Minggu, 15 Maret 2015

METAMORF [I]

setiap orang yang berjalan, memilih untuk pulang
menelusuri tujuan, menanti senyum di penghujung jalan

perjalanan
adalah kisah tiap orang
abadi dalam kekalnya asa
bermetamorfosa

**

Jembatan Suramadu, captured by Alifia

[Bagian Pertama: Menyapa]

Sebuah prolog:

Cahaya menelusup lewat kisi-kisi jendela. Membias bersama mentari fajar. Tuannya angin telah memandatkan bayu-bayu menyebarkan wangi mawar ke seluruh negeri. Pagi yang sempurna, sesempurna rencana yang lelaki itu telah siapkan. Mungkin Tuannya angin mengerti akan rencana lelaki itu hari ini. Rencana brilian dengan peluang keberhasilan sembilan puluh sembilan koma sembilan persen.

/saat itu di tempat sang lelaki/

Lelaki itu telah menyelesaikan perekat terakhirnya. Kotak berbungkus kertas metalic biru itu berantakan. Namun tetap lebih rapi ketimbang pekerjaan lain yang biasanya ia lakukan. Ia telah berusaha begitu keras. Demi dapat menyapa bisu tujuannya.

"Harus ku akui, aku selalu bisu bahkan untuk memberi sapa. Namun menatap punggungmu dari kejauhan adalah suatu hobi. Maka izinkan aku meletakkan ini dalam-dalam, di hati," 

Ranselnya telah siap. Ditambah dengan kotak biru yang ia telah siapkan hati-hati sejak malam. Ia tidak pernah tahu apa yang akan menghadang. Mungkin memang benar kata-kata itu:

Dusta mungkin, kalau ada di antara kita yang mengaku tak pernah berharap cemas menunggu esok.

Atau berbinar matanya, menganggap setiap pagi itu elok.

Menyimpan asa tinggi-tinggi hanya untuk meyakinkan bahwa hari ini akan luar biasa.

Menyulam skenario indah, walau entah akan berujung apa

Ya, dusta mungkin. Kalau lelaki itu tak mengaku sedang dirundung cinta.

**

Semua orang mungkin sudah tahu betapa keras lelaki itu berusaha. Semua orang mungkin sudah tahu betapa banyak lelaki itu telah mencoba. Semua orang mungkin sudah tahu. Ya, semua kecuali sang wanita.

Sabia. Nama yang selalu diukirnya mantap dalam gyrus frontalis. Kata orang, nama itu adalah ilusi paling nyata yang lelaki itu sedang kerjakan. Nama itu adalah keabsurdan paling nihil, apalagi berusaha menciptakan eksistensinya di sana (baca: hati). Ya, kata orang. Namun apa peduli "kata orang"?

Sang lelaki sudah telanjur menetapkan tujuan. Dan ia akan berusaha, mulai dari menyapanya lewat diam. Sediam karang pada laut. Sediam gunung pada edelweis. Sediam matahari pada bumi. Namun, dalam diam pun, bukankah sudah banyak yang mereka berikan?

"Kau tidak lelah, Raf? Maksudku, sapaanmu dalam diam ini bagaikan kutukan. Ada tapi tiada,"

"Ya, mungkin. Tapi kau pun tidak akan pernah lelah kalau sudah terlanjur menjadikannya urusan hati," Rafa, sang lelaki, menjawab dengan penuh keyakinan.

"Bah, klise kau,"

Rafa tak pernah peduli. Ia selalu yakin, keklisean tercipta karena adanya keindahan dalam tiap perjalanan paralel seseorang. Yang menemukan kecocokan, sehingga secara kebetulan menjadi pola yang serupa, yang hanya dibedakan mungkin oleh kedudukan dimensi waktu dan ruang. 

Tiap dimensi dan ruang, sama-sama memiliki kesempatan. Sembilan puluh sembilan koma sembilan persen peluang keberhasilan. Mungkin Rafa akan mendapatkan sapa yang selalu diperjuangkannya. Mungkin pada akhirnya ada rencana yang berhasil ia jalankan. Mungkin.

**

/sore di hari yang sama, saat itu di tempatnya/

Rafa terduduk setelah berjalan patah-patah. Ia meraih kembali kotak biru metalic dari dalam tas. Ia mengenggamnya kuat-kuat seakan takut kotak itu diterbangkan angin.

"Mungkin, Tuhan sedang merencanakan skenario lain untukku." katanya saat itu, kemudian bisu.

Lelaki itu, Rafa, mendapatkan hasilnya. Di antara semua kemungkinan yang ada, ia mendapat jatah nol koma nol satu persen, jatah kegagalan. Di antara semua dimensi yang ada, dimensinya lah yang terpaksa menerima konsekuensi ketidakberhasilan.

Kado yang sudah ia persiapkan dengan hati-hati, untuk Sabia seorang, gagal ia berikan dalam diam. Padahal sudah begitu dekat ia memasukkannya ke dalam ransel Sabia. Namun memang, kenyataan selalu memiliki kehendak lain. Dan mungkin Tuannya angin sedang memberikan skenario lain yang lebih baik bagi Rafa.

Rafa menatap langit dari kejauhan, menatap gurat senja dan awan stratocumulus yang dalam benaknya bak sang tujuan. Terima kasih atas skenario terbaik-Mu, suatu saat akan ada celah di antara sembilan puluh sembilan persen kemungkinan. Suatu saat semua ini akan terasa pantas diperjuangkan. Pasti selalu ada "suatu saat".


***



Jumat, 06 Maret 2015

Koalisi atau Independen?

"Eh, kamu mau koalisi atau independen?" 
- seseorang, suatu saat sebelum ujian

captured by Alifia

(sepotong catatan kecil)

Alasan seseorang "berkoalisi":
  • Yang lain juga gitu kok, nanti aku yang jelek sendiri
  • Da aku mah apa atuh, kalau nggak gini nggak bakal lulus. Malu dah.
  • Dia sendiri yang mau ngasih. Masa nggak dimanfaatkan?
  • Guru lengah = kesempatan
Alasan seseorang seharusnya berpikir berkali-kali untuk "berkoalisi":
  • "Islam muncul dalam keadaan asing, dan akan kembali (asing), sebagaimana ia muncul dalam keadaan asing, Maka beruntunglah orang-orang asing." (HR. Muslim). Ingat, mungkin kita di jalan yang berbeda dengan orang lain, tetapi mungkin itu karena kita termasuk orang yang bertahan di jalan yang benar. InsyaAllah.

  • Lebih seram muka ortu atau murka Allah? Lebih takut dicerca manusia atau dilaknat Allah?
  • Kalau Ibu-Ibu kasir ngasih kembalian lebih dan kamu ambil semua padahal tahu itu salah, siapa yang dosa?
  • Guru lengah = kesempatan untuk membuktikan bahwa kamu percaya ada Allah yang mengawasi. Bukankah Allah akan senang mengetahui hamba-Nya beriman dengan teguh? :)

دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu. Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu) akan menggelisahkan jiwa."
(HR. Tirmidzi no. 2518)