Jumat, 20 Mei 2011

Di Balik Lembaran Indonesia (Bag I)

  Senja di Lamongan, sungguh indah... masih tampak dari kejauhan, sang mentari tenggelamkan dirinya ke lautan. Deruan ombak menarikan lagu senja yang dinyanyikan burung-burung dengan menawan. Semesta pun beranjak menutup buku hariannya dikala adzan bersahut-sahutan. Tanda berakhirnya hari dalam agama tauhid, Islam.
  “Tifah sayang... ayo sholat, sudah adzan tuh...”  Bunda memanggil lembut.
  “Iya, Bunda...”  Sahutku. Kudorong kursi roda menjauhi teras, bergegas ke kamar mandi untuk menggambil air wudlu.  Ya, memang sejak 2 tahun lalu aku divonis terkena lumpuh di kedua kakiku. Saat itu umurku masih 9 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk seorang anak yang mengidap lumpuh. Sejak saat itu aku mulai memakai kursi roda ini. Memang tidak nyaman, susah untuk kemana-kemana, tak bisa berlari lincah seperti kebiasaanku sebelum penyakit ini menyerbuku. Tapi aku jadi belajar, apapun keadaanku, aku harus tetap bersyukur. Berpikir positif adalah penolongku ketika aku hampir gila gara-gara penyakit ini. Setidaknya aku masih sanggup berobat, setidaknya aku masih mempunyai kontrol atas bagian tubuhku yang lain, setidaknya teman-temanku masih mau menerimaku, itulah yang aku pikirkan untuk menumbuhkan rasa percaya diriku lagi.
  Sehabis sholat magrib, deruan ombak masih menyuarakan malam yang sepi ini. Memang, aku bertempat tinggal di dekat pantai. Bundakulah yang menginginkan suasana rumah yang seperti ini. Ayahku sih boleh boleh saja, lagi pula kantor ayahku ada di daerah sini. Ayahku bekerja sebagai seorang guru di sebuah SMP negeri di kota ini. Sementara ibuku bekerja sebagai guru les piano privat. Muridnya sih kebanyakan tetangga-tetanggaku di daerah sini, akupun pernah diajarkan sedikit tentang bermain piano, tetapi aku tidak berminat dalam hal itu. Cita-citaku adalah menjadi seorang presiden. Aku ingin merubah negri ini menjadi sebuah negri yang sejahtera, demokratis, damai, adil, dll. banyaklah, yang penting baik-baik.
  Oh iya, minggu depan sudah memasuki bulan suci Ramadhan, aku berniat akan mengkhatamkan puasaku sampai 30 hari. Soalnya Ramadhan kemarin aku puasanya batal 5 kali, oleh karena itu aku berharap aku bisa lebih baik lagi dari tahun kemarin. Karena kata bunda, hari ini harus lebih baik daripada kemarin. So, yang batal 5 itu sekarang harus hilang.
  Aku membawa kursi rodaku ke ruang keluarga. Kuambil sebuah buku tebal di sofa, Melukis Senyum judulnya, sebuah kumpulan cerpen yang menurut penilaianku enak dibaca, bahkan aku sudah bolak-balik membacanya sebanyak 5 kali.
  Salah satu kisah favoritku dalam kumpulan cerpen tersebut adalah Di Balik Lembaran Indonesia, cerita itu menceritakan mengenai seorang anak yang luar biasa sangat berpengaruh bagi Indonesia padahal ia awalnya bukan seorang yang berada dan tergolong kaum menengah kebawah. Entah itu kisah asli ataupun hanya fiksi. Yang pasti, kisah itu dapat memotivasiku untuk melanjutkan hidup, dalam segala keadaan, meskipun aku harus lumpuh untuk selamanya.
  Ombak diluar masih menari bertalu-talu dengan anggunnya. Sementara langit semakin temaram dan gelap. Hari ini sudahlah berakhir. Umurku sudah berkurang satu hari. Betapa cepat semuanya berlalu. Dan betapa tak bisa aku mengembalikan masa yang lalu. Sementara semua asa masih menggantung-gantung menari-nari di depan mataku tanpa bisa aku raih. Tetapi, aku akan tetap, tetap ingin menjadi orang sukses di masa depan.
Senin, 16 Mei 2011

Mengejar Kemarau

Gelap di sini padamkan asa. Sementara terang di ujung sana kelihatan cukup menjanjikan. Terang itu masih cukup mengusik. Membuat aku bersedia berlari, tertatih, berjinjit, merangkak, dan berdiri dengan satu kaki, hanya untuk mengejar terang itu.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan orang-orang yang menorehkan tanda tanya di dahi mereka: “Apa yang kamu pikir ada di terang itu?” “Sesuatu yang indah, mungkin....” “Kau hanya bermain dengan api!” Pikaranku dan mereka yang berdebat, tak kunjung membuatku mundur. Kuterus berlari, tertatih, berjinjit, merangkak, dan berdiri dengan satu kaki, hanya untuk mengejar terang itu.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan Diam. Diam menatapku seakan-akan akulah mangsanya. Untuk menghindari Diam, kuberlari dengan lebih kencang. Meminjam kekuatan seekor cheetah. Ketika Diam sudah jauh, Diam berteriak, “Berdiamlah sebentar!” Tetapi aku tak menurut. Aku terus mengejar terang.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan Perkara. Perkara menyambutku dengan tersenyum dan menyuguhkanku dengan berbagai macam hidangan. Ia bertanya, “Tak kah kau  ingin tau ada apa di balik terang itu?”. “Tentu aku ingin tapi akan aku cari jawabannya sendiri,” Jawabku tegas. “Bagus...bagus...” Perkara memberikan sebuah senyum yang penuh misteri. Maka setelah dipersilahkan aku kembali ke pengejaran.


Akhirnya terang itu semakin dekat. Kuukur hanya sekitar sepuluh langkah lagi. Dan ketika ku telah sampai perbatasan antara gelap dan terang. Aku melihat ke belakang, betapa gelap sungguh mencekam. Lalu beralih melihat ke depan, betapa terang begitu leluasa. Maka ku masuk ke area terang dan.... tak kusangka. Semuanya sungguh... kering. Kemarau. Tak ada yang hijau. Tak ada yang segar. Tak ada yang membuatku lebih bahagia daripada saat di area gelap. Hanya ada kemarau. Tak kusangka selama ini aku hanya mengejar kemarau. Tak ku mengerti.***

Mei 2011, di tengah pecarian semi