"Fi, kamu jangan naif deh."
[sebuah catatan akhir tahun]
lanskap fajar dari Bukit Sikunir, Dieng. Captured by Alifia |
D e l a p a n b e l a s. Perjalanan mempertemukan saya dengan banyak orang. Manusia-manusia hebat dengan pemikiran-pemikiran yang belum pernah saya bayangkan sebelumnya. Manusia-manusia hebat itu bisa datang dari mana saja. Bahkan kemarin lusa saya bertemu salah satunya, seorang sopir angkutan kota.
"Sebenarnya Bandung nggak macet, kelihatannya saja," kata Pak Sopir sewaktu ada anak muda di kursi depan, mengeluh soal kemacetan di Jalan Dr. Djunjunan.
"Bandung macetnya cuma di sini aja. Seharusnya fly over-nya sampai gerbang tol," tambahnya.
Anak muda itu menyimak tetapi tidak menanggapi. Saya ikut menguping, bukan sih, sebenarnya Pak Sopir berbicara cukup lantang sehingga suaranya dapat terdengar sampai belakang. Sementara itu mobil di kanan kiri terus berderu, sesekali mengklakson. Lah, sudah tahu macet, masih saja.
Kemacetan di sini memang cukup rutin. Tiap jam pulang sekolah dan kerja selalu saja harus waspada akan arus padat merayap. Sebagai pengguna jalan ini dari lama, saya tahu betul jam macetnya, pun menyadari kalau semakin lama kemacetan ini semakin sering terjadi seiring dengan bertambahnya volume kendaraan. Ya, akhirnya saya maklum saja. Saya juga bisa jadi salah satu penyebab kemacetan itu.
"Macet di sini memberikan kesan bagi pelancong bahwa Bandung semacet Jakarta. Padahal Bandung nggak macet," Pak Sopir melanjutkan, memecah keheningan yang selama beberapa saat terasa. Pak Sopir terus saja berbicara. Memberi latar belakang akan semua ucapannya tanpa menghiraukan apakah anak muda di kursi depan masih menyimak atau sudah mulai bosan.
**
Saya tidak bisa menulis dengan persis semua ucapan Pak Sopir. Yang pasti ketika Pak Sopir menjelaskan, ada suatu analisis sebab-akibat di sana. Ada suatu pemikiran yang bisa saja salah, tetapi dapat memberikan perspektif baru bagi orang lain. Pemikiran Pak Sopir sedikit banyak membuat saya tertarik, karena itu saya bilang Pak Sopir adalah salah satu manusia hebat.
Hm.. Pak Sopir sudah menuangkan pemikirannya, kini giliran kita untuk berpikir.
**
Ibu Penjaga Warung suatu saat pernah bercerita mengenai barang sembako yang kadang sulit didapat, kalau ada pun harganya sudah tidak seperti biasa. Ibu itu berpendapat, semua hal tidak harus menjadi seperti ini apabila dulu Pemerintah benar-benar menargetkan negara kita mandiri.
"Dulu kan ada program lima tahun yang targetnya menjadikan negara kita bisa menghidupi diri sendiri," kata beliau. Dan benar, kita dulu punya program Pelita dengan output Indonesia bisa lepas landas sebagai negara maju. Saya melihat kalau program tersebut menaikkan pertumbuhan ekonomi sekian persen, tetapi kita tetap terjebak dalam istilah negara berkembang.
Di saat yang lain Ibu Penjaga Warung menceritakan soal kekhawatirannya terhadap masa depan Indonesia. Lagi lagi, ada suatu analisis sebab-akibat di sana. Ada suatu pemikiran yang bisa saja salah, tetapi dapat memberikan perspektif baru bagi orang lain.
Ibu Penjaga Warung sudah menuangkan pemikirannya, kini giliran kita untuk berpikir.
**
Kata Ali bin Abi Thalib, "tulislah sesuatu yang akan membahagiakan dirimu di akhirat nanti." Maka saya hendak menjadikan catatan ini sebagai bentuk husnudzan saya pada kehidupan, pada segala sebab-akibat hasil nalar manusia-manusia hebat di sekitar saya.
Saya selalu senang mendengar pemikiran orang lain. Di sana saya bisa menemukan bagaimana orang-orang menjalani kehidupannya. Bagaimana tiap orang berkontemplasi dalam tiap hal yang menghampiri hidupnya. Amat kritis, dalam, dan ya lucunya, saya merasa bahwa saya bukan tipe pemikir seperti itu.
Lagi, Ibu dari seorang teman pernah menuangkan pemikirannya pada saya, "pikirkan lah hal yang memang harus kamu pikirkan," kataya. Lalu saya menafsirkannya sebagai anjuran untuk selalu membuang pemikiran yang akan menjauhkan kita dari ber-husnudzan. Untuk selalu berpikir positif. Mungkin tafsir yang salah, tapi biarlah.
Memang ada benarnya, tidak semerta-merta berpikir positif, tetapi perlu diimbangi dengan 'kacamata' lain, yang memberikan perspektif kritis soal kehidupan. Namun saya tetap berada pada keyakinan, bahwa untuk menjadi manusia yang memiliki pemahaman yang baik, maka kita harus lembut pada hal yang terjadi di sekitar kita. Lembut bukan berarti lunak. Lembut berarti kita menjadikan hal tersebut sebagai tantangan, kemudian mentransformasikannya dalam rasa syukur. Itulah husnudzan bagi saya.
Maka, ber-husnudzan dan berpikir positif amat berbeda dengan apatis dan naif. Ya, membaca harus selalu kita upayakan dalam rangka mempertajam pemikiran kita. Berpikir kritis harus selalu diasah agar tidak menjadi manusia yang tak acuh. Namun sekali lagi, bersikap lembutlah. Jangan biasakan diri untuk mengeluh dan menyalahkan. Jadilah pemikir yang berpikir bukan untuk mengeluh, tetapi untuk bersyukur. Jadilah pemikir yang berpikir bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk berbuat.
Saya tidak menulis catatan ini dengan cukup baik. Mungkin intisari yang ingin saya sampaikan belum begitu jelas. Namun, semoga kalian mengerti dengan membaca ini:
Allah subhanahu wata’ala berfirman : “Aku (akan memperlakukan hamba-Ku) sesuai dengan persangkaannya kepada-Ku” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Mari menjadi pemikir dengan pemikiran yang akan membuat kita bersyukur dan berbuat demi yang lebih baik. Ah, seperti Pak Sopir yang mungkin sudah menginspirasi anak muda di kursi depan atau Ibu Penjaga Warung yang selalu terlihat mengucap syukur dalam tiap transaksinya :)
Semoga senantiasa berpikir dengan pemahaman yang baik.
Selamat berjumpa di lembaran baru: 2016!
0 komentar:
Posting Komentar