Minggu, 23 Januari 2011

SAAT AIR MATA KEBERANIAN ITU MUNCUL (bag. 1)

   “Fat, bangun... Subuh dulu...!”. “Iyaya... sebentar lagi...Dil...”. Elakku masih menutup mata, ingin kembali pada mimpi. Mimpiku memang indah saat itu, aku bermimpi bertemu kembali dengan orangtuaku. Derai tangis tak kuasa kutahan ketika menyalimi mereka. Bapakku berkata, Fattah, itulah namaku- kamu adalah anak semata wayang bapak, jadilah pejuang yang pantang menyerah ya, Nak... itu harapan bapak...
  “Fat... Subuh...!!!”. Seru Dilan lebih tegas. Aku tersentak kaget dan mimpi itu pun buyar. Dengan jengkel aku berjalan ke semacam sumber mata air yang tak jauh dari gubuk kecil tempat aku dan banyak tentara lain berteduh. Di gua itu memang kita semua harus tidur bergantian, tetapi, walaupun kita tidur bergantian, kita masih harus saling tindih-menindih.
  Aku berjalan menuju mata air dengan mata masih kunang-kunang. Sebenarnya tak jelas dimana letak mata air tersebut bila dilihat dengan mata yang seperti ini. Tapi, mengingat ini adalah rutinitas yang kulakukan hampir separo umurku, membuat aku mengenal jalan ini seperti aku mengenal telapak tanganku sendiri.
  Byuur.... air wudlu selalu terasa sejuk mengaliri kepalaku, apalagi kalau ada hembusan angin, wah.... sejuknya.... Kalau aku disuruh memberikan ungkapan tentang hal itu, aku akan mengatakan ‘seakan dipancurkan air dari negeri khayangan’. Aku jadi kepikiran, kenapa aku jadi jengkel sama Dilan, kalau Dilan enggak ngebangunin aku, aku kan jadi lama menikmati sejuknya air wudlu.Ya, memang, wudlu pagi-pagi selalu menjadi rutinitas favoritku dari kecil. Aku jadi ingat ketika keluargaku diperkenalkan dengan Islam oleh tetanggaku. Saat itu umurku 5 tahun.Orangtuaku sangat takjub dengan Islam. Akhirnya, orangtuaku mengucapkan 2 kalimat syahadat. Aku juga disuruh mengucapkannya dengan dituntun tetanggaku itu, tapi waktu itu aku gak ngerti kenapa harus ngomong gitu, hehehehe..... Yang jelas, ketika wudlu rasanya sejuk.... sekali, sampai-sampai aku ngerasa airnya masuk ke relung-relung hatiku.
   
 Selesai sholat shubuh, aku dan tentara-tentara yang lainnya asik mendengarkan pidato Bung Tomo di radio. Pidato beliau selalu memberikan kami gairah sebelum berperang. Beliau merupakan tokoh idolaku. Disaat tanah air sedang terhimpit, Bung Tomo terus memberikan kobaran semangat yang tiada habisnya. Aku juga ingin membangkitkan kembali semangat puluhan pejuang seperti beliau.
  “Duuar...” Semua terkaget, rupanya di pagi hari begini sudah ada bom diluncurkan. Entah karena apa. Ada beberapa temanku yang pergi ke arah suara ledakan hendak menolong teman yang mungkin terluka disana. “Duar...” Bom kembali diluncurkan. Aku semakin khawatir. Aku ingin pergi kesana, tapi aneh, ada rasa takut menghantuiku. Aku takut mati.
  “Sebaiknya kita pergi dari sini. Orang-orang Belanda itu tampaknya ke arah sini,” Seru Rayhan, orang yang tadi pergi ke arah suara bom.
  “Apakah tidak sebaiknya kita melakukan penyerangan?” Tanya Dilan tegas.
  “Tampaknya jumlah mereka sangatlah besar dan mereka mempunyai peralatan canggih,” Jawab Sholeh yang juga tadi pergi ke arah suara bom.
  Akhirnya semua sepakat. Pergilah kita mencari tempat perlindungan yang lain. Aah... aku tak ingin melepaskan guaku itu. Andai kita bisa melakukan perlawanan. Tapi aku ini takut mati. Aduuh... mana ada pejuang takut mati.

1 komentar:

  1. cerpen-nya keren.. penasaran dengan kelanjutannya, lanjoottttt mBa Fia..
    "T O P B G T"
    (aurik)

    BalasHapus