.

Rafa, dia lah orang yang tidak datang. Hilang dari kerumunan wisudawan berkalung medali. Nyatanya ia sedang menyendiri di balik pintu kamarnya. Entah apa yang tengah ia lakukan. Kemudian aku ingat kalau dia berencana untuk langsung hilang, merantau katanya. Mungkin butuh tiga--empat tahun untuk dapat menemuinya lagi. Namun, ah, benarkah?

Rafa pernah bercerita, tentang dirinya yang telah memahami bahwa ada banyak hal yang tidak bisa dipaksakan dan harus dilepaskan. Salah satu hal yang sudah bulat di kepalanya tentulah mengenai Sabia. Rafa telah sampai pada kesimpulan bahwa "bincang"-nya dengan Sabia, haruslah selesai (dulu) di sini.

Bukan karena Sabia telah menolaknya mentah-mentah, bukan. Rafa tidak pernah sampai ke tahap Sabia tahu segalanya sehingga tidak ada alasan bagi Sabia untuk menolak Rafa. Bukan juga karena Rafa sudah berputus asa pada Sabia, bukan. Perjalanan Rafa terlampau jauh untuk kembali mundur dengan penyesalan.

Rafa hanya berharap, dengan pergi, ia menemukan alasan untuk kembali. Hingga saat ini biarlah Rafa merangkum doa banyak banyak agar kelak bisa ia panen dengan bahagia. Hingga saat ini biarlah Rafa memahami lebih dalam agar kelak ia bisa memberi lebih banyak. Hingga saat ini biarlah Rafa menjelajahi tanah rantau, mempelajari ilmu kehidupan, dan menekuni kekayaan lokal agar kelak kala berjumpa lagi, Rafa punya "bincang" yang lebih banyak dengan Sabia.

Sesederhana itu.

Di saat yang lain, ada selembar kertas yang terselip di buku merah bata Sabia. Dilipat dengan rapi membentuk persegi panjang bak envelope. Sayang, perekatnya kurang rapi sehingga Sabia butuh waktu berkali-kali lebih lama untuk membuka kertas itu dengan hati-hati.

Sabia membaca isinya. Sebuah tulisan berjudul "Di Tempat Kita Hujan".

Ada hujan 
menampar-nampar hatiku kala bersama kamu. 
Menyudahi esok sebelum ada kamu di dalamnya. 
Ia tahu kamu sesemu bayangan yang mewujud 
bila hujan lupa datang dan pulang. 
Kamu sakral 
sebab aku tidak menyadari kamu selain sebagai ritual 
waktu makan, malam, dan senggang. 
Lalu saat aku tersadar 
Sudah ada hujan di tempat kita.
 Hatiku terpaut salah satu rintiknya
 ditampar ke tanah
sebab hatimu 
telanjur mengenaliku sebagai genangan.

Sedetik ... lima detik ... sepuluh detik ... 30 detik sudah Sabia habiskan, tetapi tulisan itu tak kunjung selesai ia baca. Bukan karena sulit dibaca, tetapi Sabia hanya tidak paham pada banyak hal yang berusaha diutarakan penulis tulisan tersebut. Untuk saat ini, Sabia hanya belum memahami.

Untuk saat ini, Rafa hanya berusaha mencari bekal lebih banyak lagi.

***


2 komentar:

  1. Aku ngikutin cerita Rafa dan Sabia ini lho Fi, penasaran gimana kelanjutannya, semoga mereka bahagia ya... untuk masing-masing keduanya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihi insya Allah keduanya akan menemukan akhir yang baik di sebaik-baiknya waktu, tempat, dan rencana :)

      Hapus