Selasa, 08 Maret 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 3/ tamat)

Seminggu berlalu...
Fattah, kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan Bapak...”
Maaf Pak, Fattah tak bisa... Fattah takut, Pak...”
“Kamu bisa, Nak... Kamu harus mencobanya...”
Dan seketika, bayangan itu hilang. Mimpi itu buyar.
“Astaghfirullah, Subhanallah, Allahuakbar,...” Dzikirku seraya terbangun dari lelap. Bagaimana tidak, mimpi itu sudah menghantuiku. Sudah empat kali dalam minggu ini aku memimpikan hal yang sama. Tak ubah! Aku merenunginya, apa maksudnya ini Ya Rabb?! Apakah aku harus mengusir penjajah itu dari bangsa kami?! Tetapi mengapa Kau memilih seorang yang takut mati?!!
Kulihat sekelilingku, semua tidur, bak anak kecil yang tidur di pangkuan Ibunya, nyenyak dan anteng... sekali. Aku tersenyum. Kuputuskan untuk melaksanakan qiyamul lail di dua pertiga malam yang dijanjikan ini. Dengan terhuyung-huyung aku beranjak mencari air di gelapnya malam ini. Beberapa kali tak sengaja menyepak kaki seorang teman, tetapi untung saja semua orang bener-benar tidur nyenyak. Mungkin sedang bermimpi suatu hari bebas dari penjajahan ini. Kembali mendapatkan haknya untuk hidup.
Shalat malam itu kulakukan dengan amat khusyuk. Dengan berlinang air mata. Dengan penuh harap dan syukur. Dengan..., ah... dengan sangat... dimaknai. Entah mengapa sahabis Tahajud aku mendapatkan kekuatan. Tidak, bukan kekuatan untuk mengangkat berton-ton besi. Tetapi sebuah kekuatan yang sangat besar, mungkin besarnya sudah membumi. Kekuatan untuk melawan. Ya, melawan, melawan para penjajah yang telah mengambil hak-hak kami sebagai manusia. Yang telah merampas semua yang seharusnya kami miliki. Mereka sama sekali tidak punya hati. Hanya demi cita-citanya ‘menguasai dunia’, mereka mau melakukan apa saja. Termasuk merampas apapun dari kami. Bahkan walaupun itu hanya secuil nasi.
Dan sehabis Shalat Subuh...
“Teman- teman, sahabatku seperjuangan, saudaraku seiman,” Teriakku ketika aku berhasil menyuruh mereka tetap diam di tempat sehabis shalat subuh.
“Kita hanyalah makhluk-Nya yang tak sempurna, tetapi kita diberi banyak kelebihan, lebih dari makhluk-Nya yang lain. Kita semua tentu punya cita-cita. Ya, CITA-CITA. Dan apalah gunanya cita-cita itu kalau kita tidak berusaha meraihnya?! Tanpa berusaha untuk mencari tau bagaimana cita-cita tersebut dapat terwujudkan. Apa gunanya sebuah IMPIAN tanpa hasrat untuk meraihnya?!”
“Ada sebuah cita-cita. Dari seorang anak yatim piatu yang takut mati. Ia berharap suatu saat nanti penjajah-penjajah itu akan pergi. Diusir. Diberi pelajaran agar jera. Tapi ia hanyalah anak yatim piatu yang takut mati, tetapi ITU MENURUTNYA, ia sebenarnya punya kekuatan, punya banyak hal untuk mengusir penjajah itu dari tanah airnya. Ia punya hal itu,”
“Saudaraku yang kucintai, ingin aku mewujudkan cita-cita anak yatim piatu itu. Ingin aku mewujudkan cita-cita semua orang yang terbelenggu oleh penjajahan ini. Aku yakin, seperti halnya aku, kalian menginginkan begitu,”
“Jangan khawatir saudaraku, aku yakin kita bisa. Aku yakin, seperti halnya yang baru anak yatim piatu itu sadari, kita mempunyai banyak hal untuk mengusir para penjajah dari tanah air tercinta. Tidak, bukan banyak prajurit, bukan banyak senjata canggih. Tetapi dengan semangat ‘membebaskan tanah air tercinta dari belenggu penjajah’, aku yakin kita BISA. Jikalau kita jatuh berdarah nanti, ingatlah, kita sama halnya dengan jihad, sedang melepaskan belenggu orang kafir, sedang memperjuangkan agama tauhid, maka kita Insyaallah  akan mati suci, syahid,”
“Saudaraku, marilah kita ucapkan takbir sekencang-kencangnya, yakinlah dalam lubuk hati terdalam bahwa kita bisa melakukannya. Aku hanya berharap, kita dapat mewujudkan cita-cita itu. Mewujudkan cita-cita si yatim piatu. Mewujudkan cita-cita semua orang.” Kelu lidahku, embun bening itu sudah keluar dari sudut mataku. Setetes, dua tetes, air mata keberanian itu muncul. Tak kusangka aku telah melakukannya, menyemangati teman-temanku. Padahal dulu aku seorang yang takut mati. Kini semua orang bertepuk tangan dan mengucapkan takbir dengan meriah.


“Bismillah... Allahuakbar... Allahuakbar.” Takbir itu bergema. Setelah subuh tadi, semua orang memutuskan untuk melawan. Entah dari mana kekuatan mereka untuk melakukan itu. Dulu, mereka (termasuk aku) merasa seperti orang kerdil di hadapan para penjajah, sekarang, Ya Rabb, terimakasih atas semua kasihmu. Sekarang kita dalam perjalanan menuju markas para penjajah tak punya hati itu. Kami hanya beranggotakan puluhan orang, tak sampai seratus, senjata kami pun hanya senjata tradisional yang kalau dihitung-hitung, masih kalah jauh dari senjata lawan kami. Tapi, ah, masa bodoh, toh kami sudah niat melakukannya, maka takkan ada yang bisa menghalangi.
“Tiarap...”  Bisikku setelah aku melihat keberadaan markas yang dijaga itu. Sejak kejadian subuh tadi, semua orang menginginkanku untuk menjadi pemimpin mereka. Entahlah, mereka memilih seseorang yang dulu takut mati.
“Cepat, regu B di sebelah kanan markas dan regu C di sebelah kiri markas.” Bisikku kembali sambil menunjuk tempat yang dimaksud. Aku bersiasat untuk mengepung markas penjajah, dengan begitu, penjajah akan sulit untuk menangani kami yang datang dari segala arah.
Setelah melihat semua regu telah berada dalam posisinya maka aku berteriak, “Serang....” Dan genjatan senjata pun terjadi.
Para penjaga markas dengan sigap memanggil rekan mereka dan sekejap keluarlah ratusan penajajah, lengkap dengan pakaian dan senjata canggih mereka.
Walaupun kami sudah mengambil posisi aman, tetapi para penjajah dengan mata sigapnya berhasil mengetahui keberadaan kami. Satu demi satu korban mulai berjatuhan. Baik dari pihak teman maupun dari pihak musuh. Alhamdulillah, aku sudah berhasil melumpuhkan lima orang penjajah. Yup, melumpuhkan, tak ada senjata kami yang bisa membunuh seseorang, kecuali senjata hasil rampasan perang, dan itupun jarang kutemui. Dillan lebih hebat lagi, sejauh yang bisa aku hitung, ia sudah berhasil melumpuhkan lebih dari sepuluh orang penjajah.
Tapi hal itu tak bisa dihindari, sebuah peluru melesat cepat ke arah Dillan yang ada tepat di sebelahku, peluru itu tepat mengenai  dahinya. ”Tidak, Dillan,” Aku sedih sekali melihat Dillan yang darahnya bercucuran. Senjata para penjajah itu tidak hanya melumpuhkan, tapi juga bisa membunuh. Aku takut sekali bila sahabatku ini mati.
“Aku tak apa-apa Fattah,” Kata Dillan lemah. Dan tepat ketika Dillan mengatakannya, sebuah peluru melesat cepat, lagi-lagi ke arah Dillan, tanpa pikr panjang, kubentengi Dillan dari peluru itu. Dan seeettt.... peluru itu tepat mengenai dadaku. Aku terjatuh ke arah Dillan. Terlihat wajah pucatnya melihat diriku dengan amat takut.
“Fattah, seharusnya kau jangan melindungiku,” Kata Dillan tersekat, “Terimakasih,” Ia melanjutkan, sedikit senyum walau denganwajah pucat. Takut sesuatu terjadi padaku. “Fattah, sadarlah, kau kuat!” Seru Dillan tambah khawatir melihatku seperti orang sekarat. Dillan mulai menangis, “Fattah, katakan sesuatu! Tolong.”
“Aku bahagia punya sahabat seperti kau Dillan, aku bangga dengan teman-teman dan kau, aku yakin kalian bisa mewujudkan cita-cita si anak yatim piatu yang takut mati itu, Allahuakbar!” Dan tak kusangka, itulah kalimatku yang terakhir aku ucapkan di dunia ini. Semua inderaku menjadi mati rasa, sunyi dan gelap.
Seberkas cahaya muncul. Bapak dan Ibu, muncul dengan senyum manis menyambutku. Dan ini terlihat nyata, sangaaat nyata, tidak seperti mimpi-mimpiku sebelumnya, dan ini memang bukan mimpi. Mereka tersenyum, senyum paling indah yang pernah aku lihat, senyum paling membahagiakan, senyum paling melegakan yang pernah aku lihat.
Aku benar-benar bahagia. Akhirnya aku bisa mewujudkan setengah cita-citaku, setidaknya aku yakin Dillan dan teman-temanku yang lain pasti bisa mewujudkannya, secara utuh. Dan suatu hari nanti aku yakin, bangsaku bisa terbebas dari semua belenggu penjajahan ini, aku yakin itu. Dan yang tak kalah penting, akhirnya aku bisa membalas budi Dillah dulu. Aku senang bisa menolongnya, menolong seorang sahabat yang sangat aku sayangi itu. Juga ada nilai plus-nya, aku telah menyemangati teman-temanku, layaknya Bung Tomo. Maka, tuntaslah semua gelisahku. Kini hanya kebahagiaanlah yang menantiku.
Maret 2011
Untuk para pahlawan atas semua jasamu
dan baktimu pada negeri tercinta.

0 komentar:

Posting Komentar