Selasa, 14 Mei 2019

Cerpen: Sya'ban di Ramadhan

(juara 1 lomba cerita pendek GERHANA FPMIPA UPI tahun 2018)
1 Ramadhan 1434 H, pukul 16.30
Matanya nanar menerawang kamar itu. Berbagai kenangan tumbuh subur di kepalanya. Cinta, kasih sayang,  kelembutan, dan air mata bagaikan anak-anak sungai yang bermuara pada satu lautan : Mama.
Adegan demi adegan pahit berlompatan di depan matanya. Keputusannya lima tahun lalu untuk meninggalkan rumah. Meninggalkan sejuta kenangan yang bergelayut di langit-langit rumah mereka. Meninggalkan Mama yang melepasnya dengan air mata. Meninggalkan Papa yang tak henti mengejarnya sampai ke halte bis lima tahun silam.
Gambar oleh Gabby, 2015
Tak ada malam tanpa ia sesak oleh rindu. Tak ada pagi tanpa ia terjebak oleh kenangan. Keputusannya untuk pergi lima tahun silam mungkin tepat, tetapi itu lain cerita.
Kamar itu, rumah kenangan itu, kini kosong. Tak berpenghuni. Entah sejak kapan Papa dan Mama tak menempati rumah itu lagi. Satu-satunya alamat yang ia ketahui untuk kembali menyambung yang telah putus.
**
Namanya Sya’ban. Bukan karena ia terlahir pada bulan Sya’ban, tetapi karena ia telah mendapat cahaya hidayah dari-Nya pada bulan itu. Bulan Sya’ban telah membuatnya jatuh cinta pada Islam. Bulan Sya’ban telah membuatnya candu membisikkan kalimat syahadat. Mualaf, itulah yang dikatakan orang tentangnya.
Keputusannya berislam ditentang habis-habisan oleh Papa. Alasannya klise, malu pada sanak saudara, malu pada tetangga, malu pada rekan-rekannya. Sederhananya, Papa malu. Bagaimana mungkin anak satu-satunya ini, yang telah di sekolahkan di sekolah agama terbaik, yang telah dididik oleh guru-guru terbaik, malah tertarik pada Islam, agama yang dilaknatnya.
Sya’ban, yang telah sepenuh hati mengenggam Islam sebagai dien-nya, tak lantas menyerah ditentang oleh orang serumah. Bahkan Mama, hanya menatapnya prihatin dimarahi oleh Papa, tak ada pembelaan. Sama sekali tak ada. Maka, makin sering ia ditentang, makin sering ia dihalangi langkahnya menuju masjid, makin sering Papa menyetel musik kencang-kencang ketika ia mengaji, makin tumbuh pula gagasan nekat dalam pikirannya : ia harus angkat kaki dari rumah, merantau, entah kemana.
Maka di suatu malam yang mendung—barangkali malam itu setemaran hatinya—ia mengepak barang-barang, pamit kepada Mama yang membisu. Pamit kepada rumah. Pamit kepada kamar 4x5 meternya. Sama sekali tidak terpikirkan untuk pamit kepada Papa. Buat apa? Untuk menerima cacian demi cacian lagi?
Tak disangka Papa mengendus niat Sya’ban hengkang dari rumah. Papa, dengan otoritasnya, menghalangi Sya’ban pergi. Pintu dikuncinya rapat-rapat. Tak ada kesempatan bagi Sya’ban untuk keluar rumah barang sejengkal. Hal tersebut membuat Sya’ban tak tahan, dia marah sejadi-jadinya. Percekcokan panjang terjadi di rumah itu. Hingga pada akhirnya kemenangan jatuh di tangan Sya’ban. Ia pergi berbekal luka, luka di hatinya. Sementara Mama tanpa sepengetahuannya, menatap dengan luka yang lebih dalam, dengan air mata yang menyesakkan.
1 Ramadhan menjadi saksi kepergiannya dari rumah. Sya’ban memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya, hingga jejaknya tak tercium lagi oleh Papa. Ia memutuskan untuk merantau ke Jakarta.
1 Ramadhan 1439 H, pukul 17.00
Tok tok tok. Pintu itu berderit panjang. Terlihat seorang wanita paruh baya dari balik pintu. Mengenakan baju kebesaran ibu rumah tangga, daster.
“Maaf menganggu Chen. Chen masih ingat saya? Saya Sya’ban.” Chen mengernyitkan dahi, tidak paham, tidak tahu menahu. Melihat itu Sya’ban melanjutkan, “Saya Jiang Whu, Chen.”
Sya’ban dengan sabar menunggu reaksi Chen, tetangga yang paling dekat dengan keluarganya. Tak dinyana, Chen malah berpaling, lalu menutup pintu tanpa sepatah kata pun.
“Chen, tolong jangan tutup pintunya. Saya mau bertanya. Tolong Chen, demi Mama,” teriak Sya’ban sembari menggedor-gedor pintu. Nihil. Tak ada suara dari dalam, Chen mengabaikannya seperti tak ada kesempatan bagi Sya’ban untuk menjelaskan. Sya’ban bagai angin yang lewat dan telah dilupakan.
Sya’ban yang niatnya telah mantap, tak akan menyerah sampai disitu. Ia menunggu terus di depan rumah tetangganya itu. Ia berbuka di sana, shalat maghrib di sana, shalat isya dan tarawih di sana. Hingga tetangga yang lewat tak hentinya melemparkan pandangan pada Sya’ban, siapa orang nekat yang shalat di depan rumah seorang non Islam?
4 jam Sya’ban menunggu, tampaknya membuat hati Chen luluh. Tidak berkata apapun. Chen hanya mengetuk pintu tiga kali, lantas dari celah di bawah pintu sebuah robekan kertas menjadi jawaban Sya’ban selama ini.
Sobekan koran, sebuah kolom kecil menjadi perhatiannya, di kepala berita tertera judul Seorang Wanita Meninggal Tertabrak Truk. Sya’ban membaca satu demi satu kata yang tertera di berita pendek itu. Ia mengejanya patah-patah, takut akan kemungkinan yang ada. Pada paragraf kedua, ia tersentak, nyaris pingsan ketika membaca nama Mama tertera di sana. Sya’ban jatuh terduduk. Tak ada kesempatan. Tak ada kesempatan baginya untuk kembali bertemu Mama. Tak ada. Sya’ban hanya bisa sesegukan menangisi kabar tersebut.
Chen membuka pintu, langkah-langkahnya terlihat gugup. Ia memegang pundak Sya’ban sambil berbisik pelan, “Papamu sejak itu pergi ke Jakarta, carilah ia, mohon maaflah kepadanya, masih ada kesempatan.” Sya’ban hanya mengangguk pasrah, tangisnya masih tak bisa berhenti. Mama, mengapa ia pergi begitu cepat? Bahkan sebelum Sya’ban sempat memeluknya erat.
Berbekal secarik alamat dari Chen, Sya’ban bergegas menaiki bus pertama ke Jakarta. Persis seperti lima tahun lalu. Bedanya, kini niatnya bukan untuk meninggalkan Papa, melainkan untuk mencarinya.
Suasana Ramadhan terasa di sepanjang perjalanan. Setiap orang berlomba mendendangkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Setiap insan memperbanyak sadaqahnya. Setiap manusia saling berlomba dalam kebaikan, fastabiqul khairat.
Tetapi jauh di sana, hati Sya’ban hanya berdzikir dan terus berdzikir, berdoa dan terus berdoa. Memohon dengan sangat kepada Allah, agar masih ada kesempatan baginya. Kesempatan untuk menyambung yang telah putus.
Hingga malam kembali lagi dengan cepat. Sya’ban tertidur nyenyak. Tenggelam dalam dzikirnya. Tenggelam bersama doanya.

**
3 Ramadhan 1439 H, pukul 05.00
Ia kembali melihat alamat di tangannya. Persis. Inilah rumah yang dicarinya. Dengan mantap ia mengetuk pintu. Pintu terbuka, inilah saat-saat yang sangat dinantinya meski juga sangat ditakutinya. Dari balik pintu keluar sosok lelaki tangguh. Matanya menatap tajam setajam elang. Alisnya lurus. Rambutnya ikal tetapi rapi. Persis seperti Papa. Tetapi, bukan. Dia sama sekali berbeda dengan Papanya. Dia bukan orang yang dicari Sya’ban.
“Cari siapa, dek?” lelaki itu menyapanya duluan. Memecah keheningan.
“Eh, maaf Pak. Saya Sya’ban, saya mencari orang yang dulu tinggal di sini. Bapak tahu?”
“Oh maaf nak Sya’ban, sudah lima bulan saya tinggal di sini. Tetapi saya tidak tahu pemilik sebelumnya,” jelas orang itu. Dia menangkap kekecewaan di mata Sya’ban, “Sekali lagi saya minta maaf, dek.”
“Iya Pak, terima kasih. Maaf menganggu,” ucap Sya’ban, lantas ia segera pergi dari sana dengan langkah gontai. Kakinya lunglai, kini dia tidak tahu harus kemana lagi mencari Papa. Apa yang harus dilakukannya, Ya Allah?

**
23 Ramadhan 1439 H, pukul 21.00
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan
Tangis Sya’ban pecah membaca Surat Luqman ayat 15 itu. Dalam hati berkali-kali ia memohon ampunan Allah untuk kedua orang tuanya. Dalam hati ia memohon Papa diberikan cahaya hidayah oleh-Nya. Masjid itu menjadi saksi perjuangannya menelusuri jejak Papa. Masjid itu menjadi saksi pencariannya yang belum membuahkan hasil, meski berminggu-minggu telah ia lewati tanpa alpa mencari Papa.
Sya’ban sudah dua minggu terakhir berkeliling di Kota Jakarta. Ia sama sekali tidak pulang. Meski keinginan untuk itu menggebu-gebu dalam pikirannya. Tapi ia bertekad harus bertemu Papa, tak ada kata pulang sebelum itu.
Sya’ban sudah melakukan apa saja, rasanya sudah seisi Jakarta ia tanya. Hingga tiga minggu tak membuahkan hasil membuatnya merasa harus kembali mengadu kepada Allah. Ia bertamu ke rumah Allah, masjid.
Ia beriktikaf hingga subuh menjelang. Meski demikian, Sya’ban meragukan apakah iktikafnya sudah benar atau belum. Ia meragukan kekhusyukan qiyamul lail-nya sebab selama beribadah, tak hentinya ia memikirkan Papa dan Mama. Kenangan-kenangan yang ada terlalu sesak, Sya’ban hanya mampu menumpahkannya dalam isakan.
Ia ingat betul betapa Mama sangat menyayanginya. Orang bilang itu adalah keuntungan dari menjadi anak tunggal. Dari sejak di taman kanak-kanak, bahkan sampai menjelang SMA, Mama selalu menunggu di depan gerbang sekolah. Setelah itu pasti menawarkan permen atau coklat di warung terdekat. Kata Mama, itu adalah hadiah bagi anak yang belajar dengan giat dan penuh semangat.
Mama juga selalu memastikan bahwa anaknya makan dengan enak. Waktu Sya’ban masih SD, kondisi ekonomi keluarga belum begitu baik. Jarang sekali dapur rumah bisa mengebul, tanda ada makanan yang bisa dimasak. Namun, ada makanan atau tidak, Sya’ban selalu diberikan makanan yang terbaik. Katakanlah, kalaupun hanya ada ikan asin, Sya’ban lah satu-satunya yang kebagian. Sementara Mama sudah cukup hanya dengan polosnya nasi, telah lega mendapati anaknya makan sesuatu yang berasa. Kata Mama, anak tunggalnya harus sehat agar dapat terus berkarya.
Beda halnya dengan Papa, meskipun berwatak keras lagi tegas, Papa lah yang banyak berjasa dalam menghidupkan ekonomi keluarga. Waktu itu era reformasi masih bayi. Krisis moneter menyerang penjuru negeri. Apalagi bagi imigran seperti keluarga Sya’ban, bukan hal mudah untuk bisa hidup sejahtera. Segala usaha dicoba Papa sampai akhirnya Papa bisa membangun bisnis sendiri. Awalnya kecil-kecilan, lama-lama pamornya bertahan dan meraksasa dengan brilian.
Orang-orang mengenal Papa tetap begitu, keras dan tegas. Hanya Sya’ban yang tahu betul kalau ayahnya ini berjiwa amat lembut. Kerasnya Papa hanyalah topeng yang harus ia tampilkan untuk bertahan di kehidupan yang juga keras. Pernah suatu hari Papa memarahi Sya’ban habis-habisan karena pulang lewat pukul 6. Saat itu Sya’ban masih kelas 2 SD. Sya’ban yang kaget atas marahnya Papa, menangis tergugu tak berhenti sampai pukul 9. Barangkali saat itu Papa amat menyesal, Papa ikut menangis di ruang tengah, meski tanpa suara. Dalam tangisnya, Papa merapal-rapal nama kecil Sya’ban, nama yang hanya digunakan dalam keluarga “Nugie… Nugie…. Maafkan Papa, Nak.” Sungguh mengena. Hal itu dibocorkan oleh Mama bertahun-tahun kemudian. Mama ingin menunjukkan pada Sya’ban bahwa ayahnya juga manusia berhati sutra.
Betapa sesak kenangan tersebut berlompatan di pikiran Sya’ban. Tapi begitulah kenangan. Semerindukan apapun itu, porsinya hanya untuk dikenang.
Sementara subuh benar-benar telah menjelang. Kumandang adzan membahana ke meganya langit. Kumandang adzan yang amat merdu. Muadzin yang membacanya menggunakan koko putih dan sarung coklat. Berdiri tegap sambil menutup telinga kanannya dengan khidmat.
Sungguh, entah datang dari mana, tetapi pada saat itu Sya’ban merasa sangat tenang. Allah Maha Pemurah, Allah telah berbaik hati mengizinkan hatinya untuk ikhlas menerima segala hal yang terjadi.
Kini, tanpa Mama ataupun Papa, Sya’ban tetap harus melanjutkan kehidupan. Meski dalam hati, Sya’ban berharap dapat bertemu lagi dengan Mama dan Papa di surga. Agak mustahil, tapi Sya’ban berharap orang tuanya sempat mengucap syahadat sebelum benar-benar berpulang dari dunia.
Adzan telah selesai berkumandang. Orang-orang bersiap mendirikan shalat sunah rawatib qabliyah subuh, shalat sunah yang katanya lebih berharga dari dunia dan seisinya. Sang Muadzin bersuara merdu membalikkan badan ke arah Sya’ban. Sosok lelaki berbadan tegap. Rambutnya ikal tetapi rapi terbasahi air wudhu. Alisnya lurus. Matanya menatap tajam setajam elang. Matanya bertemu dengan mata Sya’ban.
Sang Muadzin tersentak. Mulutnya terbuka tertahan, “Nugie?”
Sya’ban tak bisa berkata-kata, bahkan sampai ke detik Sang Muadzin mendekap tubuhnya. Bahkan sampai ke detik Sang Muadzin menyeka air matanya. Air mata yang ternyata mengalir lebih deras dibanding saat ia dulu kelas dua.
Tamat.
***
Bandung, Ramadhan 1434 H – Ramadhan 1439 H

0 komentar:

Posting Komentar