Kamis, 31 Desember 2015

Kacamata Si Naif

"Fi, kamu jangan naif deh."

[sebuah catatan akhir tahun]

lanskap fajar dari Bukit Sikunir, Dieng. Captured by Alifia

D e l a p a n b e l a s. Perjalanan mempertemukan saya dengan banyak orang. Manusia-manusia hebat dengan pemikiran-pemikiran yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Manusia-manusia hebat itu bisa datang dari mana saja. Bahkan kemarin lusa saya bertemu salah satunya, seorang sopir angkutan kota.

"Sebenarnya Bandung nggak macet, kelihatannya saja," kata Pak Sopir sewaktu ada anak muda di kursi depan, mengeluh soal kemacetan di Jalan Dr. Djunjunan.
Rabu, 23 Desember 2015

Tentang Hati

"Barangkali, ketidaktenangan itu muncul karena hati ini belum khusyuk."
- seseorang, hari itu

Padang Pasir Bromo dilihat dari B29, Lumajang. Captured by Alifia

Menyoal ketidaktenangan, tiap insan dapat menafsirkan rasa itu dengan berbeda. Mungkin gelisah, galau, bingung, takut, atau bahkan putus asa. Namun, karena ini urusan perasaan, tak ada parameter pasti bagaimana sebuah rasa bisa bernama.
Senin, 07 Desember 2015

METAMORF [II]

Masih harus mengeja, karena kata hati begitu sulit dibaca.
Ya, kata hatimu.

[Bagian kedua: Membaca]




[Baca Dulu] Bagian Pertama: Menyapa


"Kesel banget sama nilai UAS biologi ini!" tulisnya dalam chat singkat. To the point, tak menyisakan ruang untukku menerka apa yang terjadi.

"Bukannya apa-apa, masa nilaiku di bawah Sabia," tulisnya lagi ketika aku mempertanyakan alasan kekesalannya. Jawaban yang amat lucu. Seketika membuatku teringat bahwa kisah ini memang tak pernah selesai, selalu ada, meski yang menyadarinya hanya dia, Rafa seorang.

Rafa --seperti anak lelaki tanggung lainnya-- amat menghargai dan mempercayai perkataan bundanya. Ya. Ketika kita berbicara soal Sabia, maka Rafa adalah orang yang akan paling berusaha keras untuk mengalahkan nilai-nilai Sabia. Seperti kata Bunda Rafa, "seorang suami harus lebih cerdas daripada istrinya."

Setelah balon chat terakhir itu, kita hening. Aku masih berusaha mencerna tulisannya dan berusaha tidak tertawa pada hal manis-absurd yang baru ia nyatakan. Dan ia, sepertinya, tidak lagi mempunyai hal lain untuk dikatakan.

Tetapi nyatanya, aku salah. Malah tulisan selanjutnya amat dalam. Kelam.

"Fi.... bagaimana kalau ternyata dia membenciku?" tanyanya. Kemudian senyap.

aku memaknaimu seumpama sajak
yang dilantunkan oleh suara pilu dalam ruang senyap

aku (berusaha) membacamu, lalu tersedak
duh, dengan apa harus kuterka hatimu 
wahai setengah sayap?

**

Salah satu ketakutan terbesar tiap orang: dibenci oleh manusia yang ia anggap sebagai malaikat
Dan Rafa telah mencoba melenyapkan pikiran macam itu, tak terhitung banyaknya. Meski berkali-kali terpukul melihat perilaku tak acuh Sabia terhadapnya, Rafa selalu mencoba kembali dengan tawa gilanya. Entah sebenarnya ada badai macam apa di hati Rafa.

Coba saja bayangkan. Sabia, gadis ini dikenal seantero sekolah. Cerdas dan aktivis organisasi. Sedikit tomboi, tetapi tetap manis rupawan. Amat sempurna. Tidak sedikit lelaki yang menaruh hati padanya. Dan di antara semua lelaki itu, Rafa harus ikut bersaing memenangkan hati sang putri.

Tetapi, di antara semua hal tersebut, yang paling menyebalkan dari kisah ini adalah Rafa, sudah terlanjur memulainya dengan salah.

**

Dulu sekali, sejak pertama memasuki jenjang SMA, Rafa telah mengenal Sabia. Bukan. Rafa telah berusaha membaca Sabia. Apa pensil yang digunakan Sabia, bagaimana gerakan tangan Sabia saat presentasi, apa bekal makan siang Sabia sehari-hari, apa warna kemeja kotak-kotak yang paling sering dipakai Sabia mungkin sudah Rafa hafal di luar kepala.

Namun, tidak pernah ada yang tahu apa isi hati Sabia. Terutama Rafa. Baginya, hati Sabia adalah gedung mahatinggi, mengalahkan segala jangkauan logikanya. Bagi Rafa, hati Sabia adalah hal yang paling sulit dibaca. Maka karena itu, Rafa terpaksa mengeja. Sayangnya, semua pengeja memulai ejaannya dengan satu-dua kata salah. Termasuk Rafa ketika berusaha mengeja hati Sabia.

Dan aku, sama. Berdoa supaya Rafa dapat menelusuri jalan yang benar ke hati Sabia. Mungkin kamus yang tepat akan memberikannya pemahaman yang baik. Duh, lagi pula aku juga harus memikirkan urusanku sendiri. Yang sebenarnya, tak jauh berbeda dengan Rafa, aku juga masih  harus mengeja dia.

terpekur, berharap yang ditunggu tiba
mengukur, sudah sepanjang apa benang ini diulur

benang ini
mungkin bisa kau pakai sebagai petunjuk pulang
atau sekadar menjemput di pelabuhan

satu kekhawatiran: 
apa aku yang salah tempat
makanya kau tak pernah datang?

***
Minggu, 08 November 2015

Kembali

Saya rasa, meninggalkan adalah alasan paling tepat untuk kembali. 
Seperti halnya rasa rindu, tidak akan ia datang tanpa sebelumnya kita mengurai benang jarak. Kemudian saling menyadari kalau benang itu harus segera kita tenun. Untuk kembali.

***

Benar lah, kembali memberikan saya banyak kekuatan. Untuk berdiri, untuk melawan, untuk kokoh.
Kembali membuka banyak tabir yang awalnya tidak bisa saya lihat, yang awalnya tidak saya sadari dan syukuri keberadaannya. Kembali menunjukkan saya bahwa dulu pernah ada harapan di sini, tak berubah hingga sekarang, sisanya saya yang menentukan.
Minggu, 15 Maret 2015

METAMORF [I]

setiap orang yang berjalan, memilih untuk pulang
menelusuri tujuan, menanti senyum di penghujung jalan

perjalanan
adalah kisah tiap orang
abadi dalam kekalnya asa
bermetamorfosa

**

Jembatan Suramadu, captured by Alifia

[Bagian Pertama: Menyapa]

Sebuah prolog:

Cahaya menelusup lewat kisi-kisi jendela. Membias bersama mentari fajar. Tuannya angin telah memandatkan bayu-bayu menyebarkan wangi mawar ke seluruh negeri. Pagi yang sempurna, sesempurna rencana yang lelaki itu telah siapkan. Mungkin Tuannya angin mengerti akan rencana lelaki itu hari ini. Rencana brilian dengan peluang keberhasilan sembilan puluh sembilan koma sembilan persen.

/saat itu di tempat sang lelaki/

Lelaki itu telah menyelesaikan perekat terakhirnya. Kotak berbungkus kertas metalic biru itu berantakan. Namun tetap lebih rapi ketimbang pekerjaan lain yang biasanya ia lakukan. Ia telah berusaha begitu keras. Demi dapat menyapa bisu tujuannya.

"Harus ku akui, aku selalu bisu bahkan untuk memberi sapa. Namun menatap punggungmu dari kejauhan adalah suatu hobi. Maka izinkan aku meletakkan ini dalam-dalam, di hati," 

Ranselnya telah siap. Ditambah dengan kotak biru yang ia telah siapkan hati-hati sejak malam. Ia tidak pernah tahu apa yang akan menghadang. Mungkin memang benar kata-kata itu:

Dusta mungkin, kalau ada di antara kita yang mengaku tak pernah berharap cemas menunggu esok.

Atau berbinar matanya, menganggap setiap pagi itu elok.

Menyimpan asa tinggi-tinggi hanya untuk meyakinkan bahwa hari ini akan luar biasa.

Menyulam skenario indah, walau entah akan berujung apa

Ya, dusta mungkin. Kalau lelaki itu tak mengaku sedang dirundung cinta.

**

Semua orang mungkin sudah tahu betapa keras lelaki itu berusaha. Semua orang mungkin sudah tahu betapa banyak lelaki itu telah mencoba. Semua orang mungkin sudah tahu. Ya, semua kecuali sang wanita.

Sabia. Nama yang selalu diukirnya mantap dalam gyrus frontalis. Kata orang, nama itu adalah ilusi paling nyata yang lelaki itu sedang kerjakan. Nama itu adalah keabsurdan paling nihil, apalagi berusaha menciptakan eksistensinya di sana (baca: hati). Ya, kata orang. Namun apa peduli "kata orang"?

Sang lelaki sudah telanjur menetapkan tujuan. Dan ia akan berusaha, mulai dari menyapanya lewat diam. Sediam karang pada laut. Sediam gunung pada edelweis. Sediam matahari pada bumi. Namun, dalam diam pun, bukankah sudah banyak yang mereka berikan?

"Kau tidak lelah, Raf? Maksudku, sapaanmu dalam diam ini bagaikan kutukan. Ada tapi tiada,"

"Ya, mungkin. Tapi kau pun tidak akan pernah lelah kalau sudah terlanjur menjadikannya urusan hati," Rafa, sang lelaki, menjawab dengan penuh keyakinan.

"Bah, klise kau,"

Rafa tak pernah peduli. Ia selalu yakin, keklisean tercipta karena adanya keindahan dalam tiap perjalanan paralel seseorang. Yang menemukan kecocokan, sehingga secara kebetulan menjadi pola yang serupa, yang hanya dibedakan mungkin oleh kedudukan dimensi waktu dan ruang. 

Tiap dimensi dan ruang, sama-sama memiliki kesempatan. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen peluang keberhasilan. Mungkin Rafa akan mendapatkan sapa yang selalu diperjuangkannya. Mungkin pada akhirnya ada rencana yang berhasil ia jalankan. Mungkin.

**

/sore di hari yang sama, saat itu di tempatnya/

Rafa terduduk setelah berjalan patah-patah. Ia meraih kembali kotak biru metalic dari dalam tas. Ia mengenggamnya kuat-kuat seakan takut kotak itu diterbangkan angin.

"Mungkin, Tuhan sedang merencanakan skenario lain untukku." katanya saat itu, kemudian bisu.

Lelaki itu, Rafa, mendapatkan hasilnya. Di antara semua kemungkinan yang ada, ia mendapat jatah nol koma nol satu persen, jatah kegagalan. Di antara semua dimensi yang ada, dimensinya lah yang terpaksa menerima konsekuensi ketidakberhasilan.

Kado yang sudah ia persiapkan dengan hati-hati, untuk Sabia seorang, gagal ia berikan dalam diam. Padahal sudah begitu dekat ia memasukkannya ke dalam ransel Sabia. Namun memang, kenyataan selalu memiliki kehendak lain. Dan mungkin Tuannya angin sedang memberikan skenario lain yang lebih baik bagi Rafa.

Rafa menatap langit dari kejauhan, menatap gurat senja dan awan stratocumulus yang dalam benaknya bak sang tujuan. Terima kasih atas skenario terbaik-Mu, suatu saat akan ada celah di antara sembilan puluh sembilan persen kemungkinan. Suatu saat semua ini akan terasa pantas diperjuangkan. Pasti selalu ada "suatu saat".


***



Jumat, 06 Maret 2015

Koalisi atau Independen?

"Eh, kamu mau koalisi atau independen?" 
- seseorang, suatu saat sebelum ujian

captured by Alifia

(sepotong catatan kecil)

Alasan seseorang "berkoalisi":
  • Yang lain juga gitu kok, nanti aku yang jelek sendiri
  • Da aku mah apa atuh, kalau nggak gini nggak bakal lulus. Malu dah.
  • Dia sendiri yang mau ngasih. Masa nggak dimanfaatkan?
  • Guru lengah = kesempatan
Alasan seseorang seharusnya berpikir berkali-kali untuk "berkoalisi":
  • "Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing, Maka beruntunglah orang-orang asing." (HR. Muslim). Ingat, mungkin kita di jalan yang berbeda dengan orang lain, tetapi mungkin itu karena kita termasuk orang yang bertahan di jalan yang benar. InsyaAllah.

  • Lebih seram muka ortu atau murka Allah? Lebih takut dicerca manusia atau dilaknat Allah?
  • Kalau Ibu-Ibu kasir ngasih kembalian lebih dan kamu ambil semua padahal tahu itu salah, siapa yang dosa?
  • Guru lengah = kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu percaya ada Allah yang mengawasi. Bukankah Allah akan senang mengetahui hamba-Nya beriman dengan teguh? :)

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa."
(HR. Tirmidzi no. 2518)

Jumat, 27 Februari 2015

Jeda

"Hidup hanya sekali, maka jadikan ia sekali yang berarti"
Pantai Watu Godek, Lumajang, captured by Alifia

sahabat, mari jeda sejenak dari segala urusan
jeda sejenak dari mengejar kefanaan
mari menggenggam jeda dalam penghisaban
lebih baik menghisab dulu diri ini daripada di akhir nanti kan?
Jumat, 20 Februari 2015

Selalu Adakah Tujuan?

"Kalau hidup sekadar hidup, babi hutan juga hidup. Kalau kerja sekadar kerja, kera juga bekerja." -Buya Hamka

Lanskap Padang Pasir Bromo, captured by Alifia

Sudah lama saya tidak menulis di sini. Terharunya, vakum ngeblog selama sekian bulan membuat beberapa sahabat menegur dan menagih tulisan saya terus-menerus. Oleh karenanya, saya persembahkan tulisan perdana ini untuk orang-orang tersebut, manusia-manusia yang tiada lelah menarik kembali jiwa yang sudah lupa caranya menulis ini.

Saya saat ini sedang menjalani masa di kelas 2 SMA, yang kata orang merupakan saat di mana kamu akan berubah menjadi kamu yang seterusnya. Ya, masa-masa penemuan ajaib sepanjang hidup bagi tiap orang yang lahir ke dunia. Inilah masa penemuan dan penentuan jati diri.