Jumat, 29 September 2017

VALENSI (II)

[sebuah imaji]

"Padahal begitulah sejatinya," ujarmu di suatu saat.

"Apa?" tanyaku tak paham.

"Sejatinya, haru-lelah-senang-pasrah, s e m u a, ialah rasa, ialah akibat,"

"Lalu?"

"Lalu..., kamulah penyebab,"
*
BAGIAN KEDUA: MOLEKUL

Bagian Sebelumnya:
Percakapan pertama boleh jadi amat berbeda dengan pertemuan pertama.


Tepat sebelum seluruh mahasiswa baru disibukkan dengan seremonial inaugurasi, pertemuan telah lebih dahulu diskenariokan Tuhan. Belum genap pukul enam, tetapi badan sudah kuyup oleh keringat hasil bermenit-menit pencarian.
Pola pikir mahasiswa baru--atau mungkin hanya aku: lebih baik bersegera tanpa bersiap daripada bersiap tapi terlambat. Sudah terlalu banyak suudzan dengan omelan teklap. Membuatku memutar-mutari kampus tanpa bekal hafalan denah tujuan. Karena bingung, dan daripada malah nyasar sampai Ujung Berung, strategi harus di-reset. 
"Oke, sekarang coba bidik saja yang warna nametagnya sama, baca jurusannya, ikuti kalau serupa." pikirku waktu itu.
Dan ternyata tidak semudah itu.
Dengan sedikit tema warna nametag dan berpuluh-puluh jurusan, terlalu banyak variabel yang di luar dugaan. Kelihatan memerhatikan nametag makhluk lain pun akan amat memalukan. Lebih baik hilangkan dulu gengsi, malu bertanya kan sesat di jalan?
Kemudian terlihat seseorang.
Nametagnya berwarna sama: merah bendera. Jalannya setengah berlari. Namun, aku berhasil membaca nama jurusannya. Aha! Sama!
"Ke JICA?" tanyaku, patah-patah berusaha mensejajari langkahnya.
Orang tersebut hanya mengangguk-angguk. Enggan mengaku tak tahu jalan, aku memutuskan untuk mengikuti saja dari belakang. Sampailah di gedung tujuan, betapa tertolong karena masih ada semenit sebelum memasuki waktu terlambat. Luar biasa nyaris!
Ah, esok-esoknya, aku harus berterima kasih pada orang tersebut. Yang enggan berucap sehingga aku tidak menghitung pertemuan dengannya itu sebagai percakapan. Tetap saja, aku harus berterima kasih. Ya, berterima kasih karena ia telah datang untuk menguji.
**
Terima kasih, kamu. Terima kasih karena telah datang, meskipun nantinya kamu akan pergi. Tidak mengapa untukku. Setidaknya kehadiranmu sedikit-banyak telah memperkaya kontemplasiku akan sebongkah makhluk bernama perasaan. Makhluk yang kadang membuat desiran halus di dadaku, mewujud dingin dan hangat yang tak menentu. Kadang juga ia menjadi kayu bakar pemicu semangatku. Dan kamu, telah menjadi salah satu reaktor muktahirku. 
Terima kasih, kamu. Terima kasih karena telah bertamu, meskipun pada akhirnya aku hanya tempat singgahmu. Tidak mengapa untukku. Kamu membuatku berupaya tidak menunjukkan ala kadarnya aku. Kamu telah memperempuankan aku, meskipun aku belum tentu menjadi perempuanmu.  
Terima kasih, kamu. Terima kasih karena telah menguji, meskipun kamu tidak tahu-menahu tentang ini. Tidak mengapa untukku. Aku memang dengan sengaja menutup rapat semua gelisah dan khawatirku. Nyatanya aku memikirkanmu sebagai salah satu variabel penting masa depanku.  
Dan terima kasihku yang paling tinggi datang melalui aku yang nyatanya masih diselimuti lalai dan lupa ini. Ya, aku sangat berterima kasih karena kamu mau membantuku menjaga hati. Karena kurasa, hal itulah yang paling kubutuhkan saat ini. 
Sungguh. Terima kasih, kamu.

"Apa bedanya molekul dan bukan molekul?" tanya Bapak Dosen, di bulan ke-5 perkuliahan. Seisi kelas senyap. Bukan karena tak ada yang hendak mengacungkan tangan untuk menjawab, tetapi karena memang bukan seperti itulah cara menjawab pertanyaannya.

"Iya, kamu," Pak Dosen menunjuk salah seorang mahasiswa lelaki yang duduk di jajaran ketiga dari kiri.

"Saya Pak?" tanya mahasiswa tersebut, masih berharap bukan pada dirinya lah telunjuk Pak Dosen diacungkan. Namun, wajah Pak Dosen terlihat masam. Sang mahasiswa bergidik ngeri, lalu patah-patah berusaha merevisi.

"Eh iya, saya ya Pak? Hehe," nyengir kuda sang mahasiswa. "Jadi molekul itu... terdiri dari dua atom atau lebih, Pak,"

"Itu jawaban anak SMA," tatapan tajam Pak Dosen amat mengerikan, "Saudara sudah masuk di bangku kuliah, seharusnya jawaban Saudara bisa lebih baik dari itu,"

Pak Dosen mulai berjalan-jalan mengitari ruangan. Khawatir pertanyaan tersebut akan dilempar ke mahasiswa lain, seisi kelas menjadi gaduh berbisik-bisik. Lembar demi lembar buku teks dibuka demi mencari pengertian yang diharapkan Pak Dosen akan berhasil diutarakan mahasiswa.
A molecule is the smallest particle of an element or compound that can have a stable independent existence. In nearly all molecules, two or more atoms are bonded together in very small, discrete units (particles) that are electrically neutral.

Begitulah yang tertulis pada halaman ke-6 dari buku Chemistry karya Kenneth Whitten yang aku pegang. Bahasa Inggris, dan dengan kapasitasku saat itu, rasanya akan amat sulit untuk mentranslasikannya ke dalam bahasa. Aku mulai pasrah sembari berjanji pada diri sendiri, besok besok harus rajin belajar bahasa asing.

Dan betapa tidak beruntungnya aku, telunjuk Pak Dosen tepat mengarah ke jidatku, "ya, kamu."

Aku menarik napas tertahan, lalu mencoba membuka mulut perlahan, "Berdasarkan referensi yang saya baca....,"

"Tidak usah banyak basa-basi, langsung saja ke inti!" seru Pak Dosen. Rupanya beliau mencium niat bulusku dalam mengulur-ulur waktu.

"Err, iya Pak. Jadi molekul itu adalah elemen atau senyawa yang..... dapat stabil bereksistensi?" kalimat pernyataanku berubah nada menjadi kalimat pertanyaan. Aku mulai ragu terhadap kebenaran akan terjemahan yang aku buat.

"Lanjutkan," kejar Pak Dosen.

"Nah... hampir pada semua molekul, dua atau lebih atom berikatan bersama dalam keadaan yang netral. Seperti itu," tutupku. Amat menggantung. Disambut oleh raut wajah Pak Dosen yang tidak bisa didefinisikan.

"Saudara baru membaca itu tadi, ya?" tanya Pak Dosen, retoris. Aku mengangguk-angguk, berharap tidak akan menjadi masalah besar jika memang sumbernya valid.

"Saudara paham tidak maksud dari pengertian yang saudara katakan tadi?" tanya Pak Dosen mencecar. Aku terdiam. Pak Dosen tak mau tinggal diam, menunjuk mahasiswa yang lain. Seorang lelaki di jajaran kedua dari kanan.

"Kalau Saudara paham?"

"Iya Pak. Intinya, dengan kestabilan dan kenetralan elektris yang dia miliki, molekul itu akan amat sulit dipisahkan, kecuali dengan energi yang amat besar" jawab lelaki itu, tenang dan amat lugas.

"Contohnya?" uji Pak Dosen kembali.

"Yang sulit dipisahkan ya? Contohnya... saya dan dia, Pak, hehe," jawaban lelaki tersebut sontak disambut gelak tawa seisi kelas. Bagaimana tidak? Apalagi lelaki tersebut menjawab dengan amat enteng. Seperti lupa dengan dosen seperti apa dia menghadap. Lucunya, di antara mahasiswa yang tertawa, tidak ada yang memedulikan betapa kagok ekspresi Pak Dosen mendapati jawaban si lelaki. Dan pada detik-detik berikutnya, Pak Dosen memutuskan untuk ikut tertawa bersama mahasiswa. Momen yang benar-benar di luar dugaan bukan? 

Terima kasih untuk lelaki di jajaran kedua dari kanan, selera humormu membuat tensi kelas ini berubah drastis. Berubah amat manis.

Ah, atau malah mungkin tidak hanya tensi kelas saja yang berubah. Apakah juga tensi hati, ya?
Siapa yang memberimu izin bertamu? Sehingga tiba-tiba rindu datang di saat yang tak tentu. Sehingga tiba-tiba tanpa-kabarmu adalah tanya yang menggebu-gebu. 
Siapa yang memberimu izin masuk? Hatiku ini, dengan mudahnya kau susup. Dan hatiku ini, tanpa kusadari sudah menyambut pintu yang kauketuk. 
Hatiku meletup-letup. Menyambangi pintu dengan detak berdegup. Dan kamu, siapa yang memberimu izin berdiri di situ? Memecah pikiranku dalam seribu ragu. Membuatku terus mencari celah salahku.: Kapan aku memberimu izin bertamu? 
Sehingga tetiba saja sudah ada kamu sebagai rumahku.
***

0 komentar:

Posting Komentar