Sabtu, 07 November 2020

VALENSI (IV)

 [tetap sebuah imaji]

"Kamu tahu bagian tersulit dari beranjak?" tanyamu, suatu waktu.

"Err... memangnya apa?"

Matamu menerawang langit biru padahal tidak ada apa-apa di sana. Kemudian kamu berkata lagi, "Semua bagiannya sulit, kok. Haha." Kamu hampir tertawa, tampak terpaksa.

Aku tersenyum kecut sambil berusaha menyelami jawabanmu itu, "Mungkin bisa menjadi mudah..."

Aku sempat terdiam. Ragu-ragu. Ah, apa akan aku katakan saja kalimat berikutnya ya...

"Mungkin bisa menjadi mudah... jika bukan diri kita sendiri yang mengehendakinya."
.

Maksudku, biarkan Tuhan saja yang berencana, 'kan?

*

Gunung Fuji, musim dingin 2020

Jika aku jatuh cinta, aku ingin jatuh cinta yang menumbuhkan. Yang membuatku tak ingin memberi ala kadarnya diriku. Yang membuatku ingin menjadi lebih baik tiap harinya. Yang membuatku banyak bangun di sepertiga malam dan melangitkan doa untuk masa depan yang terserah Tuhan skenarionya. Yang penting, aku sudah menjadi lebih baik hanya dengan jatuh cinta kepadanya, karena aku juga jatuh cinta kepada-Nya.

Urusan perasaan memang amat merepotkan, bahkan bagi si perempuan sastra, protagonis dalam cerita ini. Kalau dia bisa memilih untuk tidak memilikinya sedari awal, maka sudah barang tentu dia akan meminta Tuhan untuk tidak membiarkan belantara perasaan tumbuh rimbun pada sudut hatinya itu.

Dia terus saja merutuki dan merutuki dirinya sendiri. Rasanya sedemikian sulit untuk beranjak dari lubang yang padahal ia gali sendiri. Memang dari awal juga salahnya, bukan? Begitulah dilemanya setiap hari sampai kemudian ia mencapai suatu titik yang akan diceritakan di bagian keempat ini...

BAGIAN KEEMPAT: EFEK PERISAI

Bagian Sebelumnya:

**

Aku menatapi jam dinding di atas papan tulis laboratorium kimia fisika dan anorganik. Waktu telah menunjukkan pukul 16.20, artinya kelompok kami hanya memiliki waktu kurang dari satu jam lagi untuk menyelesaikan praktikum sintesis dan karakterisasi ini. Padahal, kelompok kami baru saja menyelesaikan tahap sintesisnya, perlu beberapa waktu lagi untuk bisa menyelesaikan proses karakterisasinya.

Sambil menunggu antrean uji titik leleh, aku mengamati dedaunan pada pohon-pohon cemara yang menari-nari dengan amat cantiknya di luar jendela sana. Berhubung laboratorium ini terletak di lantai lima, aku bisa dengan amat mudah melihat jalanan, gedung, dan pepohonan dari ketinggian. Rasanya syahdu dan mahal sekali pemandangan ini. Belum lagi dengan audio alami dari kicauan burung yang amat ramai tiap pagi dan senja hari. Menambah kelengkapan berkontemplasi di gedung kampusku ini.

Dalam kontemplasi pendekku, aku membayangkan betapa ajaibnya proses sintesis ini. Bagaimana tidak? Dalam sintesis, kita bisa menciptakan suatu hal baru dari dua atau bahkan lebih hal berbeda. Padahal Tuhan saja kita bukan, tetapi ada secuil ilmu-Nya yang ia titipkan pada kita, sehingga kita bisa menyintesis hal-hal baru untuk keberlangsungan hidup manusia.

Ah, aku juga ingin sekali bisa terus-menerus menyintesis kebaikan. Menciptakan hal-hal baik lainnya. Mewujudkan manfaat untuk semesta raya. Eh tapi, apakah kita bisa menyintesis semua itu seorang diri? Bukankah pada reaksi kimia juga, sintesis itu hanya bisa terjadi jika seminimalnya ada dua zat yang bertemu? Hm... lalu bagaimana jika bersama kamu?


Kamu tahu betul, aku senang akan tantangan.

Rasanya menjaga adrenalin tetap tinggi--harap-harap cemas akan berhasil atau tidak suatu rencana--menciptakan perasaan yang luar biasa menyenangkan.

Kamu tahu betul, aku senang merasa produktif.

Rasanya rebahku makin lelap, payahku malah mewujud esok yang lebih semangat. Ada kebahagiaan tersendiri untuk berada dalam lingkaran ini. Merasa teraktualisasi.

Kamu tahu betul, aku senang akan kolaborasi.

Aku senang melihat binar-binar mimpi pada mata orang lain. Lalu bersama mereka, berusaha mewujudkannya menjadi nyata. Bukankah amat mulia?

Kamu tahu betul, aku senang berproyek kebaikan.

Rasanya tak ada yang perlu ditakuti dari masa depan, selain diri ini jikalau tak terlibat dalam menyintesis peradaban. Ah, dan tentu kamu tahu betul tentang itu.

-----

Maka jika esok-esok kamu bertanya kepadaku,
"Bersediakah kamu berproyek kebaikan seumur hidup bersamaku?"

Barangkali untuk jawabannya pun, kamu sudah lebih dulu tahu.

**

Di kelas radiokimia hari ini, dosen kami memulai pembahasan tentang nuklir. Kami semua telah mengetahui betul apa itu nuklir dan bagaimana manfaat serta tantangan pengelolaannya dalam kehidupan. Namun tetap saja, ketika ditinjau aspek kimianya, ada banyak sekali hal yang baru kami sadari, yang juga membuat kami takjub sendiri. Pak Dosen yang mengajar saat ini cukup apik menyampaikan materi hingga kelas terasa mengalir dengan sendirinya.

"Berbicara tentang nuklir, sebenarnya kita akan berbicara kembali mengenai materi kimia dasar dan struktur kimia di semester 1 dan 2 dulu," bridging dari Pak Dosen. Mendengar itu, keringatku tetiba bercucuran. Hawa-hawanya, Pak Dosen akan meminta kami untuk mengingat kembali materi yang telah lalu. Duh aku khawatir kalau sudah melupakan semuanya. Ah, semoga ada anak kelas yang masih ingat ya. Tuhan, tolong selamatkan...

Lalu seperti yang sudah kuduga, Pak Dosen bertanya, "Nah, tentu anda semua masih ingat, 'kan, dengan efek perisai?"

Eh, istilah apa itu? Kok selama hampir empat tahun belajar kimia, aku masih merasa asing mendengarnya, kecewaku pada diri sendiri. Keringat yang bercucuran di dahiku makin banyak. Semoga posisi dudukku ini aman tak terlihat, pikirku.

"Lho, bagaimana ini tidak ada yang mau menjawab?" cecar Pak Dosen. Nadanya mulai terdengar mengancam. Sepertinya kalau tidak ada yang mengacung sama sekali, kami semua akan kena marahnya beliau.

Untunglah sebelum terjadi perang dunia ketiga, ada seorang perempuan berkerudung ungu di bangku depan yang mengacungkan tangannya, "Saya, Pak!"

Perempuan itu lanjut berkata, "Jadi efek perisai itu istilah lainnya adalah shielding effect, Pak, yaitu efek yang muncul akibat dari adanya proton pada inti dan elektron-elektron pada tiap kulit atom, Pak". Cerdas sekali, pikirku. Ia adalah mahasiswa berprestasi dari jurusan kami. Tampaknya, di saat jantung kami mau copot pada mata kuliah ini, dia selalu bisa menikmatinya seperti tengah menonton opera sabun pada layar televisi.

"Jawaban Anda sudah betul, tapi belum selesai," ujar Pak Dosen. "Jadi apa akibat dari kondisi yang Anda sebutkan tadi?"

"Hm.. boleh saya gambarkan, Pak?"

Dengan restu anggukan dari Pak Dosen, pada detik-detik berikutnya perempuan ini menghabiskan waktunya menggambar skema struktur atom di papan tulis. Di sana ada inti atom yang beranggotakan proton serta beberapa elektron pada kulit pertama dan kedua atom tersebut.


Shielding Effect, sumber: Google


"Nah, teman-teman," ujar perempuan berkerudung ungu itu ketika gambarnya telah selesai dibuat. "Jadi, setiap hal di semesta ini ternyata sudah Tuhan atur dengan seseimbang mungkin, termasuk hal yang sekecil atom itu sendiri."

"Tentu kita sudah mengenal bahwa proton itu bermuatan positif, sementara elektron bermuatan negatif. Hal ini akan membuat elektron-elektron pada tiap orbitalnya tertarik ke inti atom dengan kuantitas tertentu."

"Namun, terbayang 'kan kalau elektron-elektron itu bertabrakan karena sama-sama tertarik oleh proton? Barangkali akan ada ledakan yang dahsyat sekali di bumi ini. Oleh karenanya, selain tarikan, ada pula tolakan antarelektron pada tiap orbital atom. Hal inilah yang disebut efek perisai, keseimbangan antara tarikan dan tolakan pada atom untuk menjaga tiap-tiap subpartikel pada atom tetap bergerak di orbitalnya masing-masing."

Penjelasan perempuan berkerudung ungu itu lantas disambut tepuk tangan apresiasi dari seisi kelas. Penjelasan yang amat runtut dan jelas, amat mudah dipahami bahkan oleh aku yang baru menyadari keberadaan efek perisai ini. Pak Dosen mempersilakan perempuan itu untuk kembali duduk di bangkunya lalu mulai menjelaskan keterkaitan antara efek perisai ini dengan muatan inti atom. Kata Pak Dosen, hal ini adalah hal yang harus kita pahami sebelum memasuki bab nuklir itu sendiri, karena bahkan nuklir itu berarti inti atom 'kan, nuclear.

Dasar aku. Ketika Pak Dosen menjelaskan, pikiranku malah melayang terbang ke penjelasan perempuan tadi. Jika pada hal sekecil atom ada orbital, maka pada  hal seluas semesta ada orbit. Menariknya, keduanya memiliki hukum yang sama: bahwa jarak harus dijaga pada posisi terbaiknya, bukankah seharusnya begitu pula dengan kita umat manusia?--yang hidup di antara atom dan semesta.

Planet-planet memiliki orbitnya masing-masing. Mereka terus bergerak pada kecepatannya masing-masing. Mereka terus bersisian pada jarak yang aman. Jarak yang takkan membuat salah duanya bertabrakan dan menciptakan ledakan. Jarak yang membuat sistemnya terus berjalan sebagaimana suratan Tuhan.

Maka demikianlah aku berdoa, terus dan terus tanpa alfa. Bahwa kita, dengan orbitnya masing-masing, takkan pernah tergelincir meski amat bisa. Pada jarak yang aman, kita mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Sebab aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani, sebagaimana mungkin kamu tak ingin membuatku jadi menanti.

Pada jarak yang aman, barangkali kita bisa lebih legawa pada apa-apa yang akan menghadang. Sebab kalau memang orbitnya sudah digariskan demikian, kita tidak akan bisa apa-apa, bukan?

Maka pada jarak yang aman, mari kita membuat semuanya jadi sekadarya. Tiap hari aku terus berusaha untuk membuatnya demikian, semoga kamu juga.

**

Bergerak pada orbitnya, adalah sebuah misi yang juga mewujud ujian. Tidak jarang sang perempuan sastra ini menangis di akhir malam. Air mata paling rahasia, kata orang-orang. Dan tidak, ia tidak menangis karena perasaan tak tersampaikan yang tak surut-surut dan membuat hatinya kusut. Ia menangis karena menyadari betapa lemah dirinya sebagai manusia. Ia menangis karena menyadari betapa butuhnya ia dengan bantuan Tuhan di sana. Ia menangis karena ternyata, doanya dulu dikabulkan juga: ternyata ia bisa merasakan jatuh cinta yang makin mendekatkan dirinya pada Tuhan, meski dengan cara yang tidak perempuan itu duga-duga sebelumnya.

Maka, selepas hari-hari penuh tangis itu, sang perempuan sastra ini juga banyak bersyukur. Ternyata Tuhan sedang berusaha melembutkan hatinya. Ternyata Tuhan telah lama menantikan penghambaan yang paling tulus yang perempuan ini punya. Penghambaan yang datang dari kesadaran bahwa tak ada daya pun kuasa selain yang Tuhan beri semata.

Jadi, bukankah ternyata Tuhan itu amat baik?

---

Maha Baiknya Ia,
Ia menghadirkan kepada kita orang-orang yang memang sesuai dengan kebutuhan kita.

Yang melalui orang-orang tersebut, kita makin mengenali diri kita sendiri. Bahkan membuka ruang-ruang baru pada diri kita yang kita kira tak pernah ada sebelumnya.

Orang-orang yang juga melengkapi kelana hidup kita di dunia, entah untuk seterusnya atau satu pelabuhan saja.

Orang-orang yang pada akhirnya nanti, akan membuat kita memahami gambaran besarnya.

Ah ternyata aku bertemu dia agar bisa begini. Oh ternyata aku bertemu orang itu agar bisa memahami itu.

Betapa tak ada habisnya rahasia langit yang bisa disyukuri ketika kita cukup bersabar untuk memahami artinya nanti.

Betapa indahnya cara Ia mendesain hidup kita. Tidak ada satu tempat dan waktu pun yang bagi Ia keliru. Tidak ada satu pertemuan dan orang pun yang Ia hadirkan secara kebetulan atau tanpa perkiraan.

.

.

.

Maka kini aku juga bersyukur,

Betapa Maha Baiknya Ia,

Ia mempertemukan kita dengan cara terbaik-Nya.

***

(TAMAT)

0 komentar:

Posting Komentar