Langit Purwakarta, gambar oleh panitia LMDN199
Deru mobil
sedan menghempas gemuruh hujan sore itu. Kedua lampu sennya berkedap-kedip
syahdu bersama riakan air hujan. Tidak ada jalan yang cukup penting untuk bisa
disebut jalan protokol di kampung itu. Tidak ada pula acara pemotongan pita
yang diadakan pejabat setempat. Namun, sore ini anak langit pulang ke bumi
dengan membawa tamu lain. Pria yang sudah lama menghilang –atau mengasingkan
diri— dari kesyahduan kampung itu, kini pria dengan setelan jas hitam itu
bersiap keluar dari mobil sedan dinasnya. Plat nomor merahnya terlihat sangat
mencolok meski dalam guyuran hujan.
Satu persatu tetangga yang mendengar suara deru mobil, berhamburan keluar rumah. Maklum, sebelumnya jarang sekali ada mobil datang ke kampung mereka. Bagaimana mungkin masuk kampung yang jalannya saja berhamburan kotoran ayam. Pak Camat yang kemarin datang untuk blusukan pun terpaksa jalan kaki ke dalam kampung supaya mobil rendahnya tidak rusak akibat melewati medan off-road di kampung mereka.
Hujan
perlahan reda. Sangat mendukung tetangga yang penasaran untuk semakin mendekat.
Ibu-ibu mulai berhamburan dan membuat kelompok gosip kecil. Menebak-nebak apa
gerangan urusan pejabat itu datang kemari. Rasa-rasanya, kampung ini selalu
tentram dari gangguan pejabat daerah. Ya, mungkin terakhir kali ada gangguan
adalah dari Ibu Calon Bupati yang membawa sepasukan petugas untuk mengasapi
rumah mereka dengan gas yang berbau aneh. Kata Ibu Calon Bupati, gas itu
dinamakan fogging dan berguna untuk
membunuh nyamuk yang lagi ngetren
saat itu karena penyakit mematikan yang dibawanya. Setelah selesai mengasapi
kampung kami, Ibu Calon Bupati berbisik, “dukung saya di pilbup ya supaya warga
kampung ini selalu sehat!”
Lagu lama
pejabat sok peduli, selalu cari
gara-gara!
Pintu mobil
dinas perlahan dibuka. Tetangga yang menyaksikan seketika tertegun. Mereka
–apalagi aku— mengenal siapa orang itu. Meski kini berat badannya terlihat naik
10 kilo, namun wajahnya masih sama kuyunya dengan tiga tahun silam. Garis
hidungnya yang kokoh dan alis matanya yang tebal, menampakkan kesan pekerja
keras pada dirinya. Matanya terlihat lelah. Jas hitam kusut yang dipakainya
dibiarkan terkena gerimis. Dasinya yang merah marun dikeluarkan sekenanya. Pria
itu tampak sangat kelelahan. Langkahnya gontai, tidak seperti perawakannya. Pria
itu benar-benar terlihat kacau. Ia lalu berjalan ke arahku. Tangannya melambai
pelan kepadaku membuatku salah tingkah. Aku benar-benar bingung harus
bagaimana.
Pria itu adalah seseorang yang
dulu pernah kupanggil dengan sebutan Bapak
Bapak adalah
seorang pekerja keras. Subuh-subuh sudah menyambi di sawah, siang-siang menjadi
buruh di pabrik ujung kampung, sore-sore sampai malam bekerja serabutan apa
saja yang penting dapur di rumah dapat berasap.
Semua orang
kenal Bapak. Bukan karena Bapak seorang kyai apalagi petugas penagih pajak di
kampung, tetapi karena Bapak mau bekerja jadi apa saja. Bapak membantu apa saja
keperluan warga kampung. Melas tiang, mengecat tembok, membeli pupuk, menjaga
rumah, membenarkan lampu, sampai menjadi juru masak. Seringnya, Bapak tidak
mematok harga atas jasanya, bahkan terkadang Bapak pulang dengan tangan kosong
tanpa gaji. Kata Bapak. kerja itu harus ikhlas. Ya, Bapak terlalu baik untuk
ukuran seorang tak berduit. Terlalu baik.
Bapak
sebenarnya berwajah rupawan. Garis wajahnya kokoh bagai artis bollywood ternama. Tubuhnya pun berisi dan gagah. Bapak bisa saja bekerja menjadi
personalia di perkantoran ibu kota atau menjadi sekretaris camat di kampung
sebelah, namun menurut Bapak pekerjaan itu akan terlalu memakan waktunya padahal
ia bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih berbuah hasil.
Aku sering
merasa bersalah. Bapak tidak akan berjuang begitu keras kalau bukan karena
pengobatan diabetesku yang mahal. 300 ribu sehari hanya untuk satu suntikan
kecil. Mahal sekali bagi orang tak berduit seperti kami. Namun suntikan itu
menjadi gantungan hidupku.
Musim
pancaroba. Kisi-kisi bilik rumah memancarkan berkas-berkas cahaya. Sang bayu
tidak ramah saat itu. Ia menerobos kehangatan rumah begitu saja sampai tiap
penghuni rumah harus memakai pakaian lapis empat: kaos dalam, baju koko, jaket,
dan sarung.
Hari ini Pak
Kades akan datang ke rumah kami. Aku berasumsi kedatangan itu adalah untuk
silaturahmi yang biasa dilakukan Pak Kades tiap tiga bulan sekali ke warga
kampung. Namun ternyata aku salah. Ini jenis kunjungan yang berbeda.
Pak Kades
datang dengan pakaian batik kebanggaannya. Ia juga memakai celana hitam katun
yang biasa dipakainya saat akan memberikan sambutan di upacara bendera.
Tubuhnya sudah cukup ringkih meski baru berkepala lima. Kumisnya saat itu
dicukur rapi, lebih rapi daripada biasanya. Rambutnya basah habis disisir
searah bak pemeran utama pria di film lawas Indonesia.
Pak Kades
membawa serombongan pasukan dengan pakaian yang tak kalah bagus. Ada seseorang
dengan kacamata kotak yang aku duga adalah tamu paling agung saat itu. Terlihat
dari setelannya yang mewah dengan jas hitam dan rolex emas asli yang dipakainya. Dasinya terbuat dari sutra halus
dengan warna senada rolex-nya. Pak
Kacamata Kotak itu membawa koper kerja hitam besar yang biasa aku lihat di
film-film aksi untuk membawa uang kertas dalam jumlah besar. Selain itu, Pak
Kacamata Kotak itu tampak dikawal oleh orang-orang berstelan sama
disekelilingnya. Seketika aku mengingat film James Bond yang dulu pernah aku tonton di Balai Kampung sewaktu ada
kegiatan agustusan di kampung. Pak Kacamata Kotak persis seperti konglomerat
yang harus dilindungi agen detektif.
Anehnya, aku
belum pernah melihat Pak Kacamata ini sebelumnya. Meski aku memang jarang
sekali menonton kotak ajaib bernama televisi, namun aku tidak pernah
ketinggalan membaca koran pagi di Balai Kampung, terutama kolom politiknya.
Awalnya aku menebak Pak Kacamata ini adalah pejabat di kantor gubernur atau
minimal seorang jubirnya bupati, namun wajah Pak Kacamata ini benar-benar
asing. Belum pernah kulihat di antara berita korupsi koran pagi atau berita
pelantikan anggota DPR dan kepala daerah.
Bapak pun
mempersilakan kedua tamu barunya untuk duduk di tikar. Dari ketenangan
wajahnya, aku rasa Bapak tidak memikirkan apa yang aku pikirkan. Aku mengambil
seteko teh dan menyerahkannya pada Bapak. Aku ikut membantu Bapak menyiapkan
teh kepada kedua tamu itu.
“Pak Zohri,”
kata Pak Kades mengawali percakapan dengan suara serak-serak basah yang anehnya
memiliki daya persuasif tinggi. Kelebihan Pak Kades dalam persuasi membuatku
tahu kenapa Pak Kades bisa terpilih selama dua periode berturut-turut padahal
program kerjanya tidak ada yang sesuai dengan visi misinya saat kampanye. Pak
Kades kini membenarkan kerah baju batiknya, memperlihatkan tanda lahirnya yang
seperti benjolan hitam kecil di bawah jakun besarnya. Pak Kades yang memang
sudah cukup sepuh kini terbatuk-batuk kecil, “mungkin Bapak belum tahu maksud
kedatangan saya kemari. Saya datang kemari bukan untuk urusan yang dulu-dulu,
Pak. Ini sesuatu yang jauh lebih penting dan mendesak.”
Wajah Bapak
tenang seperti tidak apa-apa. Padahal dari perkataan Pak Kades, hal ini
seharusnya membuat Bapak was-was, minimal membuat Bapak menunjukkan mimik
serius. Tetapi begitulah Bapak, ketenangan adalah ilmu agungnya.
Setelah
selesai menyeduh teh, Bapak memberi isyarat kepadaku untuk kembali ke kamar.
Aku manut saja toh tampaknya urusan
kali ini memang bukan urusan bocah tiga belas tahun sepertiku.
Pak Kades
kemudian melirik Pak Kacamata Kotak. Pak Kacamata Kotak mengerti dengan isyarat
Pak Kades kemudian Pak Kacamata mengangguk dan berdeham kecil. Pak Kacamata
Kotak mengulurkan tangannya pada Bapak, “nama saya Edward. Saya sudah sering
mendengar mengenai Anda, Pak Zohri.”
Lalu
percakapan antara Bapak, Pak Kades, dan Pak Edward pun berlangsung serius. Aku
saat itu berada di dalam kamar yang sebenarnya hanya dibatasi anyaman bambu
sehingga aku bisa mendengar dengan samar pembicaraan Bapak dan kawan-kawan
barunya. Kata-kata aneh semisal urgensi politik, kudeta rezim korup, revolusi
parlemen, dampak sistemik, dan legalistik formal keluar dari mulut seseorang
yang mengaku bernama Edward itu. Orang yang bernama Edward itu sebenarnya tidak
sebule namanya. Ia berkulit sawo matang dengan mata cekung dan hidung besar. Rambutnya
hitam lurus dan wangi seperti minyak bayi. Perutnya cukup buncit sehingga
beberapa kancingnya tampak dikaitkan dengan paksa. Namun secara keseluruhan,
Pak Edward berpenampilan menarik dan rupawan bak pengacara presiden atau
semacamnya.
Sudah pukul
empat sore namun percakapan Bapak dan orang-orang itu masih terlihat tak
berujung. Aku pergi keluar rumah untuk menunaikan hajat di jamban belakang
rumah. Jamban itu berupa bilik kecil dengan karung beras Bulog sebagai hijabnya yang sederhana. Air dari jamban itu didapat
dari mata air di puncak gunung. Seketika aku ingat mengenai pelajaran biologi
oleh Pak Sul tadi siang di sekolah. Kata Pak Sul, manusia memiliki sel saraf
bernama neuron yang memiliki dua macam serabut, yaitu serabut dendrit dan serabut
akson. Keduanya mirip, hanya saja dendrit cenderung lebih pendek ketimbang
akson. Peran dendrit sangat penting terkait fungsinya sebagai penyampai pesan
ke badan sel. Pak Sul menyebutkan bahwa dendrit ini sebenarnya berasal dari
bahasa Yunani yang artinya pohon. Mungkin karena dendrit yang bercabang-cabang
dan menerima berbagai rangsangan serta hambatan dari luar tubuh. Dendrit sangat
menentukan terhadap pesan yang akan sampai ke badan sel dan dilanjutkan oleh
akson untuk memberikan informasi serupa ke jaringan lainnya. Sungguh sistem
kerja yang luar biasa.
Setelah
menunaikan hajat, aku kembali ke pelataran rumah. Lalu menyaksikan dengan
takzim–untuk kesekian kalinya—kesyahduan kampung ini. Kampung ini memang
teramat sunyi, terutama di sore hari seperti ini. Jam segini, anak-anak kampung
sedang berguru di madrasah al-Qur’an, ibu-ibunya sedang menyiapkan makan malam,
dan para suami sedang menunaikan pekerjaan. Sisanya, pemuda dan pemudi kampung
mungkin sedang mengadakan kumpul rutin karang taruna di Balai Kampung. Tidak
ada satu pun pekerjaan sia-sia yang dilakukan penduduk sini. Hal itu lah yang
membuatku bahagia bisa menjadi bagian dari warga kampung ini.
Aku hendak
masuk rumah ketika samar-samar terdengar suara Pak Kades dari balik pintu,
“bagaimana dengan anak Bapak yang memiliki diabetes? Bukankah insulin itu tidak
murah, Pak?”
Deg. Diabetes? Insulin? Jelas
sekali Pak Kades sedang membicarakan aku. Aku heran sekali mengapa Pak Kades
perlu menyinggung mengenai biaya pengobatanku kepada Bapak? Terlebih lagi, apa
sebenarnya urusan Pak Kades dan Pak Edward Kacamata itu dengan Bapak?
Aku
memutuskan untuk terus menunggu di luar dan menjaga jarak beberapa langkah dari
rumah. Aku tidak ingin terlihat sedang menguping percakapan, Bapak akan sangat
marah. Maka aku menahan godaan untuk mencuri dengar dengan mengumpulkan daun
kering di jalan depan rumah. Daun kering tersebut biasanya berguna untuk
menjadi bahan bakar pawon di rumah.
Tak
berselang lama, Pak Kades dan Pak Edward keluar rumah sembari menjabat tangan
Bapak. Baik Pak Kades dan Pak Edward tampak masih berbisik-bisik dengan senyum
merayu yang menyenangkan kepada Bapak. Kemudian keduanya pergi melewatiku yang
sedang mengumpulkan daun kering terakhir. Melewatiku begitu saja seakan-akan aku
tidak ada. Mengapa orang penting selalu merasa menjadi yang paling penting?
Aku masuk
kembali ke dalam rumah. Mendapati Bapak sedang duduk di atas tikar sembari meneguk
teh hangat. Tanpa komando apapun, aku ikut duduk di atas tikar.
“Tamu tadi
ada urusan apa, Pak?” Satu-satunya pertanyaan yang bisa kupikirkan saat itu.
Pertanyaan yang sangat sederhana. Maka aku sungguh kecewa ketika Bapak hanya
tersenyum sembari berkata percakapan tadi cuma seputar masalah kampung.
Aku
memandangi Bapak lamat-lamat. Aku menyelami kedalaman matanya lalu menemukan
hal lain di sana yang aku tidak tahu apa itu. Bapak dengan segala keapaadaannya
selalu mempunyai hal istimewa lain dibalik kokoh wajahnya. Hal lain yang belum
bisa kumengerti dengan baik sampai saat ini.
Mendapati
jawaban Bapak yang apa adanya, aku tahu itulah saatnya aku diam dan kembali ke
urusan masing-masing. Bapak mungkin tidak banyak berbicara, tetapi aku mengerti
bahwa kalau aku memang perlu tahu, pasti Bapak sudah memberi tahu aku. Maka aku
berasumsi bahwa semua akan baik-baik saja. Kehadiran Pak Kades dan seseorang
bernama Edward ke rumah mereka bukanlah perkara besar. Besok keadaan akan
kembali seperti semula.
Namun, hari-hari setelah itu adalah hari yang jauh lebih aneh.
Pagi-pagi
sekali Bapak sudah berangkat. Awalnya aku berpikir Bapak berangkat untuk
menyambi di sawah seperti biasa, namun kali ini Bapak tidak membawa sabit dan
cangkulnya. Aku menyalami Bapak sambil menyerahkan serantang makan siang
seperti biasa. Bapak menerimanya dengan takzim lalu pamit pergi. Aku tidak
bertanya apa pun mengenai kepergian Bapak yang tidak seperti biasanya. Awalnya
aku berpikir hal tersebut tidak terlalu perlu. Ya, awalnya.
Sore
harinya, Bapak pulang lagi dengan wajah berpeluh keringat. Nafasnya
tersengal-sengal seperti habis lari maraton dari Balai Kampung. Aku menyalami
Bapak dan bertanya kabar Bapak hari itu. Kemudian Bapak memberiku tiga pak
suntikan insulin baru. Seketika aku berterima kasih pada Bapak lalu
mempersilakan Bapak untuk beristirahat.
Benar saja,
kalau ada yang perlu aku ketahui, pasti Bapak akan memberi tahu aku. Malam ini
ketika angin malam lebih hangat daripada biasanya, Bapak memanggilku ke ruang
tamu. Kami berdua duduk di tikar dengan teh tawar panas sebagai hidangan utama.
“Din, Bapak
kemarin ditawari ikut pileg sama Pak Kades dan Pak Edward,” kata Bapak lugas
tanpa ekspresi. Aku mengangguk paham. Tawaran seperti itu akan datang cepat
atau lambat pada seseorang yang pekerja keras, terkenal, dan berwajah rupawan
seperti Bapak.
“Lalu Bapak
ikut?” tanyaku memastikan. Bagaimana pun juga Bapak tipe orang yang tidak
pernah punya pengalaman politik. Kalau Bapak memberiku kesempatan untuk
berpendapat, maka aku akan menyarankan Bapak untuk menolak saja tawaran
tersebut.
“Katanya
mereka butuh orang seperti Bapak, Din. Pak Kades bilang suhu politik sekarang
sedang memanas dan orang-orang perlu sosok baru yang bisa mereka percaya memegang
amanah mewakili suara warga kampung. Pak Kades merasa Bapak merupakan contoh
orang yang bisa dipercaya orang kampung kita. Lagi pula Bapak rasa pekerjaan
ini akan menambah penghasilan kita sehari-hari,” Bapak ternyata mengiyakan
tawaran itu. Aku sudah terlambat. Namun yang paling mengangguku adalah
pernyataan bahwa Bapak ingin menambah penghasilannya. Pasti itu gara-gara aku.
“Mbok dipikir-pikir lagi, Pak. Dunia
politik itu ganas. Bapak baru kampanye saja sudah dapat dipastikan rugi.” Aku
teringat pada Kyai Anshori yang beberapa tahun silam mengikuti pileg. Demi
kepentingan kampanye, Kyai Anshori menguras tabungannya hingga habis. Sayangnya,
Kyai Anshori tidak terpilih dan kini Kyai sekeluarga jatuh miskin. Sungguh
takdir yang miris.
“Bapak sudah
memikirkan ini semalaman. Kalau memang orang kampung kita butuh Bapak untuk
menyalurkan aspirasinya, maka Bapak harus bersedia membantu. Hidup ini harus
ikhlas membantu, Din. Suatu saat ketika kau menjadi pria dewasa, kau harus
senantiasa membantu orang-orang di sekitar kau,” Bapak berdeham. Aku
mengambilkan Bapak air teh untuk memulihkan tenggorokannya yang serat. Bapak
meminum dengan hikmat.
“Mengenai
biaya kampanye, Bapak memutuskan untuk tidak akan mengeluarkan biaya
sepeserpun. Bapak akan datang dari rumah ke rumah sembari membantu keperluan
orang kampung seperti biasa, lalu memberitahukan mengenai niat Bapak membantu
mereka di dewan wakil rakyat,” Bapak berbicara dengan sangat mantap sehingga
aku hanya bisa tertegun panjang. Kalau memang menurut Bapak begitu, maka aku
akan mendukung Bapak. Biasanya Bapak selalu benar. Ya, biasanya.
“Jangan lupa besok disuntik ya, Din. Jangan sampai kambuh penyakit kau,
nanti repot,” kata Bapak mengakhiri percakapan. Aku mengangguk pelan sembari
melihat ke tiga pak suntikan insulin yang baru diberi Bapak. Suntikan itu pasti
mahal sekali.
Pria
berstelan jas hitam itu kini berada tepat di depanku. Wajahnya dari dekat
tampak lebih kusut dibanding biasanya. Setelah tiga tahun, akhirnya pria ini
kembali ke kampung ini. Kembali dengan membawa mobil bernopol merahnya. Pria
ini, yang biasa penduduk kampung panggil Pak Zohri, datang kepadaku untuk
pertama kalinya sejak sekian tahun lamanya menghilang.
“Din,
maafkan Bapak,” tangis pria itu pecah. Aku sungguh kaget. Belum pernah
sebelumnya Bapak menangis seperti itu. Terakhir kali menangis mungkin ketika
ibu meninggal dunia saat aku masih di bawah lima tahun.
Aku
mempersilakan Bapak –aku iba dan memutuskan untuk kembali memanggilnya dengan
sebutan Bapak— masuk ke dalam rumah. Kami duduk di atas tikar berdua, nyaris
seperti lima tahun silam saat Bapak menyatakan keinginannya untuk terjun ke dunia
politik.
Sejak saat
Bapak ingin terjun ke dunia politik, Bapak memang melancarkan niatnya tanpa
mengeluarkan uang sepeserpun. Siapa sangka Bapak terpilih mewakili rakyat meski
Bapak hanya berkampanye dengan cara door-to-door
ke rumah-rumah di kampung? Bapak seharusnya masuk rekor MURI karena prestasinya
itu.
Setelah
pelantikan, Bapak masih sering ke rumah-rumah penduduk kampung. Namun kali ini
bukan untuk membantu keperluan warga, tetapi mendengar keluhan dan aspirasi
warga. Bapak benar-benar sosok yang bertanggung jawab pada amanahnya. Semua
orang akan mengakui itu saat itu.
Bapak juga
mendapat gaji pertama yang lumayan besar. Sebanding dengan uang yang didapat
Bapak dari hasil menyambi selama tiga bulan. Bapak segera membelikanku suntikan
insulin baru. Kata Bapak, kalau Bapak bisa berada di dewan pusat, gaji Bapak
akan tiga kali lipat gaji yang sekarang. Dewan pusat yang berada di ibu kota
provinsi memang lebih elit puluhan kali lipat dibanding dewan daerah tempat
Bapak sekarang. Aku tidak heran kalau Bapak ingin lebih mudah menyalurkan
aspirasi warga dengan masuk ke dewan pusat.
Dan benarlah
hal tersebut, Bapak terpilih masuk ke dewan pusat. Hanya saja, jarak dari
kampung ke kantor dewan pusat puluhan kilo jauhnya. Sehingga sejak saat itu
Bapak memutuskan untuk mengontrak rumah di daerah sana dan menitipkan aku pada
sanak saudara yang kebetulan adalah tetanggaku.
Tahun
pertama Bapak di rantau, Bapak masih suka mengirimiku uang dan datang ke
kampung tiap bulan sekali. Tahun berikutnya, Bapak benar-benar hilang. Awalnya
aku berpikir Bapak sedang ada kesibukan lain yang membuatnya tidak bisa pulang.
Namun ketidakpulangan Bapak ke Kampung hampir tiga bulan. Saat aku memutuskan
untuk datang ke Balai Kampung dan melaporkannya pada polisi, ada wesel berisi
uang dari Bapak datang kepadaku. Aku lantas membatalkan niatku melaporkannya
pada polisi dan berpikir mungkin Bapak memang benar-benar sibuk. Paling tidak
Bapak masih hidup di sana.
Begitu lah
seterusnya, Bapak tidak pernah pulang lagi. Meskipun begitu, Bapak selalu
mengirimiku uang tiap bulan, menjadikanku yakin bahwa Bapak masih ada di sana,
mungkin sedang berjuang menyampaikan aspirasi warga kampung.
Namun,
ketidakpulangan Bapak yang nyaris dua tahun membuatku kecewa. Umurku empat
belas tahun dan saat itu aku berada pada titik nadirku. Aku memutuskan untuk
melupakan segala hal soal Bapak. Saat itu, tidak ada lagi orang di dunia yang
aku panggil dengan sebutan Bapak. Aku teramat kecewa dengan Bapak yang sepertinya
menganggap bisa menggantikan ketidakpulangannya dengan uang-uang yang
dikirimnya kepadaku.
Hingga empat
bulan yang lalu, kiriman uang itu tidak ada lagi. Aku tidak begitu peduli toh aku sudah tidak menganggap
keberadaannya lagi saat itu. Uang untuk membeli suntikan insulin pun masih
tersisa banyak. Aku sama sekali tidak curiga.
Dan di
sinilah Bapak sekarang. Kini, duduk berdua di tikar, pria yang kupanggil dengan
sebutan bapak itu termenung cukup lama. Embun bening kembali keluar dari ujung
matanya. Suara gerimis semakin menambah syahdu suasana saat itu. Inilah Bapak,
pulang dengan mata bengkak akibat tangisnya. Kepulangan yang sangat menohok
hati.
“Din,
maaafkan Bapak,” kata Bapak pelan. Sesegukan. Aku hanya mengangguk pelan. Dari
sejak Bapak sampai ke kampung ini sampai sekarang, kalimat itu saja yang mampu
diucapkannya.
Bapak
menghela nafas dalam-dalam. Tenggorokannya tersekat seperti akan menyampaikan
sesuatu. Mungkin kalimat baru selain permohonan maaf Bapak. Mulut Bapak
terbuka, “Bapak... sedang dikejar aparat, Din.”
Aku
tersentak kaget. Refleks aku menjauhi Bapak, lalu menyesal telah melakukan hal
tersebut. Bapak semakin terisak dan entah dengan apa aku bisa menghentikan
isakannya.
Pelan-pelan,
Bapak menjelaskan mengenai kondisinya saat itu. Mulai dari saat beliau terpilih
menjadi anggota dewan legislatif daerah, sampai saat Bapak dikejar aparat
kepolisian. Bapak yang polos rupanya telah diajak untuk berkorupsi oleh
rekan-rekannya di kantor dewan. Bapak tidak tahu menahu bahwa uang yang digunakannya
adalah uang haram. Bapak hanya tahu, bahwa apa yang dilakukannya adalah hal
yang sama dengan yang dilakukan orang lain di kantornya.
Lama-kelamaan,
Bapak tergoda untuk melakukan lebih. Tanpa sadar, Bapak telah melancarkan suatu
“perampokan” besar dengan memalsukan dokumen RAPBD. Bapak mengaku melakukannya
tanpa sadar. Bapak menerima sejumlah instruksi dari rekan-rekannya dan
mendapati berbagai koneksi yang potensial untuk memulai aksinya.
Aku tidak
tahu harus bagaimana. Bapak yang aku kenal adalah orang yang jujur dan
berintegritas, tidak mungkin Bapak berbohong kepadaku soal ketidaktahuan dan
ketidaksengajaannya merampok uang rakyat. Di sisi lain, pengakuan Bapak akan
ketidaktahuannya sangat tidak logis bagiku.
Aku ingin
menangis, “kok bisa-bisanya Bapak tidak tahu?” tanyaku putus asa.
Bapak kemudian berhenti bercerita. Beliau menatapku lamat-lamat,
mencari bening mataku dibalik mendung yang menutupinya. Bapak kemudian
bercicit, “bagaimana pun juga, ini semua gara-gara tanda tangan Bapak, Din.
Maafkan Bapak.”
Mataku
nanar menerawang langit-langit rumah. Berkas-berkas cahaya menelisik lewat kisi-kisi
anyaman bambu di dinding rumah. Berbagai kenangan tumbuh subur di pikiranku. Lalu, adegan demi adegan pahit berlompatan di
depan mata. Meninggalkan sejuta kenangan perih yang bergelayut di langit-langit
atap.
Kemarin,
aparat kepolisian dari badan negara yang biasa menangkap pelaku tindak pidana
korupsi, memecah kesyahduan kampung dengan sirine nyaringnya. Semua tetangga
berhamburan keluar demi menyaksikan peristiwa maha jarang itu. Kabar burung
mengenai Pak Zohri yang dikejar aparat kepolisian menjadi santapan ibu-ibu PKK
pagi itu.
Seperti
biasa, aku pergi ke Balai Kampung untuk menyantap koran gratis. Koran pagi ini
telah sampai di tanganku. Seperti yang sudah aku duga, berita mengenai
penangkapan Bapak menjadi headline news yang
memenuhi sepertiga halaman pertama koran.
Berita
ini benar-benar menyebar dengan cepat. Sejak kemarin, satu persatu tetangga di
sekitar rumahku mendatangi kediamanku seakan-akan baru saja ada yang terkena
musibah. Meski memang benar, musibah yang menimpaku adalah penangkapan Bapak.
Penangkapan Bapak yang tidak terduga itu telah menjadi buah bibir dan menarik
perhatian tetangga, bahkan sampai kampung sebelah. Hari ini akan semakin banyak
tetangga yang datang setelah membaca koran pagi. Aku curiga, sebagian orang yang
datang hanya karena penasaran dibanding karena kasihan.
Pak
Kades juga datang bersama istrinya dan mengingatkanku untuk bersabar.
Menurutnya ini adalah ujian dan bukti bahwa sulit sekali mempertahankan prinsip
di dunia politik, meski prinsip itu seteguh prinsip Bapak. Saat itu ingin sekali
aku menjitak kepala Pak Kades dan mengatakan bahwa Bapak adalah orang yang
teguh pendirian dan kalau ada orang yang bersalah, pastilah itu Pak Kades. Tetapi
perkataan itu hanya menggantung di tenggorokan. Aku terlalu pengecut untuk
membela Bapak, aku takut Pak Kades ada benarnya.
Setelah memberikan banyak wejangan –yang menurutku tidak
penting— Pak Kades mengajakku untuk menjenguk Bapak di bui. Menurut Pak Kades,
ada baiknya sebelum Bapak diadili, aku menjenguk Bapak untuk memberikan
semangat kepada beliau. Bagaimana pun juga, beliau adalah bapakku. Tentu saja
aku mengiyakan, apalagi Pak Kades teramat baik menawarkan tumpangan ke sana.
Prasangka burukku pasti akan mengatakan bahwa
“kebaikan” Pak Kades ini karena rasa bersalahnya terhadap ku. Pak Kades pasti
lah ingin memberikan kompensasi kepada ku karena gara-gara Pak Kades lah Bapak
terjun ke dunia politik. Ya, saat itu diriku benar-benar buta akan kebaikan
orang lain.
Selepas
berkunjung ke bui Bapak, otakku dipenuhi oleh berbagai macam pikiran. Aku
semakin bingung dengan kata benar atau salah. Aku semakin tidak yakin dengan
arti kata kejujuran. Apakah kejujuran itu tidak sejelas noktah pada selembar
kertas putih?
Dari
cerita Bapak saat aku berkunjung ke bui, aku jadi teringat dengan Pak Sul dan
pelajaran mengenai dendritnya. Menurutku, Bapak adalah dendrit. Bapak bilang,
dendrit memiliki peran yang sangat penting dalam melancarakan aksi perampokan
itu. Seperti layaknya Bapak yang memiliki posisi strategis di dewan pusat yang
membuat Bapak akan sangat mudah menyusupi kantor Ketua Dewan dengan berkas
palsu. Bodohnya, Bapak tidak menyadari cara orang-orang memanfaatkan posisi
Bapak tersebut. Aku sangat marah dengan tindakan bodoh Bapak saat itu.
Ternyata, itulah yang menjadi penyebab Bapak terpaksa tidak pulang selama dua
tahun. Bapak harus mengurus uang ganti kepada rakyat. Nahasnya, empat bulan
yang lalu, aksi Bapak dan teman-temannya tercium KPK. Bapak lantas semakin
kewalahan mengurus pengasingannya. Bapak memutuskan untuk kembali ke kampung,
bertemu aku dan menjelaskan semuanya, lalu membiarkan siapa pun menangkap
Bapak. Bapak menyerahkan dirinya untuk diadili dan dibui.
Seminggu
setelah kasus penangkapan Bapak, rumah ini kembali sepi. Tidak ada lagi
tetangga yang berkunjung dan menyatakan keibaannya. Rumah ini sepi selaras
dengan kesyahduan kampung yang malah kini menghantuiku, merongrong ketenangan
hatiku.
Semua
ini terjadi gara-gara proyek dendrit! Tetapi aku juga tidak sepatutnya
menyalahkan proyek dendrit. Kalau bukan karena Pak Kades dan Pak Edward itu,
Bapak tidak akan terjun ke dunia politik yang kini menjadi jurang bui bagi
Bapak. Aku juga tidak sepatutnya menyalahkan Pak Kades dan Pak Edward, meskipun
mungkin mereka berdua memiliki kepentingan politik atas tawarannya terhadap Bapak,
Bapak lah yang salah karena tidak bijaksana mengambil keputusan.
Tetapi
Bapak tidak mungkin tidak bijaksana mengambil keputusan. Selalu ada alasan kuat
di balik keputusan Bapak. Alasan Bapak adalah aku. Semua gara-gara aku. Aku dan
penyakit diabetesku. Aku dan suntikan insulinku.
Ya,
maafkan aku yang membuatmu kini mendekam di bui penjara, Bapak.
***
Halo teman-teman pembaca! Terima kasih banyak sudah setia membaca sampai titik ini :)
Cerita pendek ini barangkali cerita pendek bernuansa "kesuraman dunia nyata" pertama yang aku tulis. Aku menulis ini pada akhir tahun 2014, saat kelas XI SMA. Mohon maaf jika ada pemahaman birokrasi dan perpolitikan yang salah dalam cerita ini ya! Anak SMA tahu apa sih *eh malah excuse, wkwk. Semoga cerita ini dapat diambil manfaatnya.
0 komentar:
Posting Komentar