Sabtu, 18 Februari 2012

Kita, Dua Buah Kutub Magnet yang Berbeda

Persahabatan, mungkin suatu hal yang tidak akan bisa terlepas dari bagian hidup ini. Seorang sahabatlah yang akan membuat kita tersenyum saat menangis. Dan seorang sahabatlah yang akan menjulurkan tangan saat kita jatuh di keterpurukan.
Sahabat bukanlah orang yang akan dengan mudah kita temukan di dunia ini. Bisa dikata, sahabat bisa menjadi musuh, dan musuh bisa menjadi sahabat. Lalu bagaimana kita dapat mengetahui bahwa dia adalah sahabat sejati kita? Sahabat bukanlah dua orang yang memiliki banyak kesamaan lalu tiba-tiba saja menyatu. Tetapi sahabat adalah dua orang yang mempunyai banyak perbedaan, tetapi saling melengkapi karena perbedaan itu. Akhirnya, berujunglah sebuah persahabatan ke kesempurnaan hakiki. Dimana kesempurnaan itu akan menjadikan persahabatan menjadi jalan ke surga Illahi.

Berikut ini adalah sebuah puisi yang kudedikasikan kepada semua orang yang telah membuatku tersenyum kala berduka, bangkit kala terpuruk, bahkan mengingatkan kala aku salah, terimakasih sahabat....

Sabtu, 11 Februari 2012

Mungkin Mawar Masih Berupa Kuntum

Sewaktu di sekolah dasar, tepatnya di Madrasah Ibtidayah Asih Putera. Aku selalu diingatkan oleh guru-guru disana, "Kala di SMP nanti, jangan pernah terbawa arus. Tetapi BUATLAH ARUS. Jadilah kalian mujahid - mujahidah sejati pembawa syiar Islam," Bagiku hal tersebut sudah menjadi amanah, yang harus digenggam dengan istiqomah.

Pengumuman UN, dan tak dinyana, kami (angkatan ku sewaktu itu) hanya mendapat hasil UN yang tak seberapa. Kami tentu kecewa akan hal itu. Tetapi, guru-guru kami bukannya menunjukkan tekanan atau segala bentuk kekecewaan, malah tetap tersenyum tulus dan ikhlas. Dari situ kami berjanji SUATU SAAT NANTI kami akan membuat mereka tersenyum lebih indahnya. Bismillahirrahmanirrahim, sesungguhnya Allah tahu apa yang terbaik bagi kami. Mungkin hasil UN yang tak seberapa itu bisa menjadi "cambukan" bagi kami untuk melakukan hal yang terbaik dan menjadi yang terbaik di kemudian hari.

Aku kemudian membuat surat ini. Surat yang kubuat di awal bulan Juni sebelum perpisahan. Surat yang dimana aku dan kawan-kawan berjanji suatu saat nanti akan menjadi mawar yang merekah. Harumnya dan keelokannya Insya Allah akan membawa manfaat bagi nusa, bangsa, dan agama. Ya Allah, ridhailah mimpi kami itu. Karena ridha orang tua (termasuk guru kami) adalah ridha-Mu ya Allah. Aamiin.

Berikut ini adalah petikan teks surat yang kudedikasikan kepada guru dan orang tua kami semua....

Do'a



sumber gambar :  tawarikhkehidupan.blogspot.com

Selaksa cahaya datang dari mahalangit An-Nur

Menghidupkan alamnya sang Muhyi
Berseru sumringah di semesta sang Khaliq
Akhirnya bersua pula di bulan mahakarim

Rahmat, Maghfirah, yang dijanjikan sang Wahhab
Bulan sang Mushawwir yang selalu dielukan
Bulan yang terdapat Lailatul Qadar-nya sang Majid
Bulan penuh hikmah dan syafa’at dari sang Ghaffur

Bismillahirrahmanirrahim, penuh harapku
Beralaskan tikar surau kubertasbih
Memuji asmamu mengharap ridhomu
Berdo’a, satu do’a dalam rantai suci sang Illahi

Embun yang tertahan di balik kelopak
Suara serak dalam bekunya udara
Masih di surau kubertasbih
Berdo’a, satu do’a dalam rantai suci sang Illahi

Ya Allah, kala aku di alam kekal-Mu nanti,
Pertemukanlah aku dengan Ayah-Bunda
Yang telah Engkau jamu lebih dulu
Ya Rabb, pertemukanlah kami di sebaik-baiknya tempat kembali

Ya Allah Ya Rabb-ku, sekiranya Engkau berkenan. Kelak...

sumber : Do'a (Pemenang I)

SURATAN DARI SI YATIM

Masih kisah dari lembaran puisi ini

Tadi di jalan setapak kesini
Manakala makan dan minum menjadi mimpi
Ah sabar, sebentar lagi

Masih di bilangan ini
Kala aku bertemu si Yatim
Yang mendendangkan lagu tren semusim
Dan menyodorkan tangan, mengemis koin

Tess... kalbuku basah, iba
Dimanakah sang ayah-bunda
Masihkah si Yatim mengenal kasih dan cinta
Yang lama tak dienyamnya

Dunia mendung
Alam sekejap menyanyikan lagu sunyi
Ya Rabbi
Bahkan mentari pun ikut menangis

Si Yatim bertanya bisu
Masih menanti, sekedar selimut ‘tuk hatinya
Bahkan di bulan kasih sayang ini
Masih Ia tak merasakan apa yang namanya kasih sayang

Teringat aku, ayah-bundaku yang masih disisiku
Betapa daku tak mensyukuri
Apa yang diberikan Illahi
Ya Rabbi
Bahkan mentari pun ikut menangis

Tahun Lalu


Memoar tahun lalu masih meninggalkan jejak

Berderet serabutan di lintas sejarah
Bahkan masih tertoreh kasar di punggung dan dada
Memuai rasa, sakit

Sungguh, tak layak disebut dongeng
Yang hanya akan berakhir senyuman
Yang hanya euforia belaka
Yang hanya mencoba tutupi segala luka

Masih ku, mencari cinta

Umur yang hanya setinggi batang korek api
Menceritakan betapa pahitnya hidup
Menjelaskan alasan perginya semua
Menjelaskan perginya cinta

Oh, dimana gerangan?
Dikala butuh tempat untuk mendapat cinta
Dikala butuh tempat untuk menumpahkan duka
Kini hanya bisa mengais dan mengemis cinta
Dari kejamnya dunia

Masih ku, mencari cinta


Ku bertanya, masihkah tega,
Mata itu melihat air mata?
Masihkah tega,
Senyum itu membohongi duka?

Dimana bisa kutumpahkan air mata
Ketika mereka t’lah tiada
Dimana bisa kuberlindung dari kejamnya dunia
Ketika ku sendiri, hanya ditemani sunyi, sepi

Masihkah tega,
Ketika ku sampai di malam ini
Sebuah malam di penghujung ramadhan
Dan masih ku bertanya,
Dimana Ayah dan Bunda? --