Copyright © Catatan Alifia
Design by Dzignine
Rabu, 14 September 2011

Puisi : Ampun Gusti

Setelah berbulan-bulan gak posting. Saya mau nambahin puisi kilat berjudul Ampun Gusti. Semoga enak dibaca......

Di persimpangan ke Surga
Tertatih hampa penuh limpung
Tadi masih lewat hunjaman senjata
Jelas sekarang

Ah, tak taulah
Masih ingin mengusir itu
Kisah dari masa Jahiliyah
Ketika buta
...

Dosa tak dikata pahala
Buruk tak dikata baik
Maksiat tak dikata amaliyah
Merusak tak memperbaiki...!!!

Aduhai, ampuun Gusti....!
Jumat, 20 Mei 2011

Di Balik Lembaran Indonesia (Bag I)

  Senja di Lamongan, sungguh indah... masih tampak dari kejauhan, sang mentari tenggelamkan dirinya ke lautan. Deruan ombak menarikan lagu senja yang dinyanyikan burung-burung dengan menawan. Semesta pun beranjak menutup buku hariannya dikala adzan bersahut-sahutan. Tanda berakhirnya hari dalam agama tauhid, Islam.
  “Tifah sayang... ayo sholat, sudah adzan tuh...”  Bunda memanggil lembut.
  “Iya, Bunda...”  Sahutku. Kudorong kursi roda menjauhi teras, bergegas ke kamar mandi untuk menggambil air wudlu.  Ya, memang sejak 2 tahun lalu aku divonis terkena lumpuh di kedua kakiku. Saat itu umurku masih 9 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk seorang anak yang mengidap lumpuh. Sejak saat itu aku mulai memakai kursi roda ini. Memang tidak nyaman, susah untuk kemana-kemana, tak bisa berlari lincah seperti kebiasaanku sebelum penyakit ini menyerbuku. Tapi aku jadi belajar, apapun keadaanku, aku harus tetap bersyukur. Berpikir positif adalah penolongku ketika aku hampir gila gara-gara penyakit ini. Setidaknya aku masih sanggup berobat, setidaknya aku masih mempunyai kontrol atas bagian tubuhku yang lain, setidaknya teman-temanku masih mau menerimaku, itulah yang aku pikirkan untuk menumbuhkan rasa percaya diriku lagi.
  Sehabis sholat magrib, deruan ombak masih menyuarakan malam yang sepi ini. Memang, aku bertempat tinggal di dekat pantai. Bundakulah yang menginginkan suasana rumah yang seperti ini. Ayahku sih boleh boleh saja, lagi pula kantor ayahku ada di daerah sini. Ayahku bekerja sebagai seorang guru di sebuah SMP negeri di kota ini. Sementara ibuku bekerja sebagai guru les piano privat. Muridnya sih kebanyakan tetangga-tetanggaku di daerah sini, akupun pernah diajarkan sedikit tentang bermain piano, tetapi aku tidak berminat dalam hal itu. Cita-citaku adalah menjadi seorang presiden. Aku ingin merubah negri ini menjadi sebuah negri yang sejahtera, demokratis, damai, adil, dll. banyaklah, yang penting baik-baik.
  Oh iya, minggu depan sudah memasuki bulan suci Ramadhan, aku berniat akan mengkhatamkan puasaku sampai 30 hari. Soalnya Ramadhan kemarin aku puasanya batal 5 kali, oleh karena itu aku berharap aku bisa lebih baik lagi dari tahun kemarin. Karena kata bunda, hari ini harus lebih baik daripada kemarin. So, yang batal 5 itu sekarang harus hilang.
  Aku membawa kursi rodaku ke ruang keluarga. Kuambil sebuah buku tebal di sofa, Melukis Senyum judulnya, sebuah kumpulan cerpen yang menurut penilaianku enak dibaca, bahkan aku sudah bolak-balik membacanya sebanyak 5 kali.
  Salah satu kisah favoritku dalam kumpulan cerpen tersebut adalah Di Balik Lembaran Indonesia, cerita itu menceritakan mengenai seorang anak yang luar biasa sangat berpengaruh bagi Indonesia padahal ia awalnya bukan seorang yang berada dan tergolong kaum menengah kebawah. Entah itu kisah asli ataupun hanya fiksi. Yang pasti, kisah itu dapat memotivasiku untuk melanjutkan hidup, dalam segala keadaan, meskipun aku harus lumpuh untuk selamanya.
  Ombak diluar masih menari bertalu-talu dengan anggunnya. Sementara langit semakin temaram dan gelap. Hari ini sudahlah berakhir. Umurku sudah berkurang satu hari. Betapa cepat semuanya berlalu. Dan betapa tak bisa aku mengembalikan masa yang lalu. Sementara semua asa masih menggantung-gantung menari-nari di depan mataku tanpa bisa aku raih. Tetapi, aku akan tetap, tetap ingin menjadi orang sukses di masa depan.
Senin, 16 Mei 2011

Mengejar Kemarau

Gelap di sini padamkan asa. Sementara terang di ujung sana kelihatan cukup menjanjikan. Terang itu masih cukup mengusik. Membuat aku bersedia berlari, tertatih, berjinjit, merangkak, dan berdiri dengan satu kaki, hanya untuk mengejar terang itu.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan orang-orang yang menorehkan tanda tanya di dahi mereka: “Apa yang kamu pikir ada di terang itu?” “Sesuatu yang indah, mungkin....” “Kau hanya bermain dengan api!” Pikaranku dan mereka yang berdebat, tak kunjung membuatku mundur. Kuterus berlari, tertatih, berjinjit, merangkak, dan berdiri dengan satu kaki, hanya untuk mengejar terang itu.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan Diam. Diam menatapku seakan-akan akulah mangsanya. Untuk menghindari Diam, kuberlari dengan lebih kencang. Meminjam kekuatan seekor cheetah. Ketika Diam sudah jauh, Diam berteriak, “Berdiamlah sebentar!” Tetapi aku tak menurut. Aku terus mengejar terang.
Dalam pengejaran, kubertemu dengan Perkara. Perkara menyambutku dengan tersenyum dan menyuguhkanku dengan berbagai macam hidangan. Ia bertanya, “Tak kah kau  ingin tau ada apa di balik terang itu?”. “Tentu aku ingin tapi akan aku cari jawabannya sendiri,” Jawabku tegas. “Bagus...bagus...” Perkara memberikan sebuah senyum yang penuh misteri. Maka setelah dipersilahkan aku kembali ke pengejaran.


Akhirnya terang itu semakin dekat. Kuukur hanya sekitar sepuluh langkah lagi. Dan ketika ku telah sampai perbatasan antara gelap dan terang. Aku melihat ke belakang, betapa gelap sungguh mencekam. Lalu beralih melihat ke depan, betapa terang begitu leluasa. Maka ku masuk ke area terang dan.... tak kusangka. Semuanya sungguh... kering. Kemarau. Tak ada yang hijau. Tak ada yang segar. Tak ada yang membuatku lebih bahagia daripada saat di area gelap. Hanya ada kemarau. Tak kusangka selama ini aku hanya mengejar kemarau. Tak ku mengerti.***

Mei 2011, di tengah pecarian semi
Rabu, 20 April 2011

Yang Teristimewa

Seorang teman bertanya, "Hal istimewa apa yang pernah kau lihat?"

Aku pernah melihat seekor nuri...
Nuri itu tak dapat bercicit
Nuri itu tak dapat terbang
Pun tak bersayap indah seperti kebanyakan temannya...

"Lalu apa yang membuat nuri itu menjadi istimewa?"

Nuri itu berusaha bercicit
Nuri itu berusaha terbang
Pun sabar dengan keburukrupaannya...


"Dan apakah setelah itu nuri itu dapat kembali kepada hakikatnya?"

TIDAK, nuri itu tak berubah. Tetapi nuri itu tetap istimewa...

"Mengapa?"

Karena saat ia sadar akan semua keterbatasannya itu. Ia menatap langit kejinggaan dan berkata pelan, "Alhamdulillah, terimakasih atas segala yang telah kau berikan kepadaku, Ya Allah..." ***
Rabu, 06 April 2011

Puisi Ngalor Ngidul

Waktu pelajaran Bahasa Indonesia, aku disuruh bikin puisi nih. Tapi puisinya harus dari susunan nama aku. Pusing deh, nama aku kan panjang > A L I F I A  N U Z U L  P R A M A D H A N T Y .... Jadi aku buat sebuah puisi aneh + gak nyambung. But, moga kamu ngerti inti dari puisi itu. Hehehe, mau tau puisinya? Dengan senang hati akan aku pamerkan... (ckckckck)
Selasa, 08 Maret 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 3/ tamat)

Seminggu berlalu...
Fattah, kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan Bapak...”
Maaf Pak, Fattah tak bisa... Fattah takut, Pak...”
“Kamu bisa, Nak... Kamu harus mencobanya...”
Dan seketika, bayangan itu hilang. Mimpi itu buyar.
“Astaghfirullah, Subhanallah, Allahuakbar,...” Dzikirku seraya terbangun dari lelap. Bagaimana tidak, mimpi itu sudah menghantuiku. Sudah empat kali dalam minggu ini aku memimpikan hal yang sama. Tak ubah! Aku merenunginya, apa maksudnya ini Ya Rabb?! Apakah aku harus mengusir penjajah itu dari bangsa kami?! Tetapi mengapa Kau memilih seorang yang takut mati?!!
Minggu, 06 Februari 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 2)

  Akhirnya semua sepakat. Pergilah kita mencari tempat perlindungan yang lain. Aah... aku tak ingin melepaskan guaku itu. Andai kita bisa melakukan perlawanan. Tapi aku ini takut mati. Aduuh... mana ada pejuang takut mati.
  Akhirnya dengan berat hati aku melangkah meninggalkan gua itu. Ternyata memang tidak mungkin melawan penjajah-penjajah itu yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak daripada kami, itulah yang aku dengar dari seorang teman.
  Aku bernostalgia, sewaktu kecil dulu, begitu bahagianya. Meskipun sehari-hari hanya menjadi budak, diperbudak para penjajah. Disuruh memecahkan batu, meratakan tanah, mangangkat batu-batu besar di pundak,dan pekerjaan lainnya yang tidak pantas untuk anak sekecil aku waktu itu. Sakit rasanya jika membayangkan generasi mendatang akan selalu mengalami apa yang aku alami dulu. Bagaimanapun tidak sudi aku membiarkan bangsa ini selalu merana. Kembali terngiang di kepalaku, kata-kata bapak tadi pagi dalam mimpiku, “Fattah, kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan bapak...” Degg.. Aduh Pak, maafkan Fattah, Fattah ini masih takut Pak, maafkan Fattah belum bisa memenuhi harapan Bapak. Terbayang wajah Bapak sedang sedih saat ini, melihat putranya menjadi seorang pejuang penakut. Duh, mirisnya hati ini.
Minggu, 23 Januari 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 1)

   “Fat, bangun... Subuh dulu...!”. “Iyaya... sebentar lagi...Dil...”. Elakku masih menutup mata, ingin kembali pada mimpi. Mimpiku memang indah saat itu, aku bermimpi bertemu kembali dengan orangtuaku. Derai tangis tak kuasa kutahan ketika menyalimi mereka. Bapakku berkata, Fattah, itulah namaku- kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan bapak...
  “Fat... Subuh...!!!”. Seru Dilan lebih tegas. Aku tersentak kaget dan mimpi itu pun buyar. Dengan jengkel aku berjalan ke semacam sumber mata air yang tak jauh dari gubuk kecil tempat aku dan banyak tentara lain berteduh. Di gua itu memang kita semua harus tidur bergantian, tetapi, walaupun kita tidur bergantian, kita masih harus saling tindih-menindih.
  Aku berjalan menuju mata air dengan mata masih kunang-kunang. Sebenarnya tak jelas dimana letak mata air tersebut bila dilihat dengan mata yang seperti ini. Tapi, mengingat ini adalah rutinitas yang kulakukan hampir separo umurku, membuat aku mengenal jalan ini seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri.