Kamis, 16 Maret 2023

Ayah Ketika Putrinya Jatuh Cinta (1/2)

Katanya golden hour itu waktu yang amat spesial. Waktu ketika jingganya mentari tumpah-ruah menyinari sebagian isi bumi. Waktu yang juga terkenal amat romantis, memantik banyak pujangga mengelu-elukannya dengan sebutan senja. Sayang, sore itu seorang lelaki paruh baya tampak tidak bisa menikmatinya dengan penuh rasa. Selain karena peluh keringat yang membasahi badannya, sepanjang jalan protokol kota itu pun, lautan kendaraan mengantre untuk dapat pulang ke pelukan orang terkasihnya masing-masing. Sebagiannya terlihat tidak sabar karena terus saja menderukan klakson dan membanting setir. Sementara lelaki yang ada dalam cerita ini, terlihat tetap bisa membawa kendaraan roda duanya dengan khusyu', sembari terus mencari celah untuk masuk di antara lautan kendaraan lainnya. Dia juga sama seperti para pengendara yang lain, tidak sabar untuk lekas pulang ke tempat terdamainya.

Rumah, kata yang digunakan orang-orang untuk menamai tempat ini. Meski tidak semua rumah itu ramah, lelaki ini merasa amat beruntung, karena ia termasuk orang yang dapat merasakan keramahan itu dalam rumahnya. Keramahan yang mewujud sebagai seorang gadis bermata terang. Gadis yang selalu menunggu di ambang pintu tiap pukul enam. Lalu ketika motor telah diparkirkan, lelaki itu langsung disambut dengan peluk kehangatan. Pola selanjutnya, sembari tersenyum gadis itu akan bertanya, "Ayah, mau minum apa?"

"Air putih hangat saja."

"Siap Yah, Putri ambilkan ya!"

Betul. Lelaki itu adalah ayah dari seseorang, sebagaimana gadis itu adalah putri dari seseorang. Kebetulannya, mereka hanya tinggal berdua saja. Hanya memiliki satu sama lain saja. Ibunda Putri, sempat memasuki masa kritis beberapa saat selepas kelahiran Putri. Ternyata terjadi pendarahan besar dan kegagalan organ yang disusul dengan berpulangnya sang ibunda. Takdir yang miris memang. Membuat Putri, sejak hari pertama tiba di dunia, mendapati sosok ibu dan ayah sekaligus pada Ayahnya. Bagaimana tidak? Sedari kecil ayahnya lah yang meninabobokannya kala terbangun di tengah malam, menggantikan popoknya, merawatnya kala sakit, mengantarkannya di hari pertama sekolah, hingga membantunya mengerjakan PR. Semua itu di tengah kesibukan ayahnya yang juga pegawai level menengah di kantor. Baru saat kondisi ekonomi mulai stabil, ayahnya memutuskan untuk mencari asisten yang mengurusi pengasuhan sang Putri kecil.

Putri, yang saat ini sudah tidak kecil lagi, memberikan cangkir berisi air hangat itu pada ayahnya yang tengah duduk-duduk santai di ruang keluarga. "Matur suwun ya, Nduk," ujar Ayah dengan logat jawanya.

Putri tersenyum lalu mengambil posisi duduk di sebelah Ayah. Putri mengamati dengan saksama bagaimana ayahnya mengambil cangkir, menyeruput air, hingga meletakkan kembali cangkirnya ke meja kecil di sebelah sofa. Dalam tiap tahapnya, Ayah lakukan demikian hati-hati dan penuh penghayatan, Ayah juga sempat berkata lirik bismillah dan alhamdulilah sebelum dan selepas menyeruput air minuman itu.

"Yah, lagi capai ya?" tanya Putri selepas cangkir telah Ayah letakkan dengan rapi di atas meja.

Ayah merasakan ada hawa yang berbeda dari pertanyaan Putri tadi. Membuat Ayah memutuskan untuk melihat ke mata putrinya, menyelami manik-manik mata bulat indah itu, dan Ayah menemukan kegundahan di sana. Ah, sepertinya hanya Ayah saja manusia di dunia yang bisa membaca perasaan Putri hanya dari pancaran matanya.

"Ayah siap mendengar apapun cerita Putri," bagaikan telah membaca isi hati Putri, begitulah respons Ayah, tersenyum lebar.

Putri lalu berdeham, merapikan posisi duduk, mengambil napas panjang, membuka mulut, sedetik... dua detik... Putri kembali bungkam.

"Huft... Putri bingung Yah, harus gimana ceritanya."

"Hmm... Sampaikan saja apapun yang ada di pikiran Putri, tidak perlu khawatir Ayah tidak mengerti," ujar Ayah menenangkan.

Putri kembali menghembuskan napas panjang, "Hua... Putri juga sebenarnya bingung, Yah."

Hening.

"Jadi gini, Yah...," suara Putri kembali tertahan. "Rasanya, ada seseorang yang Putri lihat bisa sedemikan sama sekaligus sedemikian berbeda dengan diri Putri. Persis seperti cermin, Yah. Ah iya! Betul cermin! Orang ini bagaikan refleksi diri Putri, sama tapi amat berkebalikan. Dan anehnya, meskipun demikian, orang ini juga membuat Putri merasa ada banyak sekali PR dalam diri Putri,"

"Putri merasa melihat suatu kedalaman pada orang ini yang begitu ingin Putri selami. Seakan-akan orang ini adalah buku yang selalu ingin Putri baca berulang kali, dan dalam tiap saat membacanya, Putri akan kembali menemukan hal yang baru nan berbeda, lagi dan lagi."

"Tapi Putri bingung, Yah. Putri amat tidak mengerti. Putri kenapa ya, Yah? Mengapa rasanya sulit sekali mengeluarkan pikiran-pikiran tentang orang ini dari kepala Putri? Mengapa Putri tidak lagi memahami diri Putri sendiri?"

Kalimat terakhir dari Putri, ditutup dengan embun bening pada hujung matanya. Sementara Ayah, kini mengamati putrinya lamat-lamat, dari hujung rambut hingga hujung kaki, ah ternyata putrinya telah tumbuh besar, ia mungkin sudah tidak kuat menggendong tambun tubuhnya sebagaimana saat sedang bermain di Alun-Alun sewaktu masih SD dulu.

Dalam benak Ayah, muncul kilas masa lalu, masa ketika kedua kaki Putri dinaikkan ke kaki Ayah, lalu sambil berpegangan tangan, keduanya berjalan beriringan; atau masa ketika Ayah harus pergi jauh dan Putri hanya menitip oleh-oleh foto hijaunya hutan yang dilewati Ayah dalam perjalanan; atau masa ketika Putri menangis karena banyaknya tugas di SMA, hingga Ayah ikut turun tangan mengerjakan.

Maka benarkah? Benarkah Putri telah mendewasa? Benarkah sudah saatnya bagi Putri untuk berpindah bakti? Dan apakah Ayah telah siap, untuk melepas Putri, satu-satunya "rumah" yang ia miliki?

(bersambung ke bagian 2)

0 komentar:

Posting Komentar