Senin, 26 Desember 2016

VALENSI (I)

[sebuah imaji]

Jangan menjadi senyap,” ujarmu. Membuatku pengap.
Ah,” aku menjawab sekenanya, “tidak semua rasa bisa diurai menjadi frasa. Kau tentu tahu betul perihal itu,”
Setidaknya cobalah,” ujarmu lagi.
Baiklah,” aku menyerah pada adu argumen tiada hujung ini, lalu berkata:
Yang pertama dan utama,” lidahku sempat tersekat,
“… jangan pernah berharap. Meski hanya sekejap.”
Kemudian ada senyap yang lebih pengap. Kamu terenyak, lalu aku memutuskan untuk lenyap.
*
BAGIAN PERTAMA: ATOM
Lima bulan sebelum percakapan imaji tentang senyap.
Aku mendapati diriku dalam jas biru almamater. Pada inaugurasi mahasiswa baru sebuah universitas keguruan dengan visi menjuntai permai. Menjadi guru. Katanya, banyak manusia yang menggampangkan profesi ini. Mereka hanya sedang tidak sadar betapa vitalnya menjadi guru. Seperi kata M. Natsir, seorang teladan di era perjuangan, “Suatu bangsa tidak akan maju sampai ada segolongan guru yang senang memperjuangkan kepentingan bangsanya.”
Sesederhana dan serumit itulah berada di etalase pendidikan ini. Saat ujung tombaknya berada di tanganmu, entah akan mengamunisi katalisasi atau malah menombak jiwa sendiri. Semua itu menjadi tanggung jawab kami, para (calon) pendidik. Dan bagi kami yang telah memilih jalan ini, undur  diri adalah kata yang tabu. Menebar manfaat tanpa pamrih adalah visi yang menggebu.
**
Manusia memang hakikatnya hanya kumpulan atom. Kumpulan dari kerapuhan dan ketidakberdayaan. Berada pada sebuah sistem yang terbatas, sehingga memang alam pikirnya pun terbatas. Ada banyak perkara yang tidak bisa dilogikakan. Pun tentang daya dan upaya, ada "tangan" lain yang mengehendakkan.
Itu pendapatku.
Kemudian ada kamu yang menentang habis-habisan pendapat itu.
"Iya, kamu adalah kumpulan atom. Namun ingat, atom memiliki partikel fundamental. Pembentuk. Promotor. Pewarna sifat," ujarmu, suatu waktu. 
"Dan partikel itu, untuk dieksitasi atau diabsorpsi, adalah pilihanmu. Manusia hidup untuk menjadi. Maka kamu bisa memilih, ingin menjadi kumpulan atom seperti apakah kamu?"

Kamu berlalu. Jawabanku menggantung di langit perunggu. Itulah percakapan pertama kita: perempuan sastra dan lelaki eksakta. Namun sampai bagaimana pun, aku tidak pernah menyangka percakapan sederhana itulah yang akan selalu dikenang. Mungkin layaknya hukum kekekalan materi: tidak pernah ia hilang, tetapi waktu yang akan mengujinya, dalam bentuk seperti apa ia bisa ditransformasikan.

Besok besok, mungkin aku akan mengenangnya dengan cara yang berbeda. Namun hari ini, aku mengenangnya dengan cara yang luar biasa. Hari ini ketika aku menyadari bahwa produktivitasku sebagai seorang pujangga meningkat signifikan. Terutama saat aku menyadari, puisiku yang dahulunya tidak beralamat mungkin akhirnya telah bertuan. Tuan yang menamai dirinya sebagai kamu.

Aku telah ceroboh membiarkanmu menyusupi pikiranku. Padahal kamu hanya berupa bayu, yang mengusik hanya saat rindu. Padahal kamu tak pernah bertutur rayu, pun memintaku menunggu. Kita hanyalah temu, yang tak sempat mengucap frasa tentang rasa. Kita hanyalah waktu, yang tak sempat diingat selain lewat prosa penuh ngengat.
Setidaknya kita adalah kita, 

yang katamu

adalah momen yang satu. Waktu itu.

Percakapan pertama kita adalah tentang atom. Seperti katamu, melepas atau menerima partikel lain (baca: elektron) adalah pilihan. Namun pada praktiknya, ada satu pertanyaan yang tersisa dalam benak pikiran. Bukankah ketika akan melepas, kita harus mempersiapkan penerimanya? Jika tidak begitu, bagaimana ia akan mewujud molekul? Bagaimana ia akan menunggal, mensenyawa, atau seminimalnya menjadi atom yang baru?

Apakah ketika akhirnya sebuah rasa bisa bernama, akan selalu ada energi yang dilepas? Aura kejinggaan bernama kesungguh-sungguhan: sungguh-sungguh untuk berbagi, untuk mengasihi. Namun jika tidak ada penerimanya, apakah masih bisa kesungguh-sungguhan itu menari syahdu?

Tentang ini, masihlah menjadi misteri. Karena untuk mengetahui jawabannya, terlebih dahulu harus mengetahui sikap pemeran utama lelaki. Karena sebelum menemukan kelanjutan ceritanya, lebih baik hentikan segala asumsi.

Jika Ternyata Kita Saling 
Bagaimana jika ternyata tiap malam kita saling mengecek media sosial? Karena terlalu khawatir bertanya kabar, cukuplah melihat postingan baru di beranda masing-masing sebagai penentram. 
Bagaimana jika ternyata tiap pagi kita saling mencari tahu jadwal kegiatan? Karena mengharapkan pertemuan, kita berusaha menetapkan ritme harian yang saling beriringan. 
Bagaimana jika ternyata dalam diam kita saling mengharap pesan? Karena takut menjadi basa-basi tak berkesudahan, cukuplah urusan pekerjaan singkat nan padat menjadi komunikasi harian. 
Bagaimana jika tiap sendiri kita saling menulis untuk keabadian? Karena banyak hal yang tidak dapat diucap lisan, tulisan menjadi pelarian bagi hati yang bergumam. 
Bagaimana jika ternyata di ujung sembahyang kita saling mendoakan? Bukan. Bukan untuk menggenapkan cita menjadi kita–karena kita terlalu takut untuk menuntut Tuhan–tetapi sekadar berharap keselamatan dan kebahagiaan untuk masing-masing masa depan. 
Jika ternyata kita saling mendoakan. Mungkin ada takdir yang dapat dianulir Tuhan. Mungkin ada kita yang terselip dalam satu lembaran. 
Mungkin ada kita… 
yang ternyata saling diperuntukkan.

Namun karena "jika" adalah tentang asumsi. Maka lebih baik cerita ini cukup sampai di sini.

***

(bersambung ke BAGIAN KEDUA: MOLEKUL)




0 komentar:

Posting Komentar