Minggu, 06 Februari 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 2)

  Akhirnya semua sepakat. Pergilah kita mencari tempat perlindungan yang lain. Aah... aku tak ingin melepaskan guaku itu. Andai kita bisa melakukan perlawanan. Tapi aku ini takut mati. Aduuh... mana ada pejuang takut mati.
  Akhirnya dengan berat hati aku melangkah meninggalkan gua itu. Ternyata memang tidak mungkin melawan penjajah-penjajah itu yang jumlahnya tiga kali lipat lebih banyak daripada kami, itulah yang aku dengar dari seorang teman.
  Aku bernostalgia, sewaktu kecil dulu, begitu bahagianya. Meskipun sehari-hari hanya menjadi budak, diperbudak para penjajah. Disuruh memecahkan batu, meratakan tanah, mangangkat batu-batu besar di pundak,dan pekerjaan lainnya yang tidak pantas untuk anak sekecil aku waktu itu. Sakit rasanya jika membayangkan generasi mendatang akan selalu mengalami apa yang aku alami dulu. Bagaimanapun tidak sudi aku membiarkan bangsa ini selalu merana. Kembali terngiang di kepalaku, kata-kata bapak tadi pagi dalam mimpiku, “Fattah, kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan bapak...” Degg.. Aduh Pak, maafkan Fattah, Fattah ini masih takut Pak, maafkan Fattah belum bisa memenuhi harapan Bapak. Terbayang wajah Bapak sedang sedih saat ini, melihat putranya menjadi seorang pejuang penakut. Duh, mirisnya hati ini.
  “Fat, kenapa kau ini?” Tanya Dilan, dia sungguh mengetahui bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
  “Nggak apa-apa Dil, aku cuma gak enak kita ninggalin gua itu, rasanya selama ini itulah tempat terbaik yang pernah aku temui,” Jawabku sambil tersenyum kecut.
  “Iya, aku masih berpikir seharusnya kita melakukan perlawanan. Yah, mungkin saja kan kita berhasil. Kakekku pernah bercerita tentang pasukan Islam yang selalu menang perang walaupun lawannnya sungguh lebih banyak berkali lipat,” Kata Dilan, perkataannya mengandung banyak harapan. Tapi ada benarnya, Mbah Harun, seorang yang dituakan pun suka bercerita begitu kepada Fattah sewaktu umurnya masih bisa dihitung jari. Kata Beliau, ia ingin suatu saat nanti bangsa ini bisa terbebas dari penjajahan dengan semangat itu.
  Aku dan Dilan sama-sama terdiam, sama-sama terbawa pikran dan harapan masing-masing. Sesekali aku perhatikan Dilan ingin menyatakan sesuatu, tetapi akhirnya ia hanya diam saja menutup mulutnya rapat-rapat. Dilan, teman sepermainanku sejak kecil, dia begitu tegarnya dan sangat berani, sangat berbeda denganku. Pernah ia melindungiku dari tembakan seorang penjajah, untungnya tembakan itu hanya membuat tangan kanannya luka ringan, ya, tembakan itu meleset walaupun tetap mengenai tubuhnya. Sejak saat itu aku menaruh simpati kepadanya. Aku ingin membalas budinya suatu saat nanti. Semoga.
  “Dil...” Kataku ingin memecah kesunyian.
  “Ya...?” Jawabnya tetap melihat ke arah bawah.
  “Terimakasih ya, atas persahabatan ini,”
  “Sama-sama,” Dilan menoleh kepadaku, senyum terukir diwajahnya demi mengetahui bahwa sahabatnya telah mengucapkan terimakasih.
  “Dil...” Kataku sambil menoleh ke arah belakang.
  “Ada apa?” Tanyanya sambil menoleh ke belakang pula.
  “Emh, apakah menurutmu kita seharusnya melakukan perlawanan?” Tanyaku terbata-bata.
  “Aku tidak tau, kalaupun begitu, aku tidak tau bagaimana caranya membuat yang lain setuju,” Dilan menunduk. Aku hanya memasang mimik biasa saja, sebelumnya aku sudah menebak akan ada jawaban seperti ini.
  Kami terus pergi ke arah utara, entah kemana, sesekali kami istirahat, memakan makanan yang seratus persen langsung dari alam. Hingga senja datang kami belum menemukan tempat berteduh yang sekiranya aman untuk kami. Padahal kami sudah sangat kelelahan. Adalah suatu berkah tersendiri bahwa kami selalu mendapat komsumsi yang tercukupi.
  Magrib pun tiba, tak ada adzan, tak ada jam, tak ada apapun untuk mengetahui bahwa magrib telah datang selain keahlian kami dalam mengetahui waktu berdasarkan matahari. Ketika langit sudah kepink-pink-an, kami mencari sumber mata air. Setelah itu kami bergantian secara berkelompok untuk shalat berjama’ah di sebuah tanah lapang tapi terhindar dari penglihatan. Setelah shalat kami memutuskan untuk menginap semalam di tanah lapang itu karena hari sudah gelap, kami akan sangat susah mencari tempat berteduh yang lainnya.
  Dan semuanya pun tertidur.

0 komentar:

Posting Komentar