(juara 1 lomba cerita pendek GERHANA FPMIPA UPI tahun 2018)
1 Ramadhan 1434 H, pukul 16.30
Matanya
nanar menerawang kamar itu. Berbagai kenangan tumbuh subur di kepalanya. Cinta,
kasih sayang, kelembutan, dan air mata
bagaikan anak-anak sungai yang bermuara pada satu lautan : Mama.
Adegan
demi adegan pahit berlompatan di depan matanya. Keputusannya lima tahun lalu
untuk meninggalkan rumah. Meninggalkan sejuta kenangan yang bergelayut di
langit-langit rumah mereka. Meninggalkan Mama yang melepasnya dengan air mata. Meninggalkan
Papa yang tak henti mengejarnya sampai ke halte bis lima tahun silam.
Gambar oleh Gabby, 2015 |
Tak
ada malam tanpa ia sesak oleh rindu. Tak ada pagi tanpa ia terjebak oleh
kenangan. Keputusannya untuk pergi lima tahun silam mungkin tepat, tetapi itu
lain cerita.
Kamar itu, rumah
kenangan itu, kini kosong. Tak berpenghuni. Entah sejak kapan Papa dan Mama tak
menempati rumah itu lagi. Satu-satunya alamat yang ia ketahui untuk kembali
menyambung yang telah putus.
**
Namanya
Sya’ban. Bukan karena ia terlahir pada bulan Sya’ban, tetapi karena ia telah
mendapat cahaya hidayah dari-Nya pada bulan itu. Bulan Sya’ban telah membuatnya
jatuh cinta pada Islam. Bulan Sya’ban telah membuatnya candu membisikkan
kalimat syahadat. Mualaf, itulah yang dikatakan orang tentangnya.
Keputusannya
berislam ditentang habis-habisan oleh Papa. Alasannya klise, malu pada sanak
saudara, malu pada tetangga, malu pada rekan-rekannya. Sederhananya, Papa malu.
Bagaimana mungkin anak satu-satunya ini, yang telah di sekolahkan di sekolah
agama terbaik, yang telah dididik oleh guru-guru terbaik, malah tertarik pada
Islam, agama yang dilaknatnya.
Sya’ban,
yang telah sepenuh hati mengenggam Islam sebagai dien-nya, tak lantas menyerah ditentang oleh orang serumah. Bahkan
Mama, hanya menatapnya prihatin dimarahi oleh Papa, tak ada pembelaan. Sama
sekali tak ada. Maka, makin sering ia ditentang, makin sering ia dihalangi
langkahnya menuju masjid, makin sering Papa menyetel musik kencang-kencang
ketika ia mengaji, makin tumbuh pula gagasan nekat dalam pikirannya : ia harus
angkat kaki dari rumah, merantau, entah kemana.
Maka
di suatu malam yang mendung—barangkali malam itu
setemaran hatinya—ia mengepak barang-barang, pamit
kepada Mama yang membisu. Pamit kepada rumah. Pamit kepada kamar 4x5 meternya.
Sama sekali tidak terpikirkan untuk pamit kepada Papa. Buat apa? Untuk menerima
cacian demi cacian lagi?
Tak
disangka Papa mengendus niat Sya’ban
hengkang dari rumah. Papa, dengan otoritasnya, menghalangi Sya’ban pergi. Pintu
dikuncinya rapat-rapat. Tak ada kesempatan bagi Sya’ban untuk keluar rumah
barang sejengkal. Hal tersebut membuat Sya’ban tak tahan, dia marah
sejadi-jadinya. Percekcokan panjang terjadi di rumah itu. Hingga pada akhirnya
kemenangan jatuh di tangan Sya’ban. Ia pergi berbekal luka, luka di hatinya.
Sementara Mama tanpa sepengetahuannya, menatap dengan luka yang lebih dalam,
dengan air mata yang menyesakkan.
1 Ramadhan menjadi
saksi kepergiannya dari rumah. Sya’ban memutuskan untuk pergi sejauh-jauhnya,
hingga jejaknya tak tercium lagi oleh Papa. Ia memutuskan untuk merantau ke
Jakarta.
1 Ramadhan 1439 H, pukul 17.00
Tok
tok tok. Pintu itu berderit panjang. Terlihat seorang wanita paruh baya dari
balik pintu. Mengenakan baju kebesaran ibu rumah tangga, daster.
“Maaf
menganggu Chen. Chen masih ingat saya? Saya Sya’ban.” Chen mengernyitkan dahi, tidak
paham, tidak tahu menahu. Melihat itu Sya’ban melanjutkan, “Saya Jiang Whu,
Chen.”
Sya’ban
dengan sabar menunggu reaksi Chen, tetangga yang paling dekat dengan
keluarganya. Tak dinyana, Chen malah berpaling, lalu menutup pintu tanpa
sepatah kata pun.
“Chen,
tolong jangan tutup pintunya. Saya mau bertanya. Tolong Chen, demi Mama,” teriak
Sya’ban sembari menggedor-gedor pintu. Nihil. Tak ada suara dari dalam, Chen
mengabaikannya seperti tak ada kesempatan bagi Sya’ban untuk menjelaskan.
Sya’ban bagai angin yang lewat dan telah dilupakan.
Sya’ban
yang niatnya telah mantap, tak akan menyerah sampai disitu. Ia menunggu terus
di depan rumah tetangganya itu. Ia berbuka di sana, shalat maghrib di sana,
shalat isya dan tarawih di sana. Hingga tetangga yang lewat tak hentinya
melemparkan pandangan pada Sya’ban, siapa orang nekat yang shalat di depan
rumah seorang non Islam?
4
jam Sya’ban menunggu, tampaknya membuat hati Chen luluh. Tidak berkata apapun.
Chen hanya mengetuk pintu tiga kali, lantas dari celah di bawah pintu sebuah
robekan kertas menjadi jawaban Sya’ban selama ini.
Sobekan
koran, sebuah kolom kecil menjadi perhatiannya, di kepala berita tertera judul
Seorang Wanita Meninggal Tertabrak Truk. Sya’ban membaca satu demi satu kata
yang tertera di berita pendek itu. Ia mengejanya patah-patah, takut akan
kemungkinan yang ada. Pada paragraf kedua, ia tersentak, nyaris pingsan ketika
membaca nama Mama tertera di sana. Sya’ban jatuh terduduk. Tak ada kesempatan.
Tak ada kesempatan baginya untuk kembali bertemu Mama. Tak ada. Sya’ban hanya bisa sesegukan menangisi kabar
tersebut.
Chen membuka pintu,
langkah-langkahnya terlihat gugup. Ia memegang pundak Sya’ban sambil berbisik
pelan, “Papamu sejak itu pergi ke Jakarta, carilah ia, mohon maaflah kepadanya,
masih ada kesempatan.” Sya’ban hanya mengangguk pasrah, tangisnya masih tak
bisa berhenti. Mama, mengapa ia pergi begitu cepat? Bahkan sebelum Sya’ban
sempat memeluknya erat.
Berbekal
secarik alamat dari Chen, Sya’ban bergegas menaiki bus pertama ke Jakarta.
Persis seperti lima tahun lalu. Bedanya, kini niatnya bukan untuk meninggalkan
Papa, melainkan untuk mencarinya.
Suasana
Ramadhan terasa di sepanjang perjalanan. Setiap orang berlomba mendendangkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an. Setiap insan memperbanyak sadaqahnya. Setiap manusia
saling berlomba dalam kebaikan, fastabiqul
khairat.
Tetapi
jauh di sana, hati Sya’ban hanya berdzikir dan terus berdzikir, berdoa dan
terus berdoa. Memohon dengan sangat kepada Allah, agar masih ada kesempatan
baginya. Kesempatan untuk menyambung yang telah putus.
Hingga malam kembali
lagi dengan cepat. Sya’ban tertidur nyenyak. Tenggelam dalam dzikirnya.
Tenggelam bersama doanya.
**
3 Ramadhan 1439 H, pukul 05.00
Ia
kembali melihat alamat di tangannya. Persis. Inilah rumah yang dicarinya.
Dengan mantap ia mengetuk pintu. Pintu terbuka, inilah saat-saat yang sangat
dinantinya meski juga sangat ditakutinya. Dari balik pintu keluar sosok lelaki
tangguh. Matanya menatap tajam setajam elang. Alisnya lurus. Rambutnya ikal
tetapi rapi. Persis seperti Papa. Tetapi, bukan. Dia sama sekali berbeda dengan
Papanya. Dia bukan orang yang dicari Sya’ban.
“Cari
siapa, dek?” lelaki itu menyapanya duluan. Memecah keheningan.
“Eh,
maaf Pak. Saya Sya’ban, saya mencari orang yang dulu tinggal di sini. Bapak
tahu?”
“Oh
maaf nak Sya’ban, sudah lima bulan saya tinggal di sini. Tetapi saya tidak tahu
pemilik sebelumnya,” jelas orang itu. Dia menangkap kekecewaan di mata Sya’ban,
“Sekali lagi saya minta maaf, dek.”
“Iya Pak, terima kasih.
Maaf menganggu,” ucap Sya’ban, lantas ia segera pergi dari sana dengan langkah
gontai. Kakinya lunglai, kini dia tidak tahu harus kemana lagi mencari Papa.
Apa yang harus dilakukannya, Ya Allah?
**
23 Ramadhan 1439 H, pukul 21.00
Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan
orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka
Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan
Tangis Sya’ban pecah membaca Surat Luqman ayat
15 itu. Dalam hati berkali-kali ia memohon ampunan Allah untuk kedua orang
tuanya. Dalam hati ia memohon Papa diberikan cahaya hidayah oleh-Nya. Masjid
itu menjadi saksi perjuangannya menelusuri jejak Papa. Masjid itu menjadi saksi
pencariannya yang belum membuahkan hasil, meski berminggu-minggu telah ia
lewati tanpa alpa mencari Papa.
Sya’ban sudah dua minggu terakhir berkeliling
di Kota Jakarta. Ia sama sekali tidak pulang. Meski keinginan untuk itu
menggebu-gebu dalam pikirannya. Tapi ia bertekad harus bertemu Papa, tak ada
kata pulang sebelum itu.
Sya’ban sudah melakukan apa saja, rasanya sudah
seisi Jakarta ia tanya. Hingga tiga minggu tak membuahkan hasil membuatnya
merasa harus kembali mengadu kepada Allah. Ia bertamu ke rumah Allah, masjid.
Ia beriktikaf hingga subuh menjelang. Meski demikian, Sya’ban
meragukan apakah iktikafnya sudah benar atau belum. Ia meragukan kekhusyukan qiyamul lail-nya sebab selama beribadah,
tak hentinya ia memikirkan Papa dan Mama. Kenangan-kenangan yang ada terlalu
sesak, Sya’ban hanya mampu menumpahkannya dalam isakan.
Ia ingat betul betapa
Mama sangat menyayanginya. Orang bilang itu adalah keuntungan dari menjadi anak
tunggal. Dari sejak di taman kanak-kanak, bahkan sampai menjelang SMA, Mama
selalu menunggu di depan gerbang sekolah. Setelah itu pasti menawarkan permen
atau coklat di warung terdekat. Kata Mama, itu adalah hadiah bagi anak yang
belajar dengan giat dan penuh semangat.
Mama juga selalu
memastikan bahwa anaknya makan dengan enak. Waktu Sya’ban masih SD, kondisi
ekonomi keluarga belum begitu baik. Jarang sekali dapur rumah bisa mengebul,
tanda ada makanan yang bisa dimasak. Namun, ada makanan atau tidak, Sya’ban
selalu diberikan makanan yang terbaik. Katakanlah, kalaupun hanya ada ikan
asin, Sya’ban lah satu-satunya yang kebagian. Sementara Mama sudah cukup hanya dengan
polosnya nasi, telah lega mendapati anaknya makan sesuatu yang berasa. Kata Mama,
anak tunggalnya harus sehat agar dapat terus berkarya.
Beda halnya dengan
Papa, meskipun berwatak keras lagi tegas, Papa lah yang banyak berjasa dalam
menghidupkan ekonomi keluarga. Waktu itu era reformasi masih bayi. Krisis
moneter menyerang penjuru negeri. Apalagi bagi imigran seperti keluarga
Sya’ban, bukan hal mudah untuk bisa hidup sejahtera. Segala usaha dicoba Papa
sampai akhirnya Papa bisa membangun bisnis sendiri. Awalnya kecil-kecilan,
lama-lama pamornya bertahan dan meraksasa dengan brilian.
Orang-orang mengenal
Papa tetap begitu, keras dan tegas. Hanya Sya’ban yang tahu betul kalau ayahnya
ini berjiwa amat lembut. Kerasnya Papa hanyalah topeng yang harus ia tampilkan
untuk bertahan di kehidupan yang juga keras. Pernah suatu hari Papa memarahi
Sya’ban habis-habisan karena pulang lewat pukul 6. Saat itu Sya’ban masih kelas
2 SD. Sya’ban yang kaget atas marahnya Papa, menangis tergugu tak berhenti
sampai pukul 9. Barangkali saat itu Papa amat menyesal, Papa ikut menangis di
ruang tengah, meski tanpa suara. Dalam tangisnya, Papa merapal-rapal nama kecil
Sya’ban, nama yang hanya digunakan dalam keluarga “Nugie… Nugie…. Maafkan Papa,
Nak.” Sungguh mengena. Hal itu dibocorkan oleh Mama bertahun-tahun kemudian.
Mama ingin menunjukkan pada Sya’ban bahwa ayahnya juga manusia berhati sutra.
Betapa sesak kenangan
tersebut berlompatan di pikiran Sya’ban. Tapi begitulah kenangan. Semerindukan
apapun itu, porsinya hanya untuk dikenang.
Sementara subuh
benar-benar telah menjelang. Kumandang adzan membahana ke meganya langit. Kumandang adzan yang
amat merdu. Muadzin yang membacanya menggunakan koko putih dan sarung coklat.
Berdiri tegap sambil menutup telinga kanannya dengan khidmat.
Sungguh, entah datang dari mana, tetapi pada saat itu Sya’ban merasa sangat tenang. Allah Maha
Pemurah, Allah telah berbaik hati mengizinkan hatinya untuk ikhlas menerima
segala hal yang terjadi.
Kini, tanpa Mama
ataupun Papa, Sya’ban tetap harus melanjutkan kehidupan. Meski dalam hati,
Sya’ban berharap dapat bertemu lagi dengan Mama dan Papa di surga. Agak
mustahil, tapi Sya’ban berharap orang tuanya sempat mengucap syahadat sebelum
benar-benar berpulang dari dunia.
Adzan telah selesai
berkumandang. Orang-orang bersiap mendirikan shalat sunah rawatib qabliyah
subuh, shalat sunah yang katanya lebih berharga dari dunia dan seisinya. Sang Muadzin
bersuara merdu membalikkan badan ke arah Sya’ban. Sosok
lelaki berbadan tegap. Rambutnya ikal
tetapi rapi terbasahi air wudhu. Alisnya lurus. Matanya
menatap tajam setajam elang. Matanya
bertemu dengan mata Sya’ban.
Sang Muadzin
tersentak. Mulutnya terbuka tertahan, “Nugie?”
Sya’ban tak
bisa berkata-kata, bahkan sampai ke detik Sang Muadzin mendekap tubuhnya.
Bahkan sampai ke detik Sang Muadzin menyeka air matanya. Air mata yang ternyata
mengalir lebih deras dibanding saat ia dulu kelas dua.
Tamat.
***
Bandung, Ramadhan 1434
H – Ramadhan 1439 H
0 komentar:
Posting Komentar