[masih sebuah imaji]
"Hendak ke mana?" tanyaku parau--pada kamu yang berlalu tanpa ba bi bu.
"Bukan tentangmu. Maaf, kali ini benar-benar bukan," datar, matamu hanya memerhatikan ubin-ubin abu.
"Memang sejak kapan," ujarku tertahan, "sejak kapan sesuatu menjadi tentangku?" akhirnya tanya itu kuputuskan untuk dilontarkan.
Kamu terdiam.
Barangkali memang aku salah mengucapkan. Dan aku menyesal sudah menanyakan.
"Apakah harus ada awal," katamu kemudian, "untuk sesuatu yang tidak memiliki akhir?"
Kamu pergi. Menyisakan aku, langit biru, dan keabsurdan sebuah jawaban.
"Bukan tentangmu. Maaf, kali ini benar-benar bukan," datar, matamu hanya memerhatikan ubin-ubin abu.
"Memang sejak kapan," ujarku tertahan, "sejak kapan sesuatu menjadi tentangku?" akhirnya tanya itu kuputuskan untuk dilontarkan.
Kamu terdiam.
Barangkali memang aku salah mengucapkan. Dan aku menyesal sudah menanyakan.
"Apakah harus ada awal," katamu kemudian, "untuk sesuatu yang tidak memiliki akhir?"
Kamu pergi. Menyisakan aku, langit biru, dan keabsurdan sebuah jawaban.
*
"Jika dengan memikirkanmu tidak akan membawa diriku menuju memikirkan-Nya, mungkin sudah saatnya melupa. Pada apa-apa yang pernah menyemi, merintik, tetapi tak sampai memuara,"
Energi itu kekal, kata orang-orang di luar sana. Ia selalu ada, barangkali hanya wujudnya yang berupa-rupa.
Hari ini kelas membahas mengenai diagram siklus Born-Haber. Aku terenyak mendapati transformasi energi yang sungguh menakjubkan. Ketika dulu di bangku sekolah kita hanya mengenalnya sebatas energi panas, listrik, kimia, dan kinetik--kini jauh lebih beragam.
"Energi ini selalu relevan dengan kehidupan," ujar Bapak Dosen yang mengajar di depan. Usia tak menghalangi beliau dalam memeragakan berbagai fenomena mikro ke dalam ilustrasi sederhana. Meloncat-loncat, berputar-putar, merentangkan tangan selebar-lebarnya--rasanya semua pernah dilakukan oleh Bapak yang satu ini. Menarik.
"Layaknya jabatan," ujar Pak Dosen, "makin tinggi jabatanmu, pasti energi yang dibutuhkan untuk ke sana jauh lebih besar,"
"Bayangkan," kata beliau lagi, kini sambil berdiri, "Pejabat itu barangkali energinya besar, power-nya kuat, 'kan? Posisi ini akan sebanding dengan besarnya energi," menit-menit berikutnya Pak Dosen meloncat-loncat, memeragakan bahwa posisi yang lebih tinggi akan memberikan dentuman yang lebih besar ketika terjatuh: energi potensial.
![]() |
sumber gambar en.stonkcash.com |
Kalau begitu, pikirku, energi serupa dengan perasaan. Pada suatu hari aku bisa sangat bahagia, jika ditakar persentasenya tinggi, lebih dari 80% barangkali. Namun, di hari yang lain, perasaan sedih bisa lebih mendominasi. Dan semua tetap dalam total tertentu--yang aku tidak tahu berapa--tetapi menyebabkanku menghabiskan jatah berpikirku pada hal yang itu-itu saja.
Sehingga pantas saja, orang-orang tidak dapat berbahagia dan bersedih dalam waktu bebarengan. Tidak dapat mencintai dan membenci pada waktu bersamaan. Tidak dapat bersyukur jika pikiran terus mengingati kekurangan. Semua menempati pikiran pada komposisi tertentu yang tak terdefinisikan.
"Pak!" seru seseorang, mengacungkan lengannya hendak bertanya dan membuat lamunanku terbuyarkan, "kapan kita mengetahui ini adalah energi A, atau energi B, atau energi C?"
Pak Dosen tersenyum. Ah, sebagai calon guru aku pun menyadari betul bahwa kebahagiaan itu sesederhana apa yang kita ajarkan benar-benar disimak oleh peserta didik, dan indikasi utamanya ialah dari pertanyaan yang menarik.
"Lihat fenomena apa yang terjadi," kata Pak Dosen, "ah iya, jangan lupa! Di sini kita berbicara mengenai perubahan entalpi. Entalpi ialah fungsi keadaan. Saudara tidak akan mengetahui nilai entalpinya, hanya perubahannya."
"Maka lihatlah apa yang berubah? Apakah fasanya? Apakah muatannya? Bagaimana nilai perubahannya? Apakah eksotermik? Apakah endotermik?"
"Sebagai catatan tambahan, ada yang menarik dari energi kisi," Pak Dosen kembali duduk, membuka folder-folder di laptop, meninggalkan kami dalam rasa penasaran.
"Ini dia!" serunya kemudian seraya menunjukkan sebuah jurnal berbahasa asing.
"Lattice enthalpy may be seen defined in two different ways, depending on the reference literature. In one definition, the lattice energy is the energy required to break apart an ionic solid and convert its component atoms into gaseous ions. This definition causes the value for the lattice energy to always be positive, since this will always be an endothermic reaction. The other definition says that lattice energy is the reverse process, meaning it is the energy released when gaseous ions bind to form an ionic solid. As implied in the definition, this process will always be exothermic, and thus the value for lattice energy will be negative. Its values are usually expressed with the units kJ/mol."
"Akibat dari hal ini ialah sebelum kita menggunakan sesuatu, pastikan dulu makna yang dimaksud di sana. Kadang sesuatu tidak seeksplisit kelihatannya. Jangan sampai kita salah memaknai arti sebenarnya dari energi kisi tersebut. Dia bisa endotermik, bisa eksotermik, check and recheck. Persis seperti apa yang terjadi di kehidupan sehari-hari," Pak Dosen kembali berdiri, menunjuk salah seorang mahasiswa di barisan paling depan.
"Coba saudara," ujar beliau, "ketika memilih untuk dipuji atau dicaci, apa yang lebih disukai?"
Mahasiswa yang ditanya kebingungan. Apakah ini pertanyaan jebakan? Ini jelas persoalan mudah. Pikirnya, siapakah yang hendak dicaci, jika dapat dipuji?
"Dipuji, Pak," ujar mahasiswa tersebut. Mahasiswa yang lain pun turut mengangguk-angguk, turut mengamini jika pujian tentu jauh lebih membahagiakan, case closed.
"Nah ini," kata Pak Dosen, "sebelum kita menggunakan pujian atau cacian orang lain, entah untuk terbang tinggi atau jatuh terjerembap, pastikan dulu makna yang dimaksud di sana."
"Karena kadang kita tidak sadar... Ya, tidak sadar bahwa pujian itu setara dengan ujian. Dan barangkali cacian jauh lebih menyelamatkan,"
**
Kepada lelaki yang hobi sekali memuji dan mencaci.
Aku sama sekali tidak masalah. Jika di suatu hari kau memuji bagaikan aku extraordinary. Di lain hari kau mencaci bak aku lelaki. Jika di suatu hari kau mendukung bagaikan aku ratu adil. Di lain hari kau menentang bak aku kriminal. Jika di suatu hari kau membantu dengan penuh dedikasi. Di lain hari kau mengabaikan bak aku tak bereksistensi.
Sekali lagi, aku sama sekali tidak masalah. Akan menjadi masalah jika kau sudah seperti ini: menguji.
Sehingga--kepada lelaki yang hobi sekali memuji dan mencaci--tolong jangan juga menguji.
Jika perasaan adalah energi, mengaturnya pada sebaik-baiknya komposisi adalah sebuah keharusan. Kadang kita terlalu sibuk pada suatu perasaan, hingga melupakan perasaan yang lainnya. Sebuah kejatuhan yang teramat dalam, bukan--jika segala perasaan ini tidak bermuara pada Tuhan?
Jika perasaan adalah energi, naik-turunnya ialah keniscayaan. Oleh karenanya, memastikan perasaan itu tetap pada tempatnya adalah sebuah keharusan. Sesesak apapun, jangan sampai meluap-luap. Karena apa yang cepat meluap, akan cepat menguap. Lenyap begitu saja diiringi sesal akan kecerobohan dalam menempatkan perasaan.
Pada prosa ini pun, perempuan sastra bertemu dengan lelaki eksakta yang menyimpan banyak pusaka. Salah satu di antara pusaka itu adalah kemampuan mentransformasikan energi sang perempuan, dari energi kekaguman menjadi energi kekhawatiran.
Karena akhirnya perempuan sastra ini mulai menyalahkan segala jenis justifikasi dari literatur biologi. Hormon feromon tentu tidak bertanggung jawab sepenuhnya, karena temu bukanlah faktor utama. Lobus oksipital tentu tidak selalu benar, karena toh apa yang dibayangkan selalu berbeda dengan apa yang diperlihatkan. Kadang-kadang bayangan menjadi berlebihan, serupa khayalan, tentunya cukup menyebalkan.
Sehingga perempuan ini mulai beralih ke literatur lain. Dan tidak ada yang lebih tepat untuk mendeskripsikan hal ini selain energi kisi. Proses yang entah ia melepas atau memeroleh kalor energi, semua tergantung dari mana perspektif dan maknawinya.
Sehingga jika orientasinya pada hal yang tepat, tentu dapat menjadi energi: endotermik. Motivasi untuk berbuat lebih. Lebih digdaya. Lebih kuasa. Dan jika orientasinya tidak tepat, tentu akan banyak membuang energi: eksotermik. Menjadi makin kerdil. Makin jauh dari apa-apa yang menggerakkan diri berdaya demi semesta.
Ah, apakah perempuan sastra ini akan mampu mengelola semua ini menjadi suatu proses endotermik?
Aku berada pada sebuah kekhawatiran karena menyadari bahwa ada rasa yang sedang kutimbun dan kusimpan.
Aku berada pada sebuah kekhawatiran karena menyadari bahwa aku harus melepaskan apa-apa yang menjadi ketentuan.
Aku berada pada sebuah kekhawatiran akan takut dikecewakan oleh sesuatu yang bisa berubah seiring kita menggenapi masa depan.
Sehingga aku berada pada sebuah kekhawatiran akan upaya mendahului ketetapan Tuhan dengan memburu-buru cerita lewat tindakan.
Dan aku, berusaha menepis segala kekhawatiran dengan mengingat sebuah kutipan: "Waktu dan jarak yang akan menyingkap rahasia besarnya, apakah rasa itu makin membesar atau memudar?"
Maka biarlah kekhawatiran ini aku pasrahkan pada Sang Sutradara Kehidupan.
***
(BERSAMBUNG KE BAGIAN KEEMPAT: EFEK PERISAI)
0 komentar:
Posting Komentar