Senin, 30 November 2020

Cerpen: Dendrit

Langit Purwakarta, gambar oleh panitia LMDN199

Deru mobil sedan menghempas gemuruh hujan sore itu. Kedua lampu sennya berkedap-kedip syahdu bersama riakan air hujan. Tidak ada jalan yang cukup penting untuk bisa disebut jalan protokol di kampung itu. Tidak ada pula acara pemotongan pita yang diadakan pejabat setempat. Namun, sore ini anak langit pulang ke bumi dengan membawa tamu lain. Pria yang sudah lama menghilang –atau mengasingkan diri— dari kesyahduan kampung itu, kini pria dengan setelan jas hitam itu bersiap keluar dari mobil sedan dinasnya. Plat nomor merahnya terlihat sangat mencolok meski dalam guyuran hujan.

Satu persatu tetangga yang mendengar suara deru mobil, berhamburan keluar rumah. Maklum, sebelumnya jarang sekali ada mobil datang ke kampung mereka. Bagaimana mungkin masuk kampung yang jalannya saja berhamburan kotoran ayam. Pak Camat yang kemarin datang untuk blusukan pun terpaksa jalan kaki ke dalam kampung supaya mobil rendahnya tidak rusak akibat melewati medan off-road di kampung mereka.

Cerpen: Tempias Hujan Senja Kemarin

senja di Ciwidey

Elok. Satu kata yang dapat mewakilkan keindahan mata itu. Sekilas terpancar cahaya segemilang mentari dari sana. Mata itu, walau tampak kuyu atas perjuangan berdarahnya selama hampir 30 tahun. Tapi kurasa memang semua orang benar tentangnya, tak ada yang dapat mengalahkan kegemilangan matanya.

“Emm… Kia,” manusia dengan mata gemilang itu sontak memanggil namaku.

“Eh.. Ya, ada apa?” aku tergagap, malu telah tertangkap basah sedang memperhatikan mata gemilang manusia di hadapanku.

Manusia bermata gemilang itu menghembuskan nafas pelan. “Kau tahu, aku mungkin tak akan pernah bisa seperti ini tanpamu. Sungguh, Allah Maha Baik mempertemukan kita. Aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu, Kia,” katanya lagi. Sesekali angin yang masuk lewat celah-celah jendela kafe berhembus pelan menyapa wajahnya. Mengayunkan ujung-ujung kerudungnya yang telah basah terlebih dahulu oleh air mata. “Terimakasih, Kia. Kau selalu menjadi teman yang terbaik,” tambahnya lagi diakhiri tawa khasnya. Renyah dan bersahabat.

Sabtu, 07 November 2020

VALENSI (IV)

 [tetap sebuah imaji]

"Kamu tahu bagian tersulit dari beranjak?" tanyamu, suatu waktu.

"Err... memangnya apa?"

Matamu menerawang langit biru padahal tidak ada apa-apa di sana. Kemudian kamu berkata lagi, "Semua bagiannya sulit, kok. Haha." Kamu hampir tertawa, tampak terpaksa.

Aku tersenyum kecut sambil berusaha menyelami jawabanmu itu, "Mungkin bisa menjadi mudah..."

Aku sempat terdiam. Ragu-ragu. Ah, apa akan aku katakan saja kalimat berikutnya ya...

"Mungkin bisa menjadi mudah... jika bukan diri kita sendiri yang mengehendakinya."