"Bun, Rara yang seperti ini... apakah pantas untuk seseorang yang seperti itu?" - Rara
Lanskap alam dari Tebing Keraton
Baca dulu: Bagian Pertama
Belum selesai Bunda tertawa geli dengan pertanyaan Rara--pertanyaan yang sepertinya datang dari lubuk hati terdalam itu--terdengar suara kumandang adzan isya. Panggilan syahdu yang turut menggelayuti langit-langit kamar tempat Rara dan Bunda bercengkerama.
"Kita shalat dulu, ya. Baru dibahas lagi setelah itu," ujar Bunda seraya bangkit dari baringannya.
"Eh, nggak apa, Bun, kalaupun nggak dibahas juga nggak apa," Rara telanjur malu, yang malah membuat Bundanya makin tertawa geli.
"Hahaha. Oh iya, panggil adikmu ya, ajak shalat berjamaah," pinta Bunda sebelum kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi, ditanggapi dengan ujaran iya dan anggukan kecil dari Rara.
Rara bergegas menjemput Alya di kamarnya. Alya adalah adik bungsu sekaligus adik Rara satu-satunya. Saat ini, Alya tengah duduk di bangku sekolah menengah atas, di salah satu sekolah favorit di kotanya. Alya hobi sekali menonton video-video yang ada di Youtube. Bagi generasi neo-alfa seperti Alya, hiburan di Youtube jauh lebih mengasyikkan dibandingkan dengan apa yang ada di kotak ajaib bernama televisi. Saat Rara menghampiri Alya pun, Alya masih sibuk cekikikan sembari scrolling linimasa Youtube-nya.
"Dek Al, ayo shalat dulu."
*
Bunda, Rara, dan Alya bergantian berwudu. Setelah wudu, Bunda menghamparkan sajadah secara horizontal untuk dipakai bertiga. Kalau Ayah sedang di rumah, Ayah lah yang akan menjadi imam shalat jama'ah. Namun hari ini, Ayah sedang ada meeting sampai pukul 8. Amanah sebagai imam shalat ber-jama'ah pun berpindah ke tangan Rara. Bunda bersikeras menyediakan slot di tengah untuk Rara sebagai imam. Kata Bunda, suara Rara lebih merdu dan syahdu untuk meng-imam-i shalat yang di-jahar-kan, yang bacaannya dikeraskan.
Selepas berdoa dan salam-salaman, Alya langsung membereskan mukena dan bergegas bangkit entah ke mana.
"Eh, Dek Al mau ke mana?" tanya Bunda penasaran dengan putri bungsunya yang pergi tanpa ba-bi-bu ini.
Alya yang merasa namanya disebut pun langsung pivot, putar arah. "Eh, Bun, dikirain nggak ada apa-apa lagi, hehe," ujar Alya cengegesan, "Alya mau lanjut nonton webseries terbaru di channel Youtube-nya FMM, Bun. Rame banget deh pokoknya! Alya udah dari minggu lalu nunggu kelanjutan ceritanya!" Alya tampak menggebu-gebu seperti seseorang yang akan bersedia begitu saja menceritakan seluruh jalan cerita dari webseries yang ia ikuti bahkan tanpa diminta
"Hm... sini sini dulu, deh. Bunda mau cerita dulu, sedikit saja," ujar Bunda yang disambut dengan perubahan raut muka Alya. Mendapati wajah Alya yang tampak sedikit kecewa, Bunda mengeluarkan jurus persuasi lainnya, "tentang Bunda dan Ayah ketika bertemu dulu, kok."
Tanpa aba-aba, Alya langsung duduk manis di sebelah Bunda. "Hehe, Alya siap menyimak kok, Bun," kata Alya dengan senyum lebar lima sentinya, hingga Bunda dan Rara tertawa geli dibuatnya.
"Mba Rara, Dek Alya... Tahu tidak? Dulu sebelum kedatangan Ayah, Bunda selalu berpikir 'duh lelaki se-tak-beruntung apa ya yang mau menerima seseorang penuh alfa dan kurang seperti Bunda ini?' Bahkan setelah Ayah datang pun, Bunda selalu merenung betapa tidak pantasnya Bunda untuk Ayah kalian."
"Eh, masa sih, Bun?" cecar Alya. Di mata Alya, Bunda adalah perempuan yang amat luar biasa--sebab barangkali begitu lah sosok semua ibu di mata putrinya. Bunda serba bisa dan sangat sabar menghadapi tingkah laku Alya yang tiada habisnya. Makanya, Alya jadi takjub sendiri mendapati Bunda yang ternyata pernah seminder itu terhadap Ayahnya.
"Iya," jawab Bunda. "Namun, yang lebih menarik adalah, setelah bersama dengan Ayah, Ayah bercerita kalau sebelum datang dulu, Ayah sendiri juga merasa tidak pantas untuk Bunda."
Mendengar penuturan Bunda yang amat dalam tersebut, Rara jadi tertegun cukup panjang. Rara mencoba memahami apa yang berusaha diutarakan oleh Bundanya.
Namun belum apa-apa, Alya kembali berkomentar, "Lah, Bun. Kalau merasa tidak pantas, ngapain Ayah pakai acara datang ke Bunda segala?" tanya Alya usil, disambut dengan gelak tawa Bunda dan Rara yang kembali dari tegun panjangnya.
"Ya kalau ga seperti itu, Dek Al nggak akan lahir dong," jawab Bunda sama usilnya, "tapi bukan itu poin utamanya. Poin utamanya adalah, Bunda jadi belajar bahwa merasa tidak pantas itu adalah perasaan yang amat wajar, dan malah salah besar lho, ketika kita merasa sudah pantas untuk seseorang."
"Kepantasan itu harus diusahakan. Namun, merasa sudah pantas adalah tanda kesombongan," kata Bunda lagi, "Kepantasan itu hanya Allah yang tahu. Toh yang mengenal betul diri kita, dari bangun tidur hingga tidur lagi adalah Allah. Yang mengenal betul diri kita, dari pikiran sampai hati kita seperti apa adalah Allah. Maka, Allah pula lah yang paling mengenal siapa pun orang yang akan datang kepada diri kita nanti."
"Dengan merasa tidak pantas, kita akan terus berusaha untuk memantaskan. Dan itu adalah kabar baik. Tidak hanya dalam urusan ini, bahkan sebenarnya urusan ini akan amat remeh dibanding urusan yang seharusnya lebih kita pikirkan: pantas atau tidak untuk masuk surga? Salah besar kalau kita merasa sudah aman amalnya sehingga pantas untuk masuk surga, sebab itu adalah bibit kesombongan. Jangankan kita, para sahabat nabi saja se-tidak-merasa-pantas-itu untuk masuk surga, padahal kata Allah rumah mereka telah dibangun di sana. Lah kita?"
"Tapi demikianlah, orang-orang yang paling beruntung adalah orang-orang yang selalu merasa bahwa dirinya tidak akan pernah pantas; tapi karena hal itu pula lah dia terus berusaha untuk mengejar kepantasannya."
Penjelasan lugas Bunda secara ajaib membuat Alya terdiam. Biasanya, Alya adalah yang paling heboh dan selalu penuh komentar, tapi kali ini mulut Alya seperti dibungkam.
Berbeda halnya dengan Rara, lagi-lagi jawaban Bunda menenangkan, sekaligus menghadirkan pertanyaan lain ke dalam benak Rara. Tak ingin lama dipendam, Rara kembali angkat bicara, "Bun, Mba Rara jadi bingung."
Berbeda halnya dengan Rara, lagi-lagi jawaban Bunda menenangkan, sekaligus menghadirkan pertanyaan lain ke dalam benak Rara. Tak ingin lama dipendam, Rara kembali angkat bicara, "Bun, Mba Rara jadi bingung."
"Iya, bingung gimana, Mba?" tanya Bunda.
"Hm... kalau memang kepantasan itu bukan suatu ukuran. Kalau memang kepantasan itu adalah konsekuensi yang harus selalu diusahakan. Lalu bagaimanakah ukuran yang tepat perihal masalah ini, Bun? Bagaimanakah kita mengetahui bahwa seseorang itu adalah sosok yang tepat untuk kita nanti?" tanya Rara dengan kalimat yang amat rapi.
"Ciee... ciee... ada yang galau nih," sambut Alya menjahili kakaknya. Kejahilan yang membuat timpukan tinju dari Rara sampai ke bahu Alya. Bukannya kapok, Alya malah makin cengegesan, puas menjahili kakaknya. Sementara Bunda makin geli dan bersyukur melihat tingkah laku lucu kedua putrinya.
"Kalau itu, Ra. Rumusnya beda lagi," jawab Bunda selepas perang kecil antara Alya dan Rara berhasil disudahi. "Untuk mengetahui seseorang yang tepat bagi kita, nama rumusnya adalah kecocokan. Dan kecocokan ini, adalah ukuran yang akan amat beragam indikatornya untuk tiap orangnya."
"Bun... bentar-bentar, sebelum menjawab pertanyaan Mba Rara lebih lanjut, bolehkah Alya izin undur diri dulu? Ada webseries yang tengah menanti nih, Bun!" ternyata Alya sudah gatal dari tadi. Merasa percakapan Bunda dan kakak-yang-sudah-kepada-duanya ini akan berlangsung lebih panjang lagi.
"Haha... Iya, boleh. Tugas buat Dek Alya, harus cerita tentang webseries yang ditontonnya ya!" pesan Bunda mengizinkan.
"Siap, Bun!" kata Alya seraya menaikkan tangan kanannya setinggi dahi, pertanda hormat ala pasukan baris-berbaris di istana kepresidenan.
Kini, mushala rumah kecil mereka hanya disesaki oleh Bunda dan Rara. Selepas Alya pergi, Bunda melepas, melipat, dan menumpuk seluruh mukena di satu sudut mushala yang sama. Sementara Rara lamat-lamat memerhatikan gerak-gerik Bunda, sudah se-tidak-sabar-itu Rara mendengar kelanjutan jawaban dari Bundanya.
Apa ya maksud Bunda dari kecocokan yang bisa amat beragam indikatornya untuk tiap orangnya? Bagaimana pula cara kita mengetahui seseorang itu cocok atau tidak untuk diri kita? Bagaimana jika malah ternyata tidak ada seorang pun yang cocok untuk diri kita?
Nah, untuk menjawab kecamuk pertanyaan Rara, mari kita beranjak ke bagian ketiga :)
Bersambung.
Cara mengetahui cocok apa enggaknya, Yuk ikut tes MBTI dan tes Zodiak, kalo taurus katanya cocok sama capicorn dengan lambang kambing laut. Oh iya, ENFJ cocok buat semua kalangan lho...
BalasHapusRara kalo baper jangan kebangetan yaa :)
Bagian tigaaaa aku menantimu ehehe
BalasHapusWah bener bener bersambung nih....mantap wkwk
BalasHapusDitunggu kelanjutannya! :D
BalasHapus