Pada suatu hari yang biasa-biasa saja. Pukul 7 malam tepatnya, saya mengajar di tempat yang sama, murid yang sama, buku latihan soal yang sama, meja belajar yang sama, ah semua serba sama.
Kemudian ada yang berbeda.
"Ibu, aku mau ngebahas soal ini. Udah agak lama sih, tapi masih bingung," kata murid saya seraya menyodorkan selembar kertas bertuliskan persamaan-persamaan matematika. Nahas memang, di umur semuda ini saya sudah dipanggil ibu di sana. Namun tak apa, pikir saya, bersyukur sajalah masih dipanggil ibu, belum dipanggil nenek ataupun uyut, kan? Hehe #SyukurItuDidatangkan.
"Soal ujian?" tanya saya sambil mengambil lembar yang ia sodorkan. Ditimpali dengan anggukan dari yang bersangkutan. "Coba dikerjakan lagi sama kamu," sambut saya.
![]() |
Gambar oleh Sami |
Menit-menit berikutnya dihabiskan dengan angka dan hitungan. Soal ujian itu terkait pangkat dan akar bilangan, pelajaran SMP yang rutin keluar di ujian nasional. Di pertemuan sebelumnya, sesekali kami membahas mengenai soal serupa.
Murid saya terlihat mengerjakan soal tersebut tanpa kesulitan. Lancar bak menyalin lirik lagu korea kesukaannya ke dalam buku harian. Kemudian dia terdiam, setengah tertawa melirik saya...
"Lho kok dulu aku ngerjainnya gini ya, Bu?" tanya retorisnya, menertawai betapa salahnya dia dulu ketika menjawab soal tersebut. Kini dia merasa lebih menguasainya, bahkan tanpa bantuan saya. Saya tersenyum dibuatnya.
"Ini berita bagus lho!" ujar saya.
"Bagus gimana, Bu? Ulangan saya kemarin sebegini parahnya padahal mudah,"
"Hmm ini berita bagus," ujar saya berapi-api semangat '45, "karena ini adalah bukti bahwa kamu telah berkembang!"
*
Adakah di antara kita yang senang menulis di buku harian? Kalaupun tidak, seminimalnya status Facebook deh. Lalu ketika kita kembali membaca tulisan masa lampau, bukankah rasanya amat memalukan? Alay-alay gimana gitu, tidak zaman now banget deh.
Atau pernahkan kita membuka kembali laci meja belajar, mendapati harta karun berupa gambar-gambar masa kanak semisal dua gunung satu matahari yang tengahnya terdapat jalan amat berkelok atau sungai tanpa riak? Rasanya amat lucu, bukan? Menggemaskan dan mencemaskan, sekaligus!
Hmm... bukankah ketika kita melihat masa lalu yang penuh kurang, itu berarti kita tengah berkembang? :)
**
Menghebatkan masa depan
Kalau berbicara tentang masa depan, rasanya amat jauh, bukan? Sebenarnya, masa depan itu kapan sih?
Bisa jadi dua tahun lagi, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa besok adalah masa depan. Lima detik setelah kalian membaca ini juga adalah masa depan. Betapa masa depan itu sangat dekat. Betapa jarak ke masa depan itu amat singkat. Lalu hendak menunggu kapan untuk mulai menghebat?
Banyak keteladanan, dari sahabat Rasulullah maupun generasi penerusnya, yang menunjukkan kepada kita bahwa kebaikan itu harus disegerakan. Istilah agamanya, fastabiqul khayrat. Karena kita semua sejatinya tengah berlomba, yuk jangan berleha-leha.
Lakukanlah dari sekarang. Layaknya Abdurrahman bin 'Auf yang sejak hari pertama tiba di Yastrib (atau Madinah) langsung meminta petunjuk jalan ke pasar, tanpa ba bi bu agar segera bisa berniaga. Perlu kita teladani, bahwa saat datang ke Yastrib beliau benar-benar alpa tak berpunya, tetapi dalam beberapa hari beliau mampu berakhir sebagai saudagar kaya-raya.
Lakukanlah dengan kompetisi sebagai motivasi. Layaknya Umar yang selalu mencemburui amal Abu Bakar. Umar yang selalu berusaha menandingi dua kali lipat amal Abu Bakar. Bagi Umar, itulah bahan bakar. Cemburu pada pencapaian seseorang jangan sampai membuat diri kita menjadi kerdil, tetapi sebaliknya, membesarlah.
Lakukanlah dengan keterbatasan. Layaknya seorang anak kecil berusia sebelas tahun, ia baru pertama kali hijrah dengan kondisi tak berpunya. Namun, kondisi tak memiliki alat tulis tak menghentikannya untuk berguru. Ia mencatat dengan air liurnya sebagai pena dan telapak tangannya sebagai kertas. Belakangan, ia dikenal sebagai ulama masyhur yang mazhabnya diikuti oleh banyak muslim di penjuru negeri, Imam Syafi'i nama anak itu.
Lakukanlah. Meski barangkali kita tidak sadar sudah sejauh apa kita mencapai karena apa yang kita lakukan tidak sekilat Abdurrahman bin 'Auf, tidak sekompetitif Umar bin Khattab, pun tidak semasyhur Imam Syafi'i. Namun itu semua bukan berarti hingga saat ini kita belum mencapai apa-apa. Kembali lagi, ketika melihat ke masa lalu, kita akan menyadari bahwa kita telah banyak berkembang. Yakinilah bahwa Allah memberikan kita kapasitas yang bisa terus kita luaskan. Kita bisa terus berkembang. Dan cara terbaik memastikannya adalah dengan mempunyai goals harian. Sedikit-sedikit lama-lama pun akan menjadi bukit, bukan?
Sederhananya, setiap pagi kita membiasakan diri berkata, "hari ini aku ingin menahan diri dari mengeluh," maka seharian itu selalu ingatilah janji diri. Teruskan sampai berpuluh hari. Berikutnya tambahlah pembiasaan lain. Begitu seterusnya. Semoga apa yang awalnya dipaksakan, akan menjadi pembiasaan :) *mungkin perihal ini akan dibedah di pos lain.
Terakhir, selalulah camkan: masa depan sangatlah dekat, maka mari menghebat!
***
Ahad, 1 Rajab 1439 H
masyaAllah, syukaaaa ������
BalasHapusSyukron tteh :)
BalasHapusSukaaa :)
BalasHapusAlhamdulillah, jazakumullahu khairan kastira telah sudi mampir :)
BalasHapus