Minggu, 28 Mei 2017

#Entropi 3 || Baper Tersistematik

 "Ada begitu banyak cara bagi Tuhan untuk mempertemukan. Terlihat rumit padahal sederhana, terlihat jauh padahal dekat, terlihat orang lain padahal kamu." 


"Huaaa baper banget!" seru Okti. Teriakannya sontak membuat kami yang ada di sekelilingnya ikut memerhatikan. Bagaimana tidak? Suaranya menggema ke sekeliling kelas. Bahkan kelas tetangga saja akan dengan mudah mendengarnya, batinku saat itu.

Rupanya Okti tengah membaca sebuah buku kumpulan prosa berjudul "Menentukan Arah", karya Kurniawan Gunadi. Memang, buku tersebut amat mampu mendefinisikan kehakikatan perasaan secara akurat, dengan cara yang terbilang tepat. Sehingga aku bisa memahami kebaperan Okti saat itu.

Namun ternyata, ada yang tidak sependapat.

"Apaan sih, Ti. Belajar sana! Jadi cewe kok baper aja kerjaannya," ketus Novi. Novi memang terkenal dengan ke-anti-baperan-nya. Jangankan baper, dengan timeline sosial media saja dia sudah anti. Menurutnya, media zaman sekarang sudah kebangetan. Dikit-dikit nikah muda, dikit-dikit cinta dalam diam, dikit-dikit mikir romansa. Duh, perempuan itu ga boleh baperan. Memang hidup hanya untuk cinta-cintaan? Begitulah kurang lebih pemikiran Novi.

"Nggak apa-apa atuh, bapernya juga positif, 'kan?" bela Okti, tidak rela harga dirinya turun oleh statement dari Novi.

"Nah, coba definisikan bagaimana itu baper positif, Ti?" tantang Novi. Pertanyaan yang seketika membuat Okti ikut terdiam. Berpikir mendalam, tetapi kok nggak ketemu-ketemu sama jawabannya ya?

Aku yang dari tadi hanya menyaksikan, jadi penasaran ingin ikut nimbrung ke dalam percakapan.

"Kalian tuh ya... cocok deh," ujarku sok nyambung. Rencanaku sederhana: menawarkan gencatan senjata pada mereka.

"Cocok apaan sih, Zul?" tanya Novi. Kali ini dia yang keheranan. Mungkin karena kemunculanku yang tidak diduga-duga, dan sok-nyambungku yang tiba-tiba.

"Hmm.. ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang bertanya, ada yang menjawab. Ada Oktober, ada November, hehehe," ujarku ngawur. Novi lantas mengerutkan kening, tidak menyetujui guyonanku yang sebenarnya sebuah "pengalihan topik". Berbeda halnya dengan Okti yang sekilas terlihat hendak tertawa, tetapi urung karena Novi masih menodongkan senjata.

Sebelum momen ini bertambah canggung, aku kembali mencoba merenyahkan suasana, "sepertinya aku tahu deh baper positif itu seperti apa,"

Berhasil! Statement terakhir tadi mampu membuat Novi kembali memerhatikan. Dan Okti, dari matanya kubisa melihat binar-binar pengharapan. Please tolong aku, Zul, mungkin begitulah suara hatinya saat itu.

"Baper itu penting. Bagian penting dari sejarah umat manusia, malah," ujarku. Sengaja membuat prolog yang megah. Simpel: agar semua menyimak lekat-lekat.

"Masih ingat nggak dengan kisah kemunculan air zam zam? Siti Hajar saat itu berlari-lari dari Bukit Safa hingga Marwah tujuh keliling hanya untuk bisa menyudahi tangisan si mungil Ismail. Jarak Safa ke Marwah itu kurang lebih 450 meter. Bayangkan kalau tujuh keliling! Lebih dari tiga kilo lho. Kok mau-maunya sih Siti Hajar berbuat demikian?"

"Padahal kan ya, kalau di keliling pertama saja udah nggak nemu air, yo wis, nggak perlu diputerin lagi, toh? Tetapi kok mau-maunya beliau muterin lagi sesuatu yang udah diputerin sampai tujuh kali?"

"Semua itu karena Siti Hajar baper. Beliau nggak tega melihat Ismail kecilnya--yang sudah lama didamba-damba kehadirannya di dunia--menangis kehausan. Sampai nggak peduli logika berkata apa, yang penting beliau terus berusaha. Tiada lain agar Allah tahu kalau usahanya tiada akan pernah berhenti demi sang buah hati. Tiada lain karena yakin bahwa Allah lah yang akan menjadikan semua ketidakmungkinan itu mungkin,"

"Dan coba tebak. Mata air yang dinanti, ternyata keluar dari tempat yang paling tidak diduga-duga. Tepat di bawah kaki Ismail kecil. Dan mengabadi hingga saat ini," aku tersenyum. Bisa kulihat Novi mulai memahami maksud dari ceritaku. Pun Okti.

"Juga ingatkah kita tentang kisah Sang Penakluk Konstantinopel?" tanyaku kepada Novi dan Okti.

"Muhammad al-Fatih? Lho? Memang dia pernah baper juga, ya?" jawab sekaligus tanya Novi.

"Yap. Tentu saja beliau pernah baper. Memang anak laki nggak boleh baper? Hehe,"

"Ketika beliau dan pasukannya dihadapkan pada kekokohan benteng Bizantium Romawi. Benteng yang amat tinggi, bahkan laut mereka dipagari dengan rantai-rantai besi sepanjang Semenanjung Tanduk Emas. Jika kita yang dihadapkan pada kondisi demikian, akankah yakin untuk terus berjuang?"

"Tapi Muhammad al-Fatih baper. Beliau ingat dengan salah satu hadis nabi yang selalu menjadi harapan dari ayah dan ibunya sedari kecil. Di sana disebutkan, bahwa suatu saat akan ada yang berhasil menaklukkan Konstantinopel-nya Romawi, yang pertahanannya tiada ada yang berani melangkahi. Pemimpin dari misi tersebut adalah sebaik-baiknya pemimpin, dan pasukannya adalah sebaik-baiknya pasukan,"

"Mungkin saat itu dalam hati kecil Al-Fatih terlintas: orang tua dan rakyat saya telah banyak berharap pada saya. Saya yakin Allah akan menolong saya, meskipun semua hal tersebut akan terlihat mustahil bagi manusia yang lain. Sehingga pada akhirnya beliau dan pasukannya melakukan hal yang di luar akal: menggotong kapal-kapal mereka, melewati bukit-bukit, menerobos benteng Romawi dari arah yang tidak disangka-sangka. Cuss, 70 kapal pun berhasil dipindahkan oleh mereka, atas izin Allah,"

Novi tersenyum, "aku paham maksudmu, Zul. Betul, banyak perubahan yang terjadi ketika kita menjadikan kebaperan itu sebagai energi,"

"Tapi, kok bapernya beda ya, Zul? Ada contoh baper yang sekonteks sama yang aku maksudkan, nggak?" celetuk Okti. Aku langsung gemas. Sedang berusaha dibantu, kok malah request lebih sih, Ti.

"Hmm.. mungkin ada," ujarku, berusaha mengingat-ingat kisah terbaper yang pernah tercatat dalam sejarah umat manusia. Dan apalagi kalau bukan....

"Ingat kisah Ali dan Fatimah, 'kan?" tanyaku, disambut dengan anggukan yang antusias dari Okti.

"Nah, bayangkan kalau Ali sudah kalah dengan logikanya yang mengatakan bahwa: Abu Bakar dan Umar saja ditolak oleh Rasulullah, maka menantu yang sehebat apa yang diidamkan oleh Rasulullah? Pasti Ali nggak akan berani mencoba datang meminang Fatimah, 'kan?"

"Tapi dengan berbekal keberanian, semangat untuk membawa perubahan, dia tetap bertandang. Dan coba tebak, jawaban Rasulullah saat itu sungguh indah: ahlan wa sahlan. Jawaban yang pada awalnya membuat Ali kebingungan, tetapi akhirnya diikuti dengan kebahagiaan."

Setelah mendengar ceritaku yang terakhir ini, Okti terlihat makin bersemangat. Haduh Okti, ternyata dari tadi kamu menunggu cerita yang itu, ya?

"Intinya adalah satu, gais. Baper itu nggak diharamkan kok sama Allah. Namun ingat, kondisikan. Jadikan baper kita baper yang membawa perubahan. Atur-atur agar baper kita membuat motivasi beramal makin tinggi, semangat berbagi makin terakselerasi, dan cita-cita baik makin dihayati. Jadikan baper kita tersistematik."

Selamat baper. Selamat membawa perubahan!

"Hai orang-orang yang beriman! Jika kamu bertakwa kepada Allah, pasti Dia akan memberimu furqan (suatu petunjuk merupakan pelita hati yang dapat membedakan antara yang salah dan yang benar antara yang terang dan yang gelap dan sebagainya), dan menghapus segala kesalahan kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfal:29)

***

Minggu, 3 Ramadhan 1438 H 

0 komentar:

Posting Komentar