Senin, 30 November 2020

Cerpen: Dendrit

Langit Purwakarta, gambar oleh panitia LMDN199

Deru mobil sedan menghempas gemuruh hujan sore itu. Kedua lampu sennya berkedap-kedip syahdu bersama riakan air hujan. Tidak ada jalan yang cukup penting untuk bisa disebut jalan protokol di kampung itu. Tidak ada pula acara pemotongan pita yang diadakan pejabat setempat. Namun, sore ini anak langit pulang ke bumi dengan membawa tamu lain. Pria yang sudah lama menghilang –atau mengasingkan diri— dari kesyahduan kampung itu, kini pria dengan setelan jas hitam itu bersiap keluar dari mobil sedan dinasnya. Plat nomor merahnya terlihat sangat mencolok meski dalam guyuran hujan.

Satu persatu tetangga yang mendengar suara deru mobil, berhamburan keluar rumah. Maklum, sebelumnya jarang sekali ada mobil datang ke kampung mereka. Bagaimana mungkin masuk kampung yang jalannya saja berhamburan kotoran ayam. Pak Camat yang kemarin datang untuk blusukan pun terpaksa jalan kaki ke dalam kampung supaya mobil rendahnya tidak rusak akibat melewati medan off-road di kampung mereka.

Hujan perlahan reda. Sangat mendukung tetangga yang penasaran untuk semakin mendekat. Ibu-ibu mulai berhamburan dan membuat kelompok gosip kecil. Menebak-nebak apa gerangan urusan pejabat itu datang kemari. Rasa-rasanya, kampung ini selalu tentram dari gangguan pejabat daerah. Ya, mungkin terakhir kali ada gangguan adalah dari Ibu Calon Bupati yang membawa sepasukan petugas untuk mengasapi rumah mereka dengan gas yang berbau aneh. Kata Ibu Calon Bupati, gas itu dinamakan fogging dan berguna untuk membunuh nyamuk yang lagi ngetren saat itu karena penyakit mematikan yang dibawanya. Setelah selesai mengasapi kampung kami, Ibu Calon Bupati berbisik, “dukung saya di pilbup ya supaya warga kampung ini selalu sehat!”

Lagu lama pejabat sok peduli, selalu cari gara-gara!

Pintu mobil dinas perlahan dibuka. Tetangga yang menyaksikan seketika tertegun. Mereka –apalagi aku— mengenal siapa orang itu. Meski kini berat badannya terlihat naik 10 kilo, namun wajahnya masih sama kuyunya dengan tiga tahun silam. Garis hidungnya yang kokoh dan alis matanya yang tebal, menampakkan kesan pekerja keras pada dirinya. Matanya terlihat lelah. Jas hitam kusut yang dipakainya dibiarkan terkena gerimis. Dasinya yang merah marun dikeluarkan sekenanya. Pria itu tampak sangat kelelahan. Langkahnya gontai, tidak seperti perawakannya. Pria itu benar-benar terlihat kacau. Ia lalu berjalan ke arahku. Tangannya melambai pelan kepadaku membuatku salah tingkah. Aku benar-benar bingung harus bagaimana.

Pria itu adalah seseorang yang dulu pernah kupanggil dengan sebutan Bapak

 

 

Bapak adalah seorang pekerja keras. Subuh-subuh sudah menyambi di sawah, siang-siang menjadi buruh di pabrik ujung kampung, sore-sore sampai malam bekerja serabutan apa saja yang penting dapur di rumah dapat berasap.

Semua orang kenal Bapak. Bukan karena Bapak seorang kyai apalagi petugas penagih pajak di kampung, tetapi karena Bapak mau bekerja jadi apa saja. Bapak membantu apa saja keperluan warga kampung. Melas tiang, mengecat tembok, membeli pupuk, menjaga rumah, membenarkan lampu, sampai menjadi juru masak. Seringnya, Bapak tidak mematok harga atas jasanya, bahkan terkadang Bapak pulang dengan tangan kosong tanpa gaji. Kata Bapak. kerja itu harus ikhlas. Ya, Bapak terlalu baik untuk ukuran seorang tak berduit. Terlalu baik.

Bapak sebenarnya berwajah rupawan. Garis wajahnya kokoh bagai artis bollywood ternama. Tubuhnya pun berisi dan gagah. Bapak bisa saja bekerja menjadi personalia di perkantoran ibu kota atau menjadi sekretaris camat di kampung sebelah, namun menurut Bapak pekerjaan itu akan terlalu memakan waktunya padahal ia bisa melakukan pekerjaan lain yang lebih berbuah hasil.

Aku sering merasa bersalah. Bapak tidak akan berjuang begitu keras kalau bukan karena pengobatan diabetesku yang mahal. 300 ribu sehari hanya untuk satu suntikan kecil. Mahal sekali bagi orang tak berduit seperti kami. Namun suntikan itu menjadi gantungan hidupku.

Musim pancaroba. Kisi-kisi bilik rumah memancarkan berkas-berkas cahaya. Sang bayu tidak ramah saat itu. Ia menerobos kehangatan rumah begitu saja sampai tiap penghuni rumah harus memakai pakaian lapis empat: kaos dalam, baju koko, jaket, dan sarung.

Hari ini Pak Kades akan datang ke rumah kami. Aku berasumsi kedatangan itu adalah untuk silaturahmi yang biasa dilakukan Pak Kades tiap tiga bulan sekali ke warga kampung. Namun ternyata aku salah. Ini jenis kunjungan yang berbeda.

Pak Kades datang dengan pakaian batik kebanggaannya. Ia juga memakai celana hitam katun yang biasa dipakainya saat akan memberikan sambutan di upacara bendera. Tubuhnya sudah cukup ringkih meski baru berkepala lima. Kumisnya saat itu dicukur rapi, lebih rapi daripada biasanya. Rambutnya basah habis disisir searah bak pemeran utama pria di film lawas Indonesia.

Pak Kades membawa serombongan pasukan dengan pakaian yang tak kalah bagus. Ada seseorang dengan kacamata kotak yang aku duga adalah tamu paling agung saat itu. Terlihat dari setelannya yang mewah dengan jas hitam dan rolex emas asli yang dipakainya. Dasinya terbuat dari sutra halus dengan warna senada rolex-nya. Pak Kacamata Kotak itu membawa koper kerja hitam besar yang biasa aku lihat di film-film aksi untuk membawa uang kertas dalam jumlah besar. Selain itu, Pak Kacamata Kotak itu tampak dikawal oleh orang-orang berstelan sama disekelilingnya. Seketika aku mengingat film James Bond yang dulu pernah aku tonton di Balai Kampung sewaktu ada kegiatan agustusan di kampung. Pak Kacamata Kotak persis seperti konglomerat yang harus dilindungi agen detektif.

Anehnya, aku belum pernah melihat Pak Kacamata ini sebelumnya. Meski aku memang jarang sekali menonton kotak ajaib bernama televisi, namun aku tidak pernah ketinggalan membaca koran pagi di Balai Kampung, terutama kolom politiknya. Awalnya aku menebak Pak Kacamata ini adalah pejabat di kantor gubernur atau minimal seorang jubirnya bupati, namun wajah Pak Kacamata ini benar-benar asing. Belum pernah kulihat di antara berita korupsi koran pagi atau berita pelantikan anggota DPR dan kepala daerah.

Bapak pun mempersilakan kedua tamu barunya untuk duduk di tikar. Dari ketenangan wajahnya, aku rasa Bapak tidak memikirkan apa yang aku pikirkan. Aku mengambil seteko teh dan menyerahkannya pada Bapak. Aku ikut membantu Bapak menyiapkan teh kepada kedua tamu itu.

“Pak Zohri,” kata Pak Kades mengawali percakapan dengan suara serak-serak basah yang anehnya memiliki daya persuasif tinggi. Kelebihan Pak Kades dalam persuasi membuatku tahu kenapa Pak Kades bisa terpilih selama dua periode berturut-turut padahal program kerjanya tidak ada yang sesuai dengan visi misinya saat kampanye. Pak Kades kini membenarkan kerah baju batiknya, memperlihatkan tanda lahirnya yang seperti benjolan hitam kecil di bawah jakun besarnya. Pak Kades yang memang sudah cukup sepuh kini terbatuk-batuk kecil, “mungkin Bapak belum tahu maksud kedatangan saya kemari. Saya datang kemari bukan untuk urusan yang dulu-dulu, Pak. Ini sesuatu yang jauh lebih penting dan mendesak.”

Wajah Bapak tenang seperti tidak apa-apa. Padahal dari perkataan Pak Kades, hal ini seharusnya membuat Bapak was-was, minimal membuat Bapak menunjukkan mimik serius. Tetapi begitulah Bapak, ketenangan adalah ilmu agungnya.

Setelah selesai menyeduh teh, Bapak memberi isyarat kepadaku untuk kembali ke kamar. Aku manut saja toh tampaknya urusan kali ini memang bukan urusan bocah tiga belas tahun sepertiku.

Pak Kades kemudian melirik Pak Kacamata Kotak. Pak Kacamata Kotak mengerti dengan isyarat Pak Kades kemudian Pak Kacamata mengangguk dan berdeham kecil. Pak Kacamata Kotak mengulurkan tangannya pada Bapak, “nama saya Edward. Saya sudah sering mendengar mengenai Anda, Pak Zohri.”

Lalu percakapan antara Bapak, Pak Kades, dan Pak Edward pun berlangsung serius. Aku saat itu berada di dalam kamar yang sebenarnya hanya dibatasi anyaman bambu sehingga aku bisa mendengar dengan samar pembicaraan Bapak dan kawan-kawan barunya. Kata-kata aneh semisal urgensi politik, kudeta rezim korup, revolusi parlemen, dampak sistemik, dan legalistik formal keluar dari mulut seseorang yang mengaku bernama Edward itu. Orang yang bernama Edward itu sebenarnya tidak sebule namanya. Ia berkulit sawo matang dengan mata cekung dan hidung besar. Rambutnya hitam lurus dan wangi seperti minyak bayi. Perutnya cukup buncit sehingga beberapa kancingnya tampak dikaitkan dengan paksa. Namun secara keseluruhan, Pak Edward berpenampilan menarik dan rupawan bak pengacara presiden atau semacamnya.

Sudah pukul empat sore namun percakapan Bapak dan orang-orang itu masih terlihat tak berujung. Aku pergi keluar rumah untuk menunaikan hajat di jamban belakang rumah. Jamban itu berupa bilik kecil dengan karung beras Bulog sebagai hijabnya yang sederhana. Air dari jamban itu didapat dari mata air di puncak gunung. Seketika aku ingat mengenai pelajaran biologi oleh Pak Sul tadi siang di sekolah. Kata Pak Sul, manusia memiliki sel saraf bernama neuron yang memiliki dua macam serabut, yaitu serabut dendrit dan serabut akson. Keduanya mirip, hanya saja dendrit cenderung lebih pendek ketimbang akson. Peran dendrit sangat penting terkait fungsinya sebagai penyampai pesan ke badan sel. Pak Sul menyebutkan bahwa dendrit ini sebenarnya berasal dari bahasa Yunani yang artinya pohon. Mungkin karena dendrit yang bercabang-cabang dan menerima berbagai rangsangan serta hambatan dari luar tubuh. Dendrit sangat menentukan terhadap pesan yang akan sampai ke badan sel dan dilanjutkan oleh akson untuk memberikan informasi serupa ke jaringan lainnya. Sungguh sistem kerja yang luar biasa.

Setelah menunaikan hajat, aku kembali ke pelataran rumah. Lalu menyaksikan dengan takzim–untuk kesekian kalinya—kesyahduan kampung ini. Kampung ini memang teramat sunyi, terutama di sore hari seperti ini. Jam segini, anak-anak kampung sedang berguru di madrasah al-Qur’an, ibu-ibunya sedang menyiapkan makan malam, dan para suami sedang menunaikan pekerjaan. Sisanya, pemuda dan pemudi kampung mungkin sedang mengadakan kumpul rutin karang taruna di Balai Kampung. Tidak ada satu pun pekerjaan sia-sia yang dilakukan penduduk sini. Hal itu lah yang membuatku bahagia bisa menjadi bagian dari warga kampung ini.

Aku hendak masuk rumah ketika samar-samar terdengar suara Pak Kades dari balik pintu, “bagaimana dengan anak Bapak yang memiliki diabetes? Bukankah insulin itu tidak murah, Pak?”

Deg. Diabetes? Insulin? Jelas sekali Pak Kades sedang membicarakan aku. Aku heran sekali mengapa Pak Kades perlu menyinggung mengenai biaya pengobatanku kepada Bapak? Terlebih lagi, apa sebenarnya urusan Pak Kades dan Pak Edward Kacamata itu dengan Bapak?

Aku memutuskan untuk terus menunggu di luar dan menjaga jarak beberapa langkah dari rumah. Aku tidak ingin terlihat sedang menguping percakapan, Bapak akan sangat marah. Maka aku menahan godaan untuk mencuri dengar dengan mengumpulkan daun kering di jalan depan rumah. Daun kering tersebut biasanya berguna untuk menjadi bahan bakar pawon di rumah.

Tak berselang lama, Pak Kades dan Pak Edward keluar rumah sembari menjabat tangan Bapak. Baik Pak Kades dan Pak Edward tampak masih berbisik-bisik dengan senyum merayu yang menyenangkan kepada Bapak. Kemudian keduanya pergi melewatiku yang sedang mengumpulkan daun kering terakhir. Melewatiku begitu saja seakan-akan aku tidak ada. Mengapa orang penting selalu merasa menjadi yang paling penting?

Aku masuk kembali ke dalam rumah. Mendapati Bapak sedang duduk di atas tikar sembari meneguk teh hangat. Tanpa komando apapun, aku ikut duduk di atas tikar.

“Tamu tadi ada urusan apa, Pak?” Satu-satunya pertanyaan yang bisa kupikirkan saat itu. Pertanyaan yang sangat sederhana. Maka aku sungguh kecewa ketika Bapak hanya tersenyum sembari berkata percakapan tadi cuma seputar masalah kampung.

Aku memandangi Bapak lamat-lamat. Aku menyelami kedalaman matanya lalu menemukan hal lain di sana yang aku tidak tahu apa itu. Bapak dengan segala keapaadaannya selalu mempunyai hal istimewa lain dibalik kokoh wajahnya. Hal lain yang belum bisa kumengerti dengan baik sampai saat ini.

Mendapati jawaban Bapak yang apa adanya, aku tahu itulah saatnya aku diam dan kembali ke urusan masing-masing. Bapak mungkin tidak banyak berbicara, tetapi aku mengerti bahwa kalau aku memang perlu tahu, pasti Bapak sudah memberi tahu aku. Maka aku berasumsi bahwa semua akan baik-baik saja. Kehadiran Pak Kades dan seseorang bernama Edward ke rumah mereka bukanlah perkara besar. Besok keadaan akan kembali seperti semula.

Namun, hari-hari setelah itu adalah hari yang jauh lebih aneh.

 

 

Pagi-pagi sekali Bapak sudah berangkat. Awalnya aku berpikir Bapak berangkat untuk menyambi di sawah seperti biasa, namun kali ini Bapak tidak membawa sabit dan cangkulnya. Aku menyalami Bapak sambil menyerahkan serantang makan siang seperti biasa. Bapak menerimanya dengan takzim lalu pamit pergi. Aku tidak bertanya apa pun mengenai kepergian Bapak yang tidak seperti biasanya. Awalnya aku berpikir hal tersebut tidak terlalu perlu. Ya, awalnya.

Sore harinya, Bapak pulang lagi dengan wajah berpeluh keringat. Nafasnya tersengal-sengal seperti habis lari maraton dari Balai Kampung. Aku menyalami Bapak dan bertanya kabar Bapak hari itu. Kemudian Bapak memberiku tiga pak suntikan insulin baru. Seketika aku berterima kasih pada Bapak lalu mempersilakan Bapak untuk beristirahat.

Benar saja, kalau ada yang perlu aku ketahui, pasti Bapak akan memberi tahu aku. Malam ini ketika angin malam lebih hangat daripada biasanya, Bapak memanggilku ke ruang tamu. Kami berdua duduk di tikar dengan teh tawar panas sebagai hidangan utama.

“Din, Bapak kemarin ditawari ikut pileg sama Pak Kades dan Pak Edward,” kata Bapak lugas tanpa ekspresi. Aku mengangguk paham. Tawaran seperti itu akan datang cepat atau lambat pada seseorang yang pekerja keras, terkenal, dan berwajah rupawan seperti Bapak.

“Lalu Bapak ikut?” tanyaku memastikan. Bagaimana pun juga Bapak tipe orang yang tidak pernah punya pengalaman politik. Kalau Bapak memberiku kesempatan untuk berpendapat, maka aku akan menyarankan Bapak untuk menolak saja tawaran tersebut.

“Katanya mereka butuh orang seperti Bapak, Din. Pak Kades bilang suhu politik sekarang sedang memanas dan orang-orang perlu sosok baru yang bisa mereka percaya memegang amanah mewakili suara warga kampung. Pak Kades merasa Bapak merupakan contoh orang yang bisa dipercaya orang kampung kita. Lagi pula Bapak rasa pekerjaan ini akan menambah penghasilan kita sehari-hari,” Bapak ternyata mengiyakan tawaran itu. Aku sudah terlambat. Namun yang paling mengangguku adalah pernyataan bahwa Bapak ingin menambah penghasilannya. Pasti itu gara-gara aku.

Mbok dipikir-pikir lagi, Pak. Dunia politik itu ganas. Bapak baru kampanye saja sudah dapat dipastikan rugi.” Aku teringat pada Kyai Anshori yang beberapa tahun silam mengikuti pileg. Demi kepentingan kampanye, Kyai Anshori menguras tabungannya hingga habis. Sayangnya, Kyai Anshori tidak terpilih dan kini Kyai sekeluarga jatuh miskin. Sungguh takdir yang miris.

“Bapak sudah memikirkan ini semalaman. Kalau memang orang kampung kita butuh Bapak untuk menyalurkan aspirasinya, maka Bapak harus bersedia membantu. Hidup ini harus ikhlas membantu, Din. Suatu saat ketika kau menjadi pria dewasa, kau harus senantiasa membantu orang-orang di sekitar kau,” Bapak berdeham. Aku mengambilkan Bapak air teh untuk memulihkan tenggorokannya yang serat. Bapak meminum dengan hikmat.

“Mengenai biaya kampanye, Bapak memutuskan untuk tidak akan mengeluarkan biaya sepeserpun. Bapak akan datang dari rumah ke rumah sembari membantu keperluan orang kampung seperti biasa, lalu memberitahukan mengenai niat Bapak membantu mereka di dewan wakil rakyat,” Bapak berbicara dengan sangat mantap sehingga aku hanya bisa tertegun panjang. Kalau memang menurut Bapak begitu, maka aku akan mendukung Bapak. Biasanya Bapak selalu benar. Ya, biasanya.

“Jangan lupa besok disuntik ya, Din. Jangan sampai kambuh penyakit kau, nanti repot,” kata Bapak mengakhiri percakapan. Aku mengangguk pelan sembari melihat ke tiga pak suntikan insulin yang baru diberi Bapak. Suntikan itu pasti mahal sekali.

 

 

Pria berstelan jas hitam itu kini berada tepat di depanku. Wajahnya dari dekat tampak lebih kusut dibanding biasanya. Setelah tiga tahun, akhirnya pria ini kembali ke kampung ini. Kembali dengan membawa mobil bernopol merahnya. Pria ini, yang biasa penduduk kampung panggil Pak Zohri, datang kepadaku untuk pertama kalinya sejak sekian tahun lamanya menghilang.

“Din, maafkan Bapak,” tangis pria itu pecah. Aku sungguh kaget. Belum pernah sebelumnya Bapak menangis seperti itu. Terakhir kali menangis mungkin ketika ibu meninggal dunia saat aku masih di bawah lima tahun.

Aku mempersilakan Bapak –aku iba dan memutuskan untuk kembali memanggilnya dengan sebutan Bapak— masuk ke dalam rumah. Kami duduk di atas tikar berdua, nyaris seperti lima tahun silam saat Bapak menyatakan keinginannya untuk terjun ke dunia politik.

Sejak saat Bapak ingin terjun ke dunia politik, Bapak memang melancarkan niatnya tanpa mengeluarkan uang sepeserpun. Siapa sangka Bapak terpilih mewakili rakyat meski Bapak hanya berkampanye dengan cara door-to-door ke rumah-rumah di kampung? Bapak seharusnya masuk rekor MURI karena prestasinya itu.

Setelah pelantikan, Bapak masih sering ke rumah-rumah penduduk kampung. Namun kali ini bukan untuk membantu keperluan warga, tetapi mendengar keluhan dan aspirasi warga. Bapak benar-benar sosok yang bertanggung jawab pada amanahnya. Semua orang akan mengakui itu saat itu.

Bapak juga mendapat gaji pertama yang lumayan besar. Sebanding dengan uang yang didapat Bapak dari hasil menyambi selama tiga bulan. Bapak segera membelikanku suntikan insulin baru. Kata Bapak, kalau Bapak bisa berada di dewan pusat, gaji Bapak akan tiga kali lipat gaji yang sekarang. Dewan pusat yang berada di ibu kota provinsi memang lebih elit puluhan kali lipat dibanding dewan daerah tempat Bapak sekarang. Aku tidak heran kalau Bapak ingin lebih mudah menyalurkan aspirasi warga dengan masuk ke dewan pusat.

Dan benarlah hal tersebut, Bapak terpilih masuk ke dewan pusat. Hanya saja, jarak dari kampung ke kantor dewan pusat puluhan kilo jauhnya. Sehingga sejak saat itu Bapak memutuskan untuk mengontrak rumah di daerah sana dan menitipkan aku pada sanak saudara yang kebetulan adalah tetanggaku.

Tahun pertama Bapak di rantau, Bapak masih suka mengirimiku uang dan datang ke kampung tiap bulan sekali. Tahun berikutnya, Bapak benar-benar hilang. Awalnya aku berpikir Bapak sedang ada kesibukan lain yang membuatnya tidak bisa pulang. Namun ketidakpulangan Bapak ke Kampung hampir tiga bulan. Saat aku memutuskan untuk datang ke Balai Kampung dan melaporkannya pada polisi, ada wesel berisi uang dari Bapak datang kepadaku. Aku lantas membatalkan niatku melaporkannya pada polisi dan berpikir mungkin Bapak memang benar-benar sibuk. Paling tidak Bapak masih hidup di sana.

Begitu lah seterusnya, Bapak tidak pernah pulang lagi. Meskipun begitu, Bapak selalu mengirimiku uang tiap bulan, menjadikanku yakin bahwa Bapak masih ada di sana, mungkin sedang berjuang menyampaikan aspirasi warga kampung.

Namun, ketidakpulangan Bapak yang nyaris dua tahun membuatku kecewa. Umurku empat belas tahun dan saat itu aku berada pada titik nadirku. Aku memutuskan untuk melupakan segala hal soal Bapak. Saat itu, tidak ada lagi orang di dunia yang aku panggil dengan sebutan Bapak. Aku teramat kecewa dengan Bapak yang sepertinya menganggap bisa menggantikan ketidakpulangannya dengan uang-uang yang dikirimnya kepadaku.

Hingga empat bulan yang lalu, kiriman uang itu tidak ada lagi. Aku tidak begitu peduli toh aku sudah tidak menganggap keberadaannya lagi saat itu. Uang untuk membeli suntikan insulin pun masih tersisa banyak. Aku sama sekali tidak curiga.

Dan di sinilah Bapak sekarang. Kini, duduk berdua di tikar, pria yang kupanggil dengan sebutan bapak itu termenung cukup lama. Embun bening kembali keluar dari ujung matanya. Suara gerimis semakin menambah syahdu suasana saat itu. Inilah Bapak, pulang dengan mata bengkak akibat tangisnya. Kepulangan yang sangat menohok hati.

“Din, maaafkan Bapak,” kata Bapak pelan. Sesegukan. Aku hanya mengangguk pelan. Dari sejak Bapak sampai ke kampung ini sampai sekarang, kalimat itu saja yang mampu diucapkannya.

Bapak menghela nafas dalam-dalam. Tenggorokannya tersekat seperti akan menyampaikan sesuatu. Mungkin kalimat baru selain permohonan maaf Bapak. Mulut Bapak terbuka, “Bapak... sedang dikejar aparat, Din.”

Aku tersentak kaget. Refleks aku menjauhi Bapak, lalu menyesal telah melakukan hal tersebut. Bapak semakin terisak dan entah dengan apa aku bisa menghentikan isakannya.

Pelan-pelan, Bapak menjelaskan mengenai kondisinya saat itu. Mulai dari saat beliau terpilih menjadi anggota dewan legislatif daerah, sampai saat Bapak dikejar aparat kepolisian. Bapak yang polos rupanya telah diajak untuk berkorupsi oleh rekan-rekannya di kantor dewan. Bapak tidak tahu menahu bahwa uang yang digunakannya adalah uang haram. Bapak hanya tahu, bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang sama dengan yang dilakukan orang lain di kantornya.

Lama-kelamaan, Bapak tergoda untuk melakukan lebih. Tanpa sadar, Bapak telah melancarkan suatu “perampokan” besar dengan memalsukan dokumen RAPBD. Bapak mengaku melakukannya tanpa sadar. Bapak menerima sejumlah instruksi dari rekan-rekannya dan mendapati berbagai koneksi yang potensial untuk memulai aksinya.

Aku tidak tahu harus bagaimana. Bapak yang aku kenal adalah orang yang jujur dan berintegritas, tidak mungkin Bapak berbohong kepadaku soal ketidaktahuan dan ketidaksengajaannya merampok uang rakyat. Di sisi lain, pengakuan Bapak akan ketidaktahuannya sangat tidak logis bagiku.

Aku ingin menangis, “kok bisa-bisanya Bapak tidak tahu?” tanyaku putus asa.

Bapak kemudian berhenti bercerita. Beliau menatapku lamat-lamat, mencari bening mataku dibalik mendung yang menutupinya. Bapak kemudian bercicit, “bagaimana pun juga, ini semua gara-gara tanda tangan Bapak, Din. Maafkan Bapak.”

 

 

Mataku nanar menerawang langit-langit rumah. Berkas-berkas cahaya menelisik lewat kisi-kisi anyaman bambu di dinding rumah. Berbagai kenangan tumbuh subur di pikiranku.  Lalu, adegan demi adegan pahit berlompatan di depan mata. Meninggalkan sejuta kenangan perih yang bergelayut di langit-langit atap.

Kemarin, aparat kepolisian dari badan negara yang biasa menangkap pelaku tindak pidana korupsi, memecah kesyahduan kampung dengan sirine nyaringnya. Semua tetangga berhamburan keluar demi menyaksikan peristiwa maha jarang itu. Kabar burung mengenai Pak Zohri yang dikejar aparat kepolisian menjadi santapan ibu-ibu PKK pagi itu.

Seperti biasa, aku pergi ke Balai Kampung untuk menyantap koran gratis. Koran pagi ini telah sampai di tanganku. Seperti yang sudah aku duga, berita mengenai penangkapan Bapak menjadi headline news yang memenuhi sepertiga halaman pertama koran.

Berita ini benar-benar menyebar dengan cepat. Sejak kemarin, satu persatu tetangga di sekitar rumahku mendatangi kediamanku seakan-akan baru saja ada yang terkena musibah. Meski memang benar, musibah yang menimpaku adalah penangkapan Bapak. Penangkapan Bapak yang tidak terduga itu telah menjadi buah bibir dan menarik perhatian tetangga, bahkan sampai kampung sebelah. Hari ini akan semakin banyak tetangga yang datang setelah membaca koran pagi. Aku curiga, sebagian orang yang datang hanya karena penasaran dibanding karena kasihan.

Pak Kades juga datang bersama istrinya dan mengingatkanku untuk bersabar. Menurutnya ini adalah ujian dan bukti bahwa sulit sekali mempertahankan prinsip di dunia politik, meski prinsip itu seteguh prinsip Bapak. Saat itu ingin sekali aku menjitak kepala Pak Kades dan mengatakan bahwa Bapak adalah orang yang teguh pendirian dan kalau ada orang yang bersalah, pastilah itu Pak Kades. Tetapi perkataan itu hanya menggantung di tenggorokan. Aku terlalu pengecut untuk membela Bapak, aku takut Pak Kades ada benarnya.

Setelah memberikan banyak wejangan –yang menurutku tidak penting— Pak Kades mengajakku untuk menjenguk Bapak di bui. Menurut Pak Kades, ada baiknya sebelum Bapak diadili, aku menjenguk Bapak untuk memberikan semangat kepada beliau. Bagaimana pun juga, beliau adalah bapakku. Tentu saja aku mengiyakan, apalagi Pak Kades teramat baik menawarkan tumpangan ke sana. Prasangka burukku pasti akan mengatakan bahwa
“kebaikan” Pak Kades ini karena rasa bersalahnya terhadap ku. Pak Kades pasti lah ingin memberikan kompensasi kepada ku karena gara-gara Pak Kades lah Bapak terjun ke dunia politik. Ya, saat itu diriku benar-benar buta akan kebaikan orang lain.

 

 

Selepas berkunjung ke bui Bapak, otakku dipenuhi oleh berbagai macam pikiran. Aku semakin bingung dengan kata benar atau salah. Aku semakin tidak yakin dengan arti kata kejujuran. Apakah kejujuran itu tidak sejelas noktah pada selembar kertas putih?

Dari cerita Bapak saat aku berkunjung ke bui, aku jadi teringat dengan Pak Sul dan pelajaran mengenai dendritnya. Menurutku, Bapak adalah dendrit. Bapak bilang, dendrit memiliki peran yang sangat penting dalam melancarakan aksi perampokan itu. Seperti layaknya Bapak yang memiliki posisi strategis di dewan pusat yang membuat Bapak akan sangat mudah menyusupi kantor Ketua Dewan dengan berkas palsu. Bodohnya, Bapak tidak menyadari cara orang-orang memanfaatkan posisi Bapak tersebut. Aku sangat marah dengan tindakan bodoh Bapak saat itu. Ternyata, itulah yang menjadi penyebab Bapak terpaksa tidak pulang selama dua tahun. Bapak harus mengurus uang ganti kepada rakyat. Nahasnya, empat bulan yang lalu, aksi Bapak dan teman-temannya tercium KPK. Bapak lantas semakin kewalahan mengurus pengasingannya. Bapak memutuskan untuk kembali ke kampung, bertemu aku dan menjelaskan semuanya, lalu membiarkan siapa pun menangkap Bapak. Bapak menyerahkan dirinya untuk diadili dan dibui.

Seminggu setelah kasus penangkapan Bapak, rumah ini kembali sepi. Tidak ada lagi tetangga yang berkunjung dan menyatakan keibaannya. Rumah ini sepi selaras dengan kesyahduan kampung yang malah kini menghantuiku, merongrong ketenangan hatiku.

Semua ini terjadi gara-gara proyek dendrit! Tetapi aku juga tidak sepatutnya menyalahkan proyek dendrit. Kalau bukan karena Pak Kades dan Pak Edward itu, Bapak tidak akan terjun ke dunia politik yang kini menjadi jurang bui bagi Bapak. Aku juga tidak sepatutnya menyalahkan Pak Kades dan Pak Edward, meskipun mungkin mereka berdua memiliki kepentingan politik atas tawarannya terhadap Bapak, Bapak lah yang salah karena tidak bijaksana mengambil keputusan.

Tetapi Bapak tidak mungkin tidak bijaksana mengambil keputusan. Selalu ada alasan kuat di balik keputusan Bapak. Alasan Bapak adalah aku. Semua gara-gara aku. Aku dan penyakit diabetesku. Aku dan suntikan insulinku.

Ya, maafkan aku yang membuatmu kini mendekam di bui penjara, Bapak.

***

Halo teman-teman pembaca! Terima kasih banyak sudah setia membaca sampai titik ini :)
Cerita pendek ini barangkali cerita pendek bernuansa "kesuraman dunia nyata" pertama yang aku tulis. Aku menulis ini pada akhir tahun 2014, saat kelas XI SMA. Mohon maaf jika ada pemahaman birokrasi dan perpolitikan yang salah dalam cerita ini ya! Anak SMA tahu apa sih *eh malah excuse, wkwk. Semoga cerita ini dapat diambil manfaatnya.

0 komentar:

Posting Komentar