Jumat, 26 Mei 2017

#Entropi 1 || Mengejar Kepantasan

"With great power comes great responsibility," -Uncle Ben, one day in Spiderman

Hasil gambar untuk with great power comes great responsibility

Sekilas tentang Entropi:
en.tro.pi
[n Fis] keseimbangan termodinamis, terutama mengenai perubahan energi yg hukumnya disebut hukum termodinamika kedua yg menyatakan bahwa semua energi hanya dapat berpindah dr tempat yg mengandung banyak energi ke tempat yg kurang mengandung energi

Oke. Itu tadi menurut KBBI. Lain halnya dengan #Entropi yang ingin saya perkenalkan saat ini adalah proyek sekian-hari menulis selama bulan Ramadhan (karena belum nargetin mau nulis tiap berapa hari hehe). Tujuannya sederhana, yaitu untuk berbagi inspirasi :D 

Yap, karena saya yakin menulis adalah energi. Sehingga akan sayang jika tidak dibagi. Dan saya harap semoga tulisan ini dapat bertransformasi menjadi wujud yang lebih berarti, lebih menginspirasi.

*

Oke. Masuk ke #Entropi edisi pertama ini: Mengejar Kepantasan. Wah, apaan tuh? Berat bener kayak yang mau nyari jodoh aja wkwk. Apa iya begitu?

Ada beberapa pertanyaan mukadimah sebelum masuk ke inti nih:
  • Pernahkah bertanya-tanya, mengapa bisa ada manusia yang istilahnya "segala bisa"? Makan bisa, tidur bisa, ngedip bisa, sampai tidur sambil merem pun udah autopilot. Eh bukan, maksud saya "sagala bisa" tuh contohnya... otak akademis, tubuh atletis, jemari pianis, suara vokalis, dan seterusnyaaa.
  • Pernahkah terheran-heran, mengapa kok ada orang yang sudah mati-matian bekerja keras, tetapi rezekinya masih saja kandas?

Memang, akan tidak mudah untuk menemukan "kebenaran universal" untuk menjawab pertanyaan tersebut. Karena pada hakikatnya, fenomena tersebut tidak dapat digeneralisasi menjadi suatu konklusi pasti. Namun saya menemukan statement ini, yang luar biasa dalamnya mengusik relung kontemplasi saya.
"Berapa banyak rezeki yang layak dititipkan kepadamu sangat terkait dengan seberapa besar kapasitas, wadahmu untuk menerima rezeki itu."
Begitulah. Penulis statement tersebut menggunakan analogi hujan dan wadah untuk memperjelasnya. 

Suatu hari, hujan sedemikian deras. Pak Bejo bawa 1 gelas, Pak Untung bawa 1 ember, Pak Bahagia mungkin tidur di rumah. 
Ketika hujan sudah reda, ternyata Pak Bejo hanya berhasil mengumpulkan 1 gelas air hujan, Pak Untung berhasil mengumpulkan 1 ember. Namun ketika Pak Bejo dan Pak Untung bersusah payah terkena hujan-hujanan demi dapat menampung air hujan tersebut, Pak Bahagia justru di rumah bersama keluarga, menikmati kebersamaan. 
Dengan sangat tenang ketika ditanya istrinya: "Ayah, Ayah gak cari air sebagaimana tetangga?" Pak Bahagia berkata: "tenang Ibu. Mungkin Pak Bejo mendapat 1 gelas atau Pak Untung mendapat 1 ember, nggak masalah... sebab kita punya empang yang menampung air-air yang berlimpah. Jadi tenang saja walau Ayah tidak ikut hujan-hujanan, Ayah tetap memiliki 1 empang air."
Nah. Pak Bahagia yang membaktikan waktunya untuk keluarga, malah memeroleh rezeki (air hujan) yang lebih banyak. Secara kasat mata, tentu kita akan beranggapan bahwa itu tidak adil. Namun, jika diikuti pemaknaan, apa yang tengah Pak Bahagia lakukan adalah demi kebermanfaatan yang lebih luas. Dengan bersama keluarga di rumah, Pak Bahagia sesungguhnya tengah meluaskan wadahnya, kapasitasnya untuk menjadi bermanfaat, sehingga Allah memberikannya rezeki yang juga lebih luas.

**

Comes Great Responsibility
Dalam agama Islam, hampir semua hal selalu diatur dalam rasio dan persentase. Dari harta waris sampai zakat, tak lepas dari ketentuan tersebut. Dan jika kita mau memaknai lebih jauh, betapa ternyata "persentase/rasio" yang ditetapkan tersebut melahirkan suatu konsekuensi mutlak: makin besar rezekimu, makin besar hak orang lain di dalamnya. 

Namun, tidak semua nilai yang seharusnya kita beri bisa dilihat secara zahir (kasat mata) harus seberapa besar. Hal tersebut tersirat dalam analisis komparasi sikap Rasulullah terhadap dua sahabat. Yang pertama Sa'ad bin Abi Waqqash ketika beliau begitu khawatir akan harta dunianya dan hendak menyedekahkan seluruh hartanya. Namun, Rasulullah tidak mengizinkan.

"Bagaimana jika dua pertiganya, Ya Rasulullah?" tawar Sa'ad.

"Jangan."

"Bagaimana jika separuhnya yang aku wasiatkan?"

"Jangan."

"Bagaimana jika sepertiganya?"

"Sepertiga itu," ujar Rasulullah Saw., "sudah merupakan jumlah yang banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan keluargamu dalam keadaan kaya dan mampu adalah lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan fakir dan meminta-minta."

Berbeda halnya dengan kepada Abu Bakar ash-Shiddiq, yang kapanpun beliau datang membawa seluruh hartanya untuk didermakan fisabilillah, Rasulullah tak pernah menolak. Malah, Rasulullah berkata: "Apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?"

Abu Bakar menjawab, "kutinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya." Dan jawaban tersebut cukup bagi Rasulullah untuk mengizinkan Abu Bakar mendermakan seluruh hartanya.

Analisisnya, perbedaan terletak pada kapasitas dan kapabilitas mereka dalam menjemput rezeki. Abu Bakar adalah seorang niagawan yang mumpuni dan memiliki jaringan lagi wawasan yang luas dalam berdagang. Sumber rezeki beliau tidak pernah putus. Adapun Sa'ad bin Abi Waqqash, kemungkinan bukanlah orang dengan kemampuan usaha setinggi Abu Bakar.

Maka tidak hanya rezeki harta saja yang berimplikasi pada hak kita pada orang lain, melainkan juga rezeki kapasitas dan kapabilitas kita. Makin besar kapasitas dan kapabilitas kita, makin besar pula tanggung jawab kita untuk mentransformasikannya menjadi kebermanfaatan.

Jadi, kata-kata Uncle Ben pada Peter Parker tersebut sudah jauh lebih dahulu diamalkan dalam Islam. Kalau kamu diberi kesempatan untuk mengecap bangku kuliah di saat 90-an% orang lainnya putus sekolah, percayalah ada amanah besar yang tengah dihadapkan pada pundakmu. Kalau kamu diberi kesempatan untuk hidup sampai detik ini di saat satu per satu orang lain sudah dipinang ajal, percayalah ada tanggung jawab besar yang tengah dipersiapkan untukmu. Kalau kamu dianugerahi berbagai kesempurnaan fisik dan pikiran, percayalah, suatu saat nanti kamu akan ditanya untuk apa semua hal itu kamu gunakan.
Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi Rabb-Nya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskantentang masa mudanya untuk apa ia gunakantentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya.” (HR. at-Tirmidzi no. 2416)
Mengejar Kepantasan: Reaksi Reversibel
Karena latar belakang saya kimia, jadi saya bawa-bawa kimia lagi untuk menganalogikan hal ini.


Korelasi antara rezeki dan kebermanfaatan yang bisa kita beri tidak hanya searah, melainkan juga dua arah. Betul, jika rezekimu, baik harta maupun kapasitasmu besar, maka makin besar pula tanggung jawabmu untuk menjadi bermanfaat. 

Pun sebaliknya.

Mengingat kembali kisah Pak Bahagia di awal. Untuk memperbesar rezeki yang kita peroleh, kita harus mengejar kepantasan terlebih dahulu. Kita harus fokus memperbesar kemampuan kita untuk memberi, berkontribusi, dan bermanfaat. Makin besar nilai manfaat kita, maka makin besar pula kepantasan kita untuk memeroleh rezeki.

Jadi, kalau saat ini merasa: ah saya mah nggak bisa apa-apa. Otak minimalis, rezeki mengemis, bakat menangis, dan seterusnya dan seterusnya STOP DULU!

Coba deh bareng-bareng kita kejar kepantasan untuk memeroleh segala kapasitas itu. Buktikan ke Allah kalau dengan keterbatasan saja banyak manfaat yang bisa kita tebar, apalagi dengan berbagai kapasitas dari-Nya nanti :)


Selamat mengejar kepantasan!

***

Jumat, 1 Ramadhan 1438 H

0 komentar:

Posting Komentar