![]() |
Gunung Fuji, musim dingin 2020 |
Jika aku jatuh cinta, aku ingin jatuh cinta yang menumbuhkan. Yang membuatku tak ingin memberi ala kadarnya diriku. Yang membuatku ingin menjadi lebih baik tiap harinya. Yang membuatku banyak bangun di sepertiga malam dan melangitkan doa untuk masa depan yang terserah Tuhan skenarionya. Yang penting, aku sudah menjadi lebih baik hanya dengan jatuh cinta kepadanya, karena aku juga jatuh cinta kepada-Nya.
Urusan perasaan memang amat merepotkan, bahkan bagi si perempuan sastra, protagonis dalam cerita ini. Kalau dia bisa memilih untuk tidak memilikinya sedari awal, maka sudah barang tentu dia akan meminta Tuhan untuk tidak membiarkan belantara perasaan tumbuh rimbun pada sudut hatinya itu.
Dia terus saja merutuki dan merutuki dirinya sendiri. Rasanya sedemikian sulit untuk beranjak dari lubang yang padahal ia gali sendiri. Memang dari awal juga salahnya, bukan? Begitulah dilemanya setiap hari sampai kemudian ia mencapai suatu titik yang akan diceritakan di bagian keempat ini...
BAGIAN KEEMPAT: EFEK PERISAI
**
Aku menatapi jam dinding di atas papan tulis laboratorium kimia fisika dan anorganik. Waktu telah menunjukkan pukul 16.20, artinya kelompok kami hanya memiliki waktu kurang dari satu jam lagi untuk menyelesaikan praktikum sintesis dan karakterisasi ini. Padahal, kelompok kami baru saja menyelesaikan tahap sintesisnya, perlu beberapa waktu lagi untuk bisa menyelesaikan proses karakterisasinya.
Sambil menunggu antrean uji titik leleh, aku mengamati dedaunan pada pohon-pohon cemara yang menari-nari dengan amat cantiknya di luar jendela sana. Berhubung laboratorium ini terletak di lantai lima, aku bisa dengan amat mudah melihat jalanan, gedung, dan pepohonan dari ketinggian. Rasanya syahdu dan mahal sekali pemandangan ini. Belum lagi dengan audio alami dari kicauan burung yang amat ramai tiap pagi dan senja hari. Menambah kelengkapan berkontemplasi di gedung kampusku ini.
Dalam kontemplasi pendekku, aku membayangkan betapa ajaibnya proses sintesis ini. Bagaimana tidak? Dalam sintesis, kita bisa menciptakan suatu hal baru dari dua atau bahkan lebih hal berbeda. Padahal Tuhan saja kita bukan, tetapi ada secuil ilmu-Nya yang ia titipkan pada kita, sehingga kita bisa menyintesis hal-hal baru untuk keberlangsungan hidup manusia.
Ah, aku juga ingin sekali bisa terus-menerus menyintesis kebaikan. Menciptakan hal-hal baik lainnya. Mewujudkan manfaat untuk semesta raya. Eh tapi, apakah kita bisa menyintesis semua itu seorang diri? Bukankah pada reaksi kimia juga, sintesis itu hanya bisa terjadi jika seminimalnya ada dua zat yang bertemu? Hm... lalu bagaimana jika bersama kamu?
Kamu tahu betul, aku senang akan tantangan.
Rasanya menjaga adrenalin tetap tinggi--harap-harap cemas akan berhasil atau tidak suatu rencana--menciptakan perasaan yang luar biasa menyenangkan.
Kamu tahu betul, aku senang merasa produktif.
Rasanya rebahku makin lelap, payahku malah mewujud esok yang lebih semangat. Ada kebahagiaan tersendiri untuk berada dalam lingkaran ini. Merasa teraktualisasi.
Kamu tahu betul, aku senang akan kolaborasi.
Aku senang melihat binar-binar mimpi pada mata orang lain. Lalu bersama mereka, berusaha mewujudkannya menjadi nyata. Bukankah amat mulia?
Kamu tahu betul, aku senang berproyek kebaikan.
Rasanya tak ada yang perlu ditakuti dari masa depan, selain diri ini jikalau tak terlibat dalam menyintesis peradaban. Ah, dan tentu kamu tahu betul tentang itu.
-----
Maka jika esok-esok kamu bertanya kepadaku,
"Bersediakah kamu berproyek kebaikan seumur hidup bersamaku?"
Barangkali untuk jawabannya pun, kamu sudah lebih dulu tahu.
**
Di kelas radiokimia hari ini, dosen kami memulai pembahasan tentang nuklir. Kami semua telah mengetahui betul apa itu nuklir dan bagaimana manfaat serta tantangan pengelolaannya dalam kehidupan. Namun tetap saja, ketika ditinjau aspek kimianya, ada banyak sekali hal yang baru kami sadari, yang juga membuat kami takjub sendiri. Pak Dosen yang mengajar saat ini cukup apik menyampaikan materi hingga kelas terasa mengalir dengan sendirinya.
"Berbicara tentang nuklir, sebenarnya kita akan berbicara kembali mengenai materi kimia dasar dan struktur kimia di semester 1 dan 2 dulu," bridging dari Pak Dosen. Mendengar itu, keringatku tetiba bercucuran. Hawa-hawanya, Pak Dosen akan meminta kami untuk mengingat kembali materi yang telah lalu. Duh aku khawatir kalau sudah melupakan semuanya. Ah, semoga ada anak kelas yang masih ingat ya. Tuhan, tolong selamatkan...
Lalu seperti yang sudah kuduga, Pak Dosen bertanya, "Nah, tentu anda semua masih ingat, 'kan, dengan efek perisai?"
Eh, istilah apa itu? Kok selama hampir empat tahun belajar kimia, aku masih merasa asing mendengarnya, kecewaku pada diri sendiri. Keringat yang bercucuran di dahiku makin banyak. Semoga posisi dudukku ini aman tak terlihat, pikirku.
"Lho, bagaimana ini tidak ada yang mau menjawab?" cecar Pak Dosen. Nadanya mulai terdengar mengancam. Sepertinya kalau tidak ada yang mengacung sama sekali, kami semua akan kena marahnya beliau.
Untunglah sebelum terjadi perang dunia ketiga, ada seorang perempuan berkerudung ungu di bangku depan yang mengacungkan tangannya, "Saya, Pak!"
Perempuan itu lanjut berkata, "Jadi efek perisai itu istilah lainnya adalah shielding effect, Pak, yaitu efek yang muncul akibat dari adanya proton pada inti dan elektron-elektron pada tiap kulit atom, Pak". Cerdas sekali, pikirku. Ia adalah mahasiswa berprestasi dari jurusan kami. Tampaknya, di saat jantung kami mau copot pada mata kuliah ini, dia selalu bisa menikmatinya seperti tengah menonton opera sabun pada layar televisi.
"Jawaban Anda sudah betul, tapi belum selesai," ujar Pak Dosen. "Jadi apa akibat dari kondisi yang Anda sebutkan tadi?"
"Hm.. boleh saya gambarkan, Pak?"
Dengan restu anggukan dari Pak Dosen, pada detik-detik berikutnya perempuan ini menghabiskan waktunya menggambar skema struktur atom di papan tulis. Di sana ada inti atom yang beranggotakan proton serta beberapa elektron pada kulit pertama dan kedua atom tersebut.
![]() |
Shielding Effect, sumber: Google |
Planet-planet memiliki orbitnya masing-masing. Mereka terus bergerak pada kecepatannya masing-masing. Mereka terus bersisian pada jarak yang aman. Jarak yang takkan membuat salah duanya bertabrakan dan menciptakan ledakan. Jarak yang membuat sistemnya terus berjalan sebagaimana suratan Tuhan.Maka demikianlah aku berdoa, terus dan terus tanpa alfa. Bahwa kita, dengan orbitnya masing-masing, takkan pernah tergelincir meski amat bisa. Pada jarak yang aman, kita mengerjakan apa yang harus dikerjakan. Sebab aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani, sebagaimana mungkin kamu tak ingin membuatku jadi menanti.Pada jarak yang aman, barangkali kita bisa lebih legawa pada apa-apa yang akan menghadang. Sebab kalau memang orbitnya sudah digariskan demikian, kita tidak akan bisa apa-apa, bukan?Maka pada jarak yang aman, mari kita membuat semuanya jadi sekadarya. Tiap hari aku terus berusaha untuk membuatnya demikian, semoga kamu juga.
***
0 komentar:
Posting Komentar