Kamis, 06 Oktober 2016

Bicara Prinsip

hidup setia merinai
tentang semai yang meninggalkan petuah permai
"Yakinkah mengikuti yang salah meski ramai?"

hidup melerai,
"Jangan menduakan prinsip, jangan pasif!"
kasihani hati yang tangisannya menyungai
bisa mati terhujam derai
bercerai
berai

Langit Jayagiri. Ia kokoh karena Dia menjadikan padanya ketetapan. Langit berpegang pada prinsipnya,
sampai saatnya dimandatkan untuk runtuh di akhir zaman.

Hidup bukan wahana statis. Meski dipertahankan diam dalam zona aman, akan selalu ada kondisi yang mengharuskan perubahan. Hidup senantiasa berubah, apakah kita juga perlu berubah?

Ada Prinsip yang Menyertai Tujuan
Syahdan, ketika kaum Muhajirin baru saja tiba di Yatsrib, langit sudah dipenuhi dengan sorak-sorai dan gegap-gempita kaum Anshar. Yatsrib, yang kemudian dikenal sebagai Kota Madinah, menjadi tempat hijrah yang amat baik. Sebab padanya didapatkan kedamaian dan kenikmatan ukhuwah yang dilimpahkan tiada redam oleh penduduk asli Yatsrib pada kaum Muhajirin.

Tidak terkecuali Abdurrahman bin 'Auf, sosok yang nantinya terkenal akan kedermawanannya ini, dulu hijrah ke Yatsrib dengan alpa tak berpunya. Namun manisnya ukhuwah dibuktikan dengan kehadiran Sa'ad bin ar-Rabi' yang tanpa ragu-ragu menawarkan segala kebutuhan untuk Abdurrahman.


"Akhi fillah," ujar Sa'ad, "aku memiliki dua buah kebun yang luas. Di antara kedunya, pilihlah yang kau suka dan ambillah untukmu. Aku juga memiliki dua rumah yang nyaman, pilihlah yang kau suka dan tinggallah di sana. Aku juga memiliki dua orang istri yang rupawan. Lihatlah dan pilihlah satu di antaranya, pasti akan kuceraikan dan kunikahkan denganmu." Semudah itu bagi Sa'ad untuk memberikan miliknya atas nama ukhuwah.

Namun, Abdurrahman tak lantas mengiyakan. Abdurrahman bin 'Auf tersenyum dan berkata, "Terima kasih atas segala kebaikanmu, Akhi. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan. Namun sebaiknya, tunjukkan saja padaku jalan  menuju pasar."

Sa'ad menyadari kalau Abdurrahman bin 'Auf telah menepis tawarannya. Namun Sa'ad bersikeras untuk membantu saudaranya dari negeri Makkah itu. "Tetapi setidaknya menikahlah," ujar Sa'ad bersikeras.

"Insya Allah, dalam sebulan ini aku akan menikah." Jawaban Abdurrahman bin 'Auf membuat Sa'ad tersentak, Bagaimana tidak? Saat itu Abdurrahman tidak punya apa-apa.  Akan sangat sulit memulai kehidupan baru tanpa seorang pun yang ia kenal di Yatsrib. Bukankah akan lebih mudah jika Abdurrahman menerima tawaran Sa'ad dan memulai bisnisnya sendiri dari modal yang diberikan Sa'ad? Dengan begitu pula Abdurrahman akan mampu menunaikan rencananya menikah di bulan berikutnya. Namun ternyata, ada hal yang lebih besar yang sedang Abdurrahman maknai.

*

Jika tujuan hanya dimaknai sebagai akhir pencapaian, esensi dari proses meraihnya akan hilang. Malah, bobot dari tujuan tersebut akan berkurang drastis. Sederhananya dalam kehidupan sehari-hari, tujuan sebagai mahasiswa adalah kuliah. Mungkin kita sudah kuliah lima hari per minggu, berlelah-lelah mengerjakan tugas yang setia menunggu, tetapi bila hal tersebut tidak didasari pemaknaan, apa yang akan tersisa untuk kita? Apakah kita malah hanya memaknai tujuan sebagai rutinitas? Padahal ada pemaknaan seperti "belajar untuk ibadah", "dahulukan ilmu sebelum nilai", "ilmu untuk beramal", "kejujuran tidak bisa dibeli", dan lain sebagainya.

Dari sanalah prinsip menjadi penting. Prinsip adalah batas yang akan kita pegang dalam menggapai tujuan. Prinsip adalah dasar yang kita lakukan dalam membuat perencanaan. Semua itu agar hidup tidak sekadar hidup, kerja tidak sekadar kerja, dan sibuk tidak sekadar sibuk :)

Jika Abdurrahman bin 'Auf memaknai tujuan "menikah" hanya sebatas akhir pencapaian, ia akan dengan mudah mengiyakan tawaran Sa'ad. Toh dengan begitu tujuannya akan tercapai. Namun, Abdurrahman memiliki pemaknaan yang ia pegang kuat-kuat. Baginya, tujuan itu harus diraih dengan caranya sendiri. Itulah prinsip.

Cerita berlanjut, Abdurrahman bin 'Auf sampai di pasar dan menjadi kuli di hari pertamanya di Yatsrib. Esoknya dia menjadi makelar. Lusanya dia sudah ikut berdagang dan kemudian terkenal sebagai pedagang paling jujur se-Madinah. Bahkan, ia berhasil membasmi kungkungan hegemoni riba ala Yahudi.

Dalam sebulan, Abdurrahman bin 'Auf datang ke Rasulullah dan menyatakan bahwa dirinya telah menikah. Tidak tanggung-tanggung, maharnya adalah emas sebesar biji kurma. Demikianlah Abdurrahman bin 'Auf berhasil mencapai tujuan dengan prinsip-prinsip yang mendasari keputusan dan rencananya. Demikianlah Allah memudahkan urusan hamba-hambanya yang berikhtiar dengan batas-batas yang jelas.


Hidup Mengalir?
Hidup menuntut perubahan. Utamanya dalam perjalanan, tidak pernah ada perjalanan yang diam. Tidak pernah bisa ditolak suatu perubahan. Oleh karena itu, terkadang kita yang menyesuaikan. Namun apakah semua hal harus disesuaikan?

Hidup amat dinamis. Orang lain bilang, "biarkan hidup mengalir." Apakah memang boleh sesederhana itu? Air yang tidak bergerak memang akan menjadi keruh. Namun bukankah sejatinya air yang mengalir hanya akan ke tempat yang lebih rendah? Lalu bagaimana solusinya?

 "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)" (QS. Al-An'am : 116)

Hiduplah dengan prinsip! Sebab kalau kita hidup tanpa prinsip, kita tidak akan pernah siap pada keadaan fluktuatif. Jadi kebalikannya, prinsip lah yang justru akan membuat kita bertahan di kedinamisan hidup. Prinsiplah yang akan menjadi arus kita sendiri, melawan aliran air, menerobos limit, sebab sejatinya asa hanya bisa diwujudkan dengan keteguhan hati.


يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِى عَلَى دِينِكَ 
“Yaa muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘ala diinik”
Wahai Zat yang membolak-balikkan hati teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu


Lingkungan dan Kondisi Tidak Memengaruhi Keteguhan Hati
Islam datang dalam keadaan asing. Baik itu Rasul saw maupun sahabat-sahabatnya bukan orang-orang yang memiliki tahta dan harta untuk dapat langsung memenangkan Islam. Kalaupun ada sahabat yang menjadi kepala suku, sekali dia bersyahadat, sukunya akan mengusirnya jauh-jauh, menghapusnya dari silsilah keluarga. Sungguh tidak mudah perjuangan umat muslim di awal munculnya Islam.

Bilal bin Ra'bah, lelaki yang pertama kali mengumandangkan adzan di Masjid Nabawi pada tahun pertama hijrah, adalah seorang muslim yang teguh hatinya. Ketika berislam, ia sudah siap menerima konsekuensi yang harus didapatnya demi dapat meneguk kesejukan agama tauhid. "Ahad... ahad..." ujarnya meski punggung sudah hancur menopang batu di bawah terik matahari.

Siti Asiyah, seorang istri yang sabar nan penyayang. Bukan kehendaknya untuk bersuami seorang Firaun yang mengaku tuhan. Namun, Asiyah tetap teguh menggenggam tauhid dalam dada. Asiyah memiliki prinsip yang mahateguh, tentunya juga karena Allah bantu meneguhkannya.

Ada juga seorang pemuda. Cobaan menimpanya kala ditawari kenikmatan dunia oleh orang Jahil, namun ia harus memilih untuk melepas agamanya. Lalu ketika ia memilih untuk dipenggal dibanding menggadaikan agamanya, malaikat Allah mendoakan dan menyambutnya dengan indah,

يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً
"Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya."(QS. Al-Fajr:27-28)
**

Konsekuensi dari prinsip adalah kita harus mampu tegas pada diri sendiri. Tidak peduli dengan faktor eksternal yang menyertai, kita harus mampu menjadi individu bebas yang kokoh pada tiangnya sendiri. Prinsip yang teguh akan membuat kita mampu menentukan sikap. Sehingga semoga kita senantiasa siap pada badai yang menghadap :)

***

Sebuah catatan untuk diri sendiri,
Jumat, 6 Muharram 1438 H




0 komentar:

Posting Komentar