Jumat, 29 September 2017

VALENSI (II)

[sebuah imaji]

"Padahal begitulah sejatinya," ujarmu di suatu saat.

"Apa?" tanyaku tak paham.

"Sejatinya, haru-lelah-senang-pasrah, s e m u a, ialah rasa, ialah akibat,"

"Lalu?"

"Lalu..., kamulah penyebab,"
*
BAGIAN KEDUA: MOLEKUL

Bagian Sebelumnya:
Percakapan pertama boleh jadi amat berbeda dengan pertemuan pertama.


Tepat sebelum seluruh mahasiswa baru disibukkan dengan seremonial inaugurasi, pertemuan telah lebih dahulu diskenariokan Tuhan. Belum genap pukul enam, tetapi badan sudah kuyup oleh keringat hasil bermenit-menit pencarian.
Minggu, 28 Mei 2017

#Entropi 3 || Baper Tersistematik

 "Ada begitu banyak cara bagi Tuhan untuk mempertemukan. Terlihat rumit padahal sederhana, terlihat jauh padahal dekat, terlihat orang lain padahal kamu." 


"Huaaa baper banget!" seru Okti. Teriakannya sontak membuat kami yang ada di sekelilingnya ikut memerhatikan. Bagaimana tidak? Suaranya menggema ke sekeliling kelas. Bahkan kelas tetangga saja akan dengan mudah mendengarnya, batinku saat itu.

Rupanya Okti tengah membaca sebuah buku kumpulan prosa berjudul "Menentukan Arah", karya Kurniawan Gunadi. Memang, buku tersebut amat mampu mendefinisikan kehakikatan perasaan secara akurat, dengan cara yang terbilang tepat. Sehingga aku bisa memahami kebaperan Okti saat itu.

Namun ternyata, ada yang tidak sependapat.

#Entropi 2 || P(UAS)A

"Salah satu cara UPI menyambut bulan suci Ramadhan adalah dengan UAS."
- kata salah satu OA UPI-base

JICA. Gambar oleh Nana

Salah satu kegiatan yang entah berfaedah atau tidak, tetapi hobi sekali saya lakukan--dan mungkin hampir segenap umat lakukan juga--adalah nge-scroll timeline media sosial. Kadang memang banyak manfaatnya, terutama kalau friendlist kita sudah "terseleksi". Jadi apa-apa yang muncul di timeline itu memang nambah wawasan, terlepas dari seberapa besar "nilai kebenaran" wawasan baru tersebut. Oleh karenanya, coba deh, dari sekarang diseleksi lagi "pertemanan"-nya, baik di Line, Facebook, Instagram, Twitter, pun medsos-medsos lainnya. Follow banyak akun berita, pemikir-pemikir bertanggung jawab (karena nggak semua orang yang berpikir dan berbagi pemikirannya juga memikirkan pertanggungjawaban dari pemikirannya), dan fanspage bermanfaaat lainnya. Indeed, you-are-what-you-read. Percayalah, apa yang sering kamu baca saat ini (di timeline, salah satunya) adalah bagaimana dirimu di masa nanti.

Ya, yang itu tadi intermezzo aja dan sebenarnya nggak begitu nyambung sama apa yang ingin saya bagi di Entropi yang satu ini.

Tadi pagi saat nge-scroll timeline Line, ada sebuah postingan selamat berp(UAS)a dari salah satu OA. Kemudian tersadar kalau saya ini masih punya kewajiban di kampus, hehe kemarin sempet lupa kalau ada yang namanya UAS. Apa itu UAS? Nama makanan? 

"Tolong definisikan UAS!"
UAS
Ujian Agak Serius
Ujian Anti Santai
Ujian Agar Sukses
Ujian Anak Sekolah (jadi kalau udah kuliah namanya UAK)
Hehe, mohon maaf nirfaedah. UAS, seperti yang sudah kita ketahui adalah akronim dari Ujian Akhir Semester. UAS ini biasanya menjadi momen harap harap cemasnya anak kuliah, karena saat UAS lah seseorang dapat membuktikan sudah sejauh mana pencapaian akademiknya di kampus.

Kita merayakan kedatangan Ramadhan Mubarak ini dengan UAS, sebagai ujian pertama yang secara nyata kita hadapi. Ujian pertama? Iya gais, karena selain UAS, ada ujian lain yang akan dan tengah kita hadapi di Ramadhan ini, yaitu ujian melawan hawa nafsu.

*lalu flow tulisan tiba-tiba naik*

Pernahkah kita terpikir,

kalau di hari-hari biasa, iblis dan pasukan setannya akan mudah wara-wiri mengangkasa. Mencari teman sebanyak-banyaknya untuk menemani di neraka.

Namun di Ramadhan karim ini, mereka dibelenggu (meskipun ada tafsir yang menyebutkan bahwa makna "dibelenggu" di sini bukanlah secara mutlak).

Namun di Ramadhan karim ini, kita tidak dihadapkan lagi pada iblis dan pasukannya. Kita tidak diuji lagi dengan bujuk rayu mereka. Kita sempurna hanya berhadapan dengan diri kita sendiri.

Di bulan ini, kita hanya berperang dengan diri kita sendiri. Dengan hawa nafsu kita sendiri. Dengan kemalasan, ke-mager-an, ketidakproduktifan kita sendiri.

Maka, jika saat ini hanya ada diri kita. Apakah ini diri kita yang sejati? Tanpa setan yang mengintervensi? Apakah benar diri kita masih saja sehina ini?
"Dalam Ramadhan, Allah kenalkan kita pada kesejatian diri. Ketika aroma ibadah pekat dan syaithan dibelenggu; apakah hawa nafsu masih menggebu?" -Salim A. Fillah
Kini, cermin itu hanya dihiasi oleh diri kita sendiri. Maka selamat merefleksi. Semoga dapat terus menjadi perbaikan diri. Aamiin Ya Rabbal 'alamiin.

***

Minggu, 2 Ramadhan 1438 H 
Jumat, 26 Mei 2017

#Entropi 1 || Mengejar Kepantasan

"With great power comes great responsibility," -Uncle Ben, one day in Spiderman

Hasil gambar untuk with great power comes great responsibility

Sekilas tentang Entropi:
en.tro.pi
[n Fis] keseimbangan termodinamis, terutama mengenai perubahan energi yg hukumnya disebut hukum termodinamika kedua yg menyatakan bahwa semua energi hanya dapat berpindah dr tempat yg mengandung banyak energi ke tempat yg kurang mengandung energi

Oke. Itu tadi menurut KBBI. Lain halnya dengan #Entropi yang ingin saya perkenalkan saat ini adalah proyek sekian-hari menulis selama bulan Ramadhan (karena belum nargetin mau nulis tiap berapa hari hehe). Tujuannya sederhana, yaitu untuk berbagi inspirasi :D 

Yap, karena saya yakin menulis adalah energi. Sehingga akan sayang jika tidak dibagi. Dan saya harap semoga tulisan ini dapat bertransformasi menjadi wujud yang lebih berarti, lebih menginspirasi.
Senin, 01 Mei 2017

Menjadi Penakut

"Saya takut akan amanah ini,"
 
Langit Al-Furqon UPI

"Jangan sebut-sebut nama saya," ujar lelaki itu. Gerik matanya terlihat cemas. Raut wajahnya memelas meski tetap tegas. "Seandainya khalifah menyebut-nyebut nama saya untuk jabatan itu, hendaknya engkau halangi. Dan kalau Ia tak menyebutnya, maka sungguh jangan kau ingatkan namaku kepadanya."
 
Lelaki itu ialah Abu Hafs Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin Hakam bin As bin Umayah bin Abd Syams, kita biasa mengenalnya sebagai Umar bin Abdul Aziz. Seorang 'ulil amri dari kalangan Bani Umayyah yang masyhur lagi wangi namanya. Keturunan dari Khulfaurrasyidin ke-2, Umar bin Khattab.
 
Umar bin Abdul Aziz hanya memerintah selama 2,5 tahun, tetapi dalam waktu yang sesingkat itu beliau mampu membawa banyak perubahan progresif di masa kekhalifahan Dinasti Umayyah. Menyamai bahkan melampaui khalifah lain yang masa kepemimpinannya berpuluh-puluh tahun lebih lama. Di tangannya, Dinasti Umayyah mencapai puncak kejayaannya.
 
Beliau terkenal akan keadilan, kebijaksanaan, dan kerendahhatiannya. Ada sebuah kisah yang saya ingat betul saking mengharukannya. Syahdan, putranya Umar datang menghadap ayahnya, hendak membahas masalah keluarga. Mengetahui iktikad putranya, Umar segera meniup lampu minyak yang ada di kantornya.
 
Ruangan itu menjadi gelap gulita.
 
Putranya Umar tentu kebingungan. Mengapa ayahnya malah mematikan sumber cahaya satu-satunya ketika ia datang? Tetapi bukannya menangkap rasa bingung putranya, Umar justru berkata, "Apa yang hendak kau sampaikan kepadaku, Nak?"
 
"Wahai ayah, mengapa kita bergelap-gelapan begini? Mengapa engkau meniadakan satu-satunya sumber cahaya di ruangan ini?" Tanya putranya.
 
Umar bin Abdul Aziz tersenyum simpul sembari menjawab, "wahai anakku, kita hendak berbicara mengenai urusan keluarga, sedang minyak yang dibeli pada lampu itu adalah uang dari Negara. Itu berarti cahaya lampu ini dari uang rakyat, dan aku tidak mengambil uang rakyat."
 
Luar biasa ya? :')  Betapa hari ini banyak dari kita yang mengejar-ngejar tahta seakan-akan dengannya kita bisa meraup keuntungan dunia. Namun, lewat keteladanan Umar, kita tahu bahwa semua tidak sesederhana itu. Bahwa setiap tetes minyak yang berasal dari uang rakyat akan dipertanggungjawabkan, bahwa setiap angka di belakang koma akan menjadi pertanyaan di Yaumul Hisab, bahwa menjadi pemimpin--seperti kata beliau--adalah yang paling berat pertanggungjawabannya.
 
Mungkin hal itu pulalah yang mendasari ucapannya saat ia ditetapkan sebagai ulil amri:
 
 "Saya takut akan amanah ini,"
 
Nyatanya, seorang Umar bin Abdul Aziz jualah seorang "penakut". Beliau takut akan banyaknya urusan umat yang mungkin menjadi pemberat hisabnya di akhir nanti. Dan bukan hanya itu, melainkan juga penyakit-penyakit yang mungkin datang menyertainya.

Penyakit? Iya. Sebab ada banyak cara bagi setan untuk menanamkan penyakit hati pada manusia, salah satunya lewat ketenaran dan kekuasaan. Hal yang akan amat sulit dihindari manusia.
 
Seperti kata K.H. Mu'tamid Chalil yang amat jleb ini, "dan ketika mata melihat ketakjuban, telinga mendengar pujian, jiwa menangkap rasa hormat, dan diri merasakan pemuliaan. Siapakah manusia zaman ini yang akan tahan?"

Oleh karena itu, sah-sah saja menjadi penakut jika ketakutan kita didasari pada ketakutan yang lebih tinggi, yaitu ketakutan akan ketiadaan ridha Allah pada diri kita :') Keteladanan itu telah diberikan oleh Umar bin Abdul Aziz, Abu Bakar ash-Shiddiq, bahkan Rasulullah sendiri saat hendak mencerna wahyu Allah yang pertama.
 
وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"... Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan."
(QS. An-Nahl:93)
 
Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Semua datangnya dari Allah, dan akan kembali kepada-Nya.