Senin, 20 Agustus 2018

#Entropi 5 || Berlomba

Disclaimer: ilustrasi gambar tidak berhubungan dengan tulisan wks

Pernah mendengar kisah ini?
Suatu hari seorang guru menggambar dua buah garis di papan tulis. Garis tersebut sama-sama horizontal, tetapi berbeda panjang; satu garis lebih panjang dibanding yang lainnya.
Sang guru bertanya pada muridnya, "Coba di antara kalian siapa yang bisa membuat kedua garis itu sama panjang?" 
Beberapa murid terkekeh. Tidak memahami maksud sang guru, malah merasa instruksinya konyol sekali. "Bukankah tinggal dihapus saja kelebihan garis yang panjangnya?" pikir mereka. 
Akhirnya di antara mereka ada yang memberanikan diri maju ke depan. Anak ini dengan percaya diri mengambil penghapus dari meja gurunya. Ia lantas menghapus sebagian garis yang panjang. Kedua garis itu kini sama panjang, persis seperti instruksi sang guru. 
Sang guru lamat-lamat mengamati. Sama sekali tak berkomentar, tetapi ia mengambil kapur putih dan mulai menggambar lagi. Murid-muridnya terkejut, yang digambar oleh sang guru persis seperti sebelumnya: dua buah garis horizontal yang berbeda panjangnya. 
"Ada yang mau mencoba lagi?" tanya sang guru, kali ini dengan senyum yang amat mencurigakan. 
Seorang anak dari bangku pojok kiri depan mengangkat tangan. Setelah dipersilakan, anak tersebut maju menghadap sang guru. Namun alih-alih mengambil penghapus, ia meminta izin untuk meminjam kapur putih. 
Anak ini menarik garis pada ujung garis pendek hingga sama panjang dengan garis satunya. 
Sang guru tersenyum, kemudian berkata: "Seharusnya demikianlah kita memaknai kehidupan,"
*

"Pak Karni, tolong apa bedanya pertandingan dengan perlombaan?" suatu hari Aa Gym dalam salah satu talkshow populer di sebuah saluran televisi swasta bertanya.

"Pertandingan itu," Bang Karni selaku moderator mencoba menjawab, "harus bertarung dan mengalahkan salah satu, kalau perlombaan semacam kompetisi sampai di finish,"

cuplikan talkshow, sumber Youtube

Tidak bisa dipungkiri, dunia adalah dimensi yang riuh sekali. Sibuk oleh berbagai hal yang harus dikejar. Banyak nian urusan yang berlalu lalang, mulai dari hal sesepele dresscode harian sampai ke ambisi perpolitikan.

Kadang menyesakkan bukan? Mengikuti seluruh standar tak kasatmata dunia seringkali membuat batin kelelahan. Oalah, apa yang salah? Apakah kompetisinya yang toksik? Apakah lawannya yang penuh taktik?

Dulu, Umar bin Khattab juga sama.

Berkali-kali berusaha menandingi derma Abu Bakar. Sebanyak itu pula dikalahkan oleh Abu Bakar.

Yang menyedihkan adalah iktikad baik Umar tidak pernah di-acc oleh Rasulullah. Rasulullah hanya membolehkan Umar berderma apabila keluarga di rumahnya masih terjamin urusannya. Beda halnya dengan Abu Bakar yang sah-sah saja 'hanya' meninggalkan "Allah dan Rasul-Nya" (atau iman) kepada keluarga di rumah.

Umar bisa saja kesal dan protes ke Rasulullah, "eh piye iki kok ndak adil to?". Umar bisa saja sikut-menyikut dengan Abu Bakar. Namun tidak. Secemburu apapun Umar dengan "pencapaian" Abu Bakar, Umar lebih mementingkan sibuk dengan "pencapaian" versinya: menjadi panglima tertangguh Islam, Al-Faruq. Yang di masa kekhalifahannya, 1/3 dunia berada di bawah panji Islam.

Dulu, Salman Al-Farisi juga sama.

Sudah hendak melamar wanita yang dicinta, eh ditikung oleh sahabatnya sendiri yang mendampingi lamaran.

Salman sudah berdebar-debar menanti jawaban sang wanita. Abu Darda sebagai jubir lokal (asli Madinah) diharapkan bisa menjadi gerbang utama. Dan ah tak disangka-sangka, plot twist terjadi, wanita tersebut malah menginginkan Abu Darda sebagai pendamping hidupnya.

Salman bisa saja pundung dan menghalangi Abu Darda, toh wanita ini tag-nya dia. Toh Salman yang sudah menyiapkan mahar dan uang perayaan segala rupa. Namun ternyata, se-nyesek apapun Salman dengan "pencapaian" Abu Darda, Salman lebih mementingkan the greater good dibaliknya. Tak tanggung-tanggung, Salman menjadi sponsor utama pernikahan Abu Darda, semua persiapan pernikahannya ia pindah tangankan untuk sahabat tercinta.

**

Jadi apa yang berbeda?

Yang berbeda barangkali tidak ada, kecuali sikap kita. Yang salah barangkali bukan dunia, bukan berbagai kompetisi yang ada, tetapi kembali lagi: diri kita. 
"The problem is not the problem. The problem is your attitude about the problem," - Captain Jack Sparrow
Karena jika di mata kita segala hal adalah pertandingan, kita akan berakhir saling menjatuhkan. Kita akan berakhir resah dengan pencapaian orang-orang. Kita akan berakhir kerdil merasa telah dijatuhkan, padahal entah dijatuhkan oleh siapa.

Berbeda ceritanya jika di mata kita segala hal adalah perlombaan. Maka kita berharap semua orang akan sama-sama mencapai garis finish. Maka kita akan menolong yang lain mencapai garis finish yang sama. Maka kita akan bersungguh-sungguh menjadi pemenang akan diri kita sendiri--menjadi lebih baik dari kita yang sebelumnya.

Jika kita melihat segala hal sebagai perlombaan, kita akan mendapati ketentraman, bahwa meskipun caranya berbeda, semua orang sedang memperjuangkan kebaikan. Kita akan berbaik sangka pada perjuangan tiap orang.

Jika kita melihat segala hal sebagai perlombaan--persis seperti anak di pojok bangku kiri pada cerita tadi--kita akan memanjangkan diri, memantaskan diri untuk finish yang terbaik. Dan yang terpenting, kita melakukan hal tersebut tanpa perlu memendekkan yang lain. Malah sebaliknya, kita akan mengajak semua untuk memanjangkan dirinya :)

***

Final note: Surga terlalu besar untuk seorang diri. Betapa indah agama meminta kita untuk mengajak yang lain sampai ke garis finish yang sama.
"... Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Baqarah: 148)


4 komentar: