Senin, 30 November 2020

Cerpen: Tempias Hujan Senja Kemarin

senja di Ciwidey

Elok. Satu kata yang dapat mewakilkan keindahan mata itu. Sekilas terpancar cahaya segemilang mentari dari sana. Mata itu, walau tampak kuyu atas perjuangan berdarahnya selama hampir 30 tahun. Tapi kurasa memang semua orang benar tentangnya, tak ada yang dapat mengalahkan kegemilangan matanya.

“Emm… Kia,” manusia dengan mata gemilang itu sontak memanggil namaku.

“Eh.. Ya, ada apa?” aku tergagap, malu telah tertangkap basah sedang memperhatikan mata gemilang manusia di hadapanku.

Manusia bermata gemilang itu menghembuskan nafas pelan. “Kau tahu, aku mungkin tak akan pernah bisa seperti ini tanpamu. Sungguh, Allah Maha Baik mempertemukan kita. Aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu, Kia,” katanya lagi. Sesekali angin yang masuk lewat celah-celah jendela kafe berhembus pelan menyapa wajahnya. Mengayunkan ujung-ujung kerudungnya yang telah basah terlebih dahulu oleh air mata. “Terimakasih, Kia. Kau selalu menjadi teman yang terbaik,” tambahnya lagi diakhiri tawa khasnya. Renyah dan bersahabat.

“Oh.. kumohon Fir, jangan berterimakasih padaku begini. Aku tak melakukan apapun untukmu. Kau sendiri yang membuat dirimu seperti sekarang ini. Rektor muda sebuah universitas ternama negeri, dan oh.. jangan lupa, belasan buku yang kau tulis. Tak ada penjualan yang lebih sukses daripada penjualan bukumu. Belum lagi semua tawaran pekerjaan di luar negeri yang kau tolak mentah-mentah. Oh, Fira… aku tak habis pikir bagaimana kau bisa lebih memilih pekerjaan di negerimu sendiri padahal kau bisa mendapat lebih banyak keuntungan bila bekerja di luar,” ini kali keempat Maghfira berterimakasih kepadaku. Entah harus dengan penjelasan yang bagaimana untuk membuat dia mengerti bahwa aku sama sekali tak berperan dalam kesuksesannya saat ini. Dia memang luar biasa, walau kehebatannya sudah diakui dunia, masih saja saat ini dia berterimakasih padaku.

Maghfira terharu. Kulihat sebutir embun jatuh dari ujung matanya. Dia tersenyum, senyum yang paling indah yang pernah kulihat seumur hidup. Ia langsung menepisnya dengan ujung kerudungnya. Entah sudah berapa kali ujung kerudung itu menjadi penghapus setia airmatanya.

“Kau selalu berlebihan, Kia,” katanya seraya melihat pemandangan di luar kafe. Orang-orang berlalu lalang sembari membawa payung berbagai macam warna. Entah sejak kapan angin sepoi-sepoi itu berubah menjadi rintik-rintik gerimis.

Aku menghembuskan nafas pelan. Antara sebal dan terharu. Lalu dengan tersenyum nakal aku menjawab, “Aku berkata apa adanya, Fira. Pernahkah kau melihat aku menguras seluruh isi tabunganku hanya untuk seorang anak yang tiba-tiba mengetuk pintu flat. Ah, padahal sudah hampir setahun uang itu disisihkan untuk membeli sebuah komputer baru.”

Tawa kami pecah dalam balutan gerimisnya senja. Kami kembali mengingat peristiwa 17 tahun lalu. Saat kami bertemu untuk pertama kalinya di sebuah kos-kosan mungil dekat fakultas. Itulah saat pertama kali aku mengenal manusia bermata gemilang bak mentari. Ya, dialah sahabatku, orang yang berada tepat di depanku kini, Maghfira Nur Zahidah.

*

Hari ini mungkin senja ke 6.575 dalam hidupku. Hari ini umurku telah genap 18 tahun. Hari ini pula aku pertama kali menginjakkan kaki di kota Kembang, Bandung. Dengan setengah ragu-ragu aku mengetuk pintu kamar kos-kosan. Kata Teteh pemilik kos-kosan yang menyambutku tadi, aku akan sekamar dengan dua gadis lainnya. Katanya lagi, salah satu dari mereka mengambil jurusan yang sama denganku. Ah, semoga saja aku bisa cepat berbaur dengan mereka.

Tok.. tok… tok… Pintu kuketuk tiga kali. Tak lama sesosok gadis berjilbab lebar tersenyum membukakan pintu. Tanpa basa-basi dia menyapa ku ramah, “Assalamu’alaikum saudariku. Selamat datang di kos-kosan mungil kami. Namaku Fira. Oh iya, kita akan sekamar juga dengan Dienna, tapi dia sedang mandi. Kalau aku tidak salah, namamu Saskia kan?”

“Eh… wa’alaikum salam. Iya aku Saskia. Kau Fira? Salam kenal,” jawabku patah-patah. Masih salah tingkah dengan sambutan yang tak diduga ini.

“Mari masuk. Kau akan masuk fakultas teknik kimia kan? Kurasa kita akan banyak menghabiskan waktu bersama,” katanya seraya tersenyum manis.

Ternyata gadis ramah inilah yang akan menjadi teman sejurusanku. Dia menceritakan banyak hal. Mulai dari tentang mata kuliah, kawan-kawan sefakultas, dosen-dosen yang killer, dan bahkan sampai makanan-makanan paling enak di kantin fakultas. Belakangan aku tahu kalau dia sedikit terlambat masuk universitas dikarenakan tidak ada biaya. Untung saja dia mendapat beasiswa penuh dari sebuah lembaga swasta di kotanya. Dia juga bercerita tentang hobinya menulis. Aku hanya tersenyum mendengarkan sembari beberapa kali tersenyum. Dan ketika Dienna bergabung, obrolan kami semakin seru saja. Terasa sekali hawa bersahabat di sana. Rasanya tak sulit bagiku untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku.

“Permisi…. “ sebuah suara sendu datang dari arah pintu yang memang dibiarkan terbuka. Sesosok anak kecil berwajah kuyu dan berpakaian lusuh menatap hampa. Pelan dia menjulurkan tangannya. Lalu bernyanyi lagu yang tak kalah miris dengan keadaannya. Kami hanya saling bertatapan. Antara iba dan sebal dengan sikap anak itu yang tiba-tiba muncul di hadapan kami.

“Kak.. Aku sudah lama ditinggal pergi ayah. Secuil nasi kan membuatku bisa bertahan hidup lebih lama. Kak.. Bantulah aku, semoga Allah membalas perbuatan baik kakak…” katanya datar. Meski begitu, kami semua terharu dibuatnya.

Tanpa aku sadari Fira sudah mengambil dompetnya. Dua lembar uang Rp.100.000,- keluar sekaligus dari sana. Tanpa basa-basi dia memberikannya kepada si anak yatim seraya tersenyum tulus.

“Dik… pergunakan uang ini baik-baik ya,” katanya lembut setelah berkali-kali sang anak yatim mengucapkan terima kasih.

Aku dan Dienna hanya melongo. Tak menyangka Maghfira akan sedemikian dermawannya kepada seorang anak yang tak kami kenal. Mungkin akan ada beberapa orang yang berpendapat Fira adalah orang yang lugu, mudah tersentuh, atau malah orang yang mudah dimanipulasi karena tindakannya hari itu. Meskipun begitu, di saat yang sama, aku akhirnya tahu, Maghfira bukan gadis manja seperti kebanyakan remaja lainnya. Dia adalah gadis sekokoh baja dengan hati selembut sutra. Dia adalah manusia bermata gemilang bak mentari.

Walau sudah hampir 2 tahun selalu menjadi teman yang berada di sisi Maghfira. Aku tak pernah tahu kalau sebenarnya dia sangat kekurangan. Bagaimana aku bisa tahu? Dia tak pernah mengeluhkan segala kekurangannya, menunjukkan pun tak pernah. Dia selalu dengan cerdas menutupi segala kebutuhannya. Itulah yang menjelaskan kemana saja dia menghabiskan waktu sisa kuliahnya. Ya, dia sedang mengais rezeki.

Aku baru mengetahuinya saat dia dipanggil Teteh pemilik kos-kosan. Ternyata dia sudah 7 bulan menunggak biaya kos-kosan. Sontak aku tak percaya mendengarnya. Kos-kosan ini cenderung mempunyai harga paling murah di antara kos-kosan terdekat lainnya. Tetapi Maghfira sampai harus menunggak 7 bulan? Ada apa sebenarnya? Mengapa aku tak tahu bahwa sahabatku sangat kekurangan? Ketika aku menawarkan bantuan kepadanya, dia hanya menolak seraya tersenyum tipis. Dia berkata, bahwa sebentar lagi dia akan mendapat gaji dari restoran cepat saji tempat dia bekerja paruh waktu. Dia bahkan berkata kalau dia masih bisa menjual komputer yang baru saja dia beli seminggu lalu. Ya Allah, padahal komputer itu ia beli dengan hasil jerih payahnya bekerja selama satu setengah tahun. Walau komputer second tetapi setidaknya setiap usahanya tergurat indah di sana.

Aku menjadi sebal dengan keputusannya menyerahkan uang itu. Apalagi setelah tetangga sebelah memberitahuku bahwa predikat ‘yatim’ hanyalah kedok anak itu. Sebenarnya bapaknya lah yang menyuruhnya berakting sedemikian rupa agar mendapat belas kasihan orang lain. Tetapi ketika aku menceritakan hal itu kepada Fira, dia hanya tersenyum tulus kepadaku.

“Kau tak tahu, Kia. Semua ini bukan masalah apakah sedekah itu tersampaikan kepada orang yang benar atau bukan. Akan tetapi semua ini masalah apakah sedekah itu tersampaikan dengan niat yang benar atau bukan. Semoga niatku tulus, Kia. Kuharap kau mengerti maksudku,” katanya waktu itu dengan mata yang sungguh bersinar.

Maghfira Nur Zahidah, ternyata saat itu aku baru saja mengetahui separuh nestapanya. Dia sungguh di luar bayanganku. Aku tak pernah mengerti mengapa bisa ada makhluk setulus, sebaik, dan seikhlas dirinya. Saat itu hari kelulusannya. Mungkin dia adalah orang yang paling terlambat masuk kuliah, tetapi dia adalah orang yang paling cepat menyelesaikan studinya. Dalam tiga tahun dia sudah bisa menjadi sarjana. Aku bahkan tak tahu ia secerdas itu. Bahkan sebelum sidang akhirnya, sudah banyak tawaran pekerjaan dari luar negeri menghampirinya. Dan dia, seperti biasa, lebih memilih bekerja dan berbakti di negerinya sendiri.

Hari itu, hari kelulusannya. Entah sejak kapan dia menghilang dari kerumunan sarjana-sarjana berpakaian toga. Ketika namanya dipanggil sebagai lulusan terbaik pun dia seperti lenyap tak berbekas. Akhirnya prosesi wisuda tersebut berlangsung tanpa kehadirannya. Kemana dirimu, wahai Maghfira?

Belakangan aku tahu kalau Maghfira sedang ada kepentingan mendadak di kampung halamannya. Dia mengubungiku. Mengatakan bahwa mungkin dia akan lama tinggal di sana. Ibunya meninggal, itu katanya di akhir percakapan. Dengan terisak aku mengatakan bahwa aku akan segera manyusulnya ke Malang. Ke kampung halamannya. Dia menolaknya, mengatakan bahwa aku harus terus belajar di Kota Kembang ini.

Dia tak pernah tahu, bahwa setelah dia memutuskan telepon denganku, aku langsung memesan penerbangan pertama ke Malang. Berbekal alamat seadanya yang kutemukan di antara buku-buku kuliahnya, aku terbang ke Malang.

Alamat itu membawaku ke sebuah kampung, sebuah pemukiman kumuh di sudut Kota Malang. Sesekali aku mecegat pejalan kaki yang lewat. Bertanya apakah mereka tahu dimana rumah Maghfira dan keluarganya. Lima orang pejalan kaki yang kutanyai, hanya menggelengkan kepala tidak tahu. Sampai kepada pejalan kaki keenam yang kutanyai, seorang wanita paruh baya, dia mengangguk pelan, mengantarkanku ke sebuah gubuk kecil yang nyaris terpencil. Aku terperangah tidak percaya. Aku kembali bertanya kepada wanita paruh baya itu apakah ini benar-benar rumah dari Maghfira yang kumaksud.

“Nak, di daerah ini. Hanya satu orang yang kami kenal bernama Maghfira. Tetapi memang, kebanyakan orang tak mengenalnya sebagai Maghfira, kami mengenalnya sebagai manusia bermata gemilang. Dia malaikat kami, Nak. Karenanya, kebanyakan dari kami bisa bertahan hidup lebih lama. Kau akan mengetahuinya nanti, Nak,” katanya sambil berlalu meninggalkanku. Ya Allah, saat aku mendengar kalimat-kalimat itu meluncur dari mulut wanita paruh baya tadi, aku benar-benar bingung. Manusia bermata gemilang? Malaikat kami? Benarkah itu Maghfira?

Aku dengan sedikit ragu-ragu berjalan ke arah gubuk itu. Tidak ada pintu di sana. Jendela pun tak ada. Maka dengan pelan aku mengucapkan salam. Dua kali tak di jawab, salam ketiga kuucapkan lebih lantang.

“Masya Allah…. Itukah kau Saskia?!” sebuah suara datang dari belakangku. Suara yang tak asing. Ketika aku membalikkan badan ternyata memang benar dia adalah Maghfira. Tersenyum manis meski peluh bercucuran dari wajahnya. Penampilannya sungguh jauh dari yang biasa ku lihat selama ini. Dia, walau masih dengan jilbab lebar dan gamis panjangnya, sedang membawa dua ikat kayu bakar di pundaknya. Aku tergagap melihatnya. Tak lama ia menghampiriku, tersenyum lagi. Lalu mengajakku masuk ke gubuk kecil yang ternyata memang rumahnya. Mempersilakan aku duduk di tikar seadanya. Lalu menyuguhiku air putih.

“Aku sudah mengatakan bahwa kau tak perlu datang. Oh Kia, kau keras kepala sekali,” katanya dengan intonasi serius meski masih tampak bersahabat.

“Aku… eh…” saat itu aku benar-benar tak tahu harus berkata apa.

“Sudahlah, minum dulu. Kau pasti lelah jauh-jauh dari Bandung ke sini. Maaf ya, hanya minuman itu yang ku punya. Oh iya, sebentar lagi adik-adikku pulang. Kau tahu kan, yang sering ku ceritakan waktu dulu. Nia dan Beta. Kau akan melihat betapa menyebalkannya mereka, hahaha…” Fira tertawa renyah, seakan-akan dia tidak sedang mengalami perjuangan hidup yang sungguh pahit ini. Aku benar-benar bingung dengan tingkahnya.

Suasana kembali hening. Aku terus memerhatikan setiap senti tubuh manusia di hadapanku. Gamisnya terlihat kotor seperti sudah seminggu tak pernah diganti. Kerudungnya pun begitu. Mungkin hanya matanya yang gemilanglah yang membuat dia terlihat begitu menyenangkan.

“Kia mengapa kau diam saja? Ayo diminum. Satu lagi, Kia. Aku khawatir kau tidak dapat tinggal di sini. Kau tahulah kondisinya tidak memadai. Aku akan mencarikanmu losmen terdekat. Oh iya kemarin Mbak Dede menawarkan sebuah kamar murah padaku. Mungkin itu cocok untukmu,  bagaimana?”

Aku hanya mengangguk pelan. Lalu menyeruput air putih yang disuguhkannya padaku. Akhirnya percakapan itu benar-benar menjadi percakapan satu arah. Aku lebih banyak mendengarkan segala penuturannya. Sungguh, dia sama sekali tidak terlihat menderita dengan kondisinya saat ini.

Hari beranjak sore dan aku memutuskan untuk segera pergi ke rumah seseorang yang Fira panggil Mbak Dede. Maghfira sukarela mengantarkan. Mbak Dede menyambutku (tepatnya menyambut Maghfira) dengan gembira. Dia mengajak kami mengobrol berbagai macam hal. Tetapi tak lama kemudia Maghfira izin untuk pulang, dia harus memasak di rumah. Lagipula hari mulai mendung, dia tidak mau mengambil risiko pulang kehujanan.

Selepas Maghfira pergi. Entah mengapa Mbak Dede terisak. Aku berusaha menenangkannya. Bertanya dalam hati, ada apa?

Mbak Dede menarik nafas panjang seraya mengelap kedua matanya. Dia berkata, “­­­Nduk, ­saya akan menceritakan kepada mu, sebuah rahasia kecil. Sudikah kau mendengarnya?” Tanpa menunggu jawabanku Mbak Dede meneruskan kata-katanya. Sementara di luar sana hujan mulai membasahi kota Malang.

Nduk, kau beruntung sekali dapat mengenal dia,” Mbak Dede masih sesegukan, patah-patah menceritakan ‘dia’. Siapa? Apakah Fira maksud beliau?

“Maghfira Nur Zahidah, dia adalah malaikat kampung kami dengan kehidupannya yang sungguh kelewat sederhana. Saya tahu banyak hal tentang dirinya, Nduk.. Penduduk kampung yang lain juga begitu. Sejak ditinggal pergi ayahnya 15 tahun lalu. Ibunya susah payah menghidupinya. Tapi Fira sangat mandiri Nduk, dia sempat berhenti sekolah demi membantu ibunya, meski ibunya melarang. Akhirnya ibunya meminta saya untuk mencari beasiswa untuk Fira. Supaya Maghfira yang terkenal selalu juara kelas itu dapat melanjutkan studinya. Jika bukan karena dipaksa ibunya, mungkin Fira sampai sekarang akan terus di sini. Menjadi tulang punggung keluarganya,”

“Kami penduduk kampung ini sangat miskin, Nduk. Seringkali dalam seminggu kami tak bisa makan meski hanya sesendok nasi basi. Tetapi Fira sungguh lebih dari dermawan. Sering kali dia mengulurkan tangan memberikan bantuan untuk memulihkan kondisi ekonomi kami, Nduk. Tanpa dia memperhatikan kondisi ekonominya sendiri. Maka dari sanalah kami semua mengenalnya, bukan sebagai Maghfira, tetapi sebagai manusia bemata gemilang yang sungguh dermawan, kami mengenalnya sebagai malaikat kami,”

“Lalu beberapa hari yang lalu ibunya meninggal dunia. Dia datang kembali ke sini. Saya salah memberitahunya kalau ibunya meninggal, Nduk. Dia tidak ingin kembali ke Bandung lagi. Dia ingin menghidupi adik-adiknya sendiri di sini. Ah, padahal bisa saja saya membantunya, Nduk. Seandainya saja Fira tidak selalu menolak. Bahkan sebenarnya saya menawarkan sewa kamar murah ini hanya supaya dia tidak tidur di gubuk yang kelewat tidak layak huni itu. Saya sudah terlanjur senang dia bertandang ke sini tadi, saya pikir dia menerima tawaran saya. Tetapi ternyata dia memang terlalu sederhana, Nduk. Apalagi yang harus saya lakukan untuk membantunya?” panjang lebar Mbak Dede bercerita. Sesekali air mata bening jatuh dari sudut matanya. Aku hanya bisu tak tahu harus bagaimana. Akhirnya aku memutuskan untuk turut tenggelam bersama tangisan ­Mbak Dede. Kami berangkulan. Menangis diiringi hujan yang semakin deras di luar sana.

Malam itu. Tangisku pecah untuk kesekian kalinya. Tetapi kali ini bukan karena meratapi nasibku atau mengutuk masalah-masalah kehidupanku. Kali ini aku menangis, karena begitu iri dengan dia, manusia yang dititipi mata segemilang mentari. Kali ini aku menangis, karena begitu memahami bahwa dia jauh dari beruntung, tetapi dengan mata menyenangkan itu dia terus menepis ketidakberuntungannya. Dia adalah manusia yang luar biasa.

*

Daun kamboja berguguran. Pelan jatuh ke tanah. Tangisku sejak prosesi awal pemakaman ini belum dapat berhenti-henti. Entah mengapa. Padahal dia berpesan kepadaku untuk tak menangisi saat ini. Tetapi justru ketika aku mengingat pesannya, tangisku semakin deras.

Dua orang gadis terus saja memeluk nisan itu. Aku menjadi terenyuh melihatnya. Bagaimana nasib mereka setelah ini? Apakah Mbak Dede dapat merawat mereka berdua? Atau mungkin aku dapat membawa mereka ke rumahku. Papa Mama mungkin tak keberatan aku menjadi kakak asuh adik sahabatku sendiri. Bukankah Nia dan Beta adalah anak-anak yang santun juga cerdas, sama seperti kakak mereka.

Awan hitam berarak-arak di langit. Angin pun berhembus lebih kencang. Rerumputan bergoyangan seperti turut syahdu dalam pemakaman hari ini. Hujan mau turun lagi.

“Nia… Beta… ayo pulang Nduk, sudah mau hujan,” Mbak Dede menegur dua gadis itu. Meski tampak tegar, tak dapat dipungkiri bahwa mata Mbak Dede terlihat sangat berkantung. Pasca menangis deras.

Sementara itu dua gadis kecil yang ditegur tadi tak menghiraukan. Masih sesegukan memeluk nisan kakak mereka. Nisan yang di sana terukir indah sebuah nama : Maghfira Nur Zahidah.

Ternyata, pertemuan kami di kafe itu adalah saat terakhirku dapat mengobrol dengan Fira. Esoknya, aku mendengar kabar menggemparkan bahwa dia sudah meninggal. Tanpa aku sadari, dia sudah lama memendam penyakitnya. Dokter sudah memvonisnya mempunyai kanker paru-paru sejak empat tahun terakhir. Dan belakangan kondisinya semakin parah. Stadium empat. Menurut dokter umurnya tak akan sampai seminggu lagi.

Ya Allah, itulah mengapa dia berkali-kali mengucapkan terima kasih kepadaku saat itu. Itulah mengapa dia yang jarang menangis itu berkali-kali menitikkan air mata di hadapanku. Dia sudah tahu kalau umurnya sebentar lagi habis.

Aku teringat kata-kata terakhirnya sebelum pamit kepadaku di kafe kemarin, “Kia, entah bagaimana caranya membuatmu mengerti bahwa aku sungguh beruntung bisa bertemu denganmu. Kau ingat, saat ada anak kecil yang mengamen di kos-kosan kita itu? Aku tak pernah menyesal memberikan seluruh tabunganku untuknya. Aku mendapatkan kenikmatan yang bekali-kali lipat sekarang. Karena Allah memang Maha Menepati Janji-Nya. Sedekahku beranak-pinak sekarang, Kia,”

“Kau harus tahu, bahwa yang membuatku ingin melakukannya saat itu adalah dirimu. Sejak pertama kali aku melihatmu, wajahmu mengingatkanku kepada wajah seseorang dalam mimpiku. Kau tahu, Kia. Orang itu menunjukkan kepadaku sebuah air terjun yang sangat indah. Di dalamnya terdapat ikan-ikan bercahaya yang berenang dan berlompat-lompatan. Kata orang itu, kalau aku mau mendapatkan ikan bercahaya itu, aku harus merelakan seluruh hartaku sebagai umpannya. Jika aku melakukannya dengan ikhlas, aku akan mendapatkan keduanya. Jika aku tidak ikhlas, aku akan kehilangan keduanya. Ya, ikan bercahaya dan harta itu. Kini aku mendapatkan keduanya.”

“Oh iya, Kia. Suatu saat nanti, ketika tiba saatnya aku pergi. Jangan pernah tangisi aku, Kia. Aku sungguh sangat bahagia. Maka tersenyumlah untukku. Selamat sore, Kia. Sudah waktunya aku pulang. Wassalamu’alaikum,” katanya waktu itu sambil membuka payung lebar-lebar. Dia bergegas pergi meninggalkan ku. Sama sekali tak memberi ku kesempatan untuk menjawab kata-katanya.

Aku hanya dapat menggigit bibir, mencerna apa yang dia katakan.

Sebenarnya Fira. Bukan aku orang yang ada dalam mimpimu. Sungguh, justru terbalik, Fir. Sebenarnya dirimu lah yang mengajarkan kepadaku hakikat lain dari kehidupan. Karena sedekah mu waktu itu, aku banyak belajar. Aku ingin melakukan hal yang sama sepertimu. Aku ingin sepenuhnya ‘berbisnis dengan Allah’, bisnis terbaik yang pernah kau ajarkan kepadaku” Itulah kata-kata yang tertahan di mulutku saat kau berlalu pergi meninggalkanku di kafe. Saat itu angin sepoi-sepoi masih lembut mengayun ujung kerudungmu. Aku melihat belakang punggungmu yang semakin kecil di balik jendela kafe. Saat itu aku bahkan baru tersadar kalau tempias hujan yang mengalir di jendela kafe turut mendo’akan kepergianmu.

Maghfira Nur Zahidah, selamat jalan wahai manusia luar biasa. Manusia yang paling dermawan yang pernah aku kenal. Selamat jalan wahai manusia bermata gemilang, aku punya berita hebat untukmu : tempias hujan pada senja di kafe waktu itu bahkan turut mendo’akanmu.

***

Halo teman-teman, terima kasih karena telah sudi mampir di blog ini meski suguhan masih ala kadarnya.

Ini cerita lama yang saya temukan di laptop yang sudah lama tidak saya bongkar juga. Cerita pendek yang ternyata saya tulis pada akhir tahun 2012, saat duduk di bangku kelas 3 SMP.

Alhamdulillah, benarlah, ada banyak sekali pelajaran dan ingatan yang bisa dipetik dari kisah, apalagi tulisan lama. Semoga selalu Ia jaga...

0 komentar:

Posting Komentar