Kamis, 16 Maret 2023

Cerpen: Sudah Kubuat Mungkin

"Sudah kubuat semuanya mungkin untukmu. Maka sekarang sisanya, tergantung kamu," kata perempuan itu dengan tatapan mata tajam, yang entah melihat ke arah mana. Namun sepertinya, semut-semut yang menyaksikan pun ikut bergidik, merasa sedang disasar untuk jadi bahan santap malam.

Belum selesai lawan bicaranya mencerna kata-kata perempuan itu, ia kembali melanjutkan,

"Kamu, tak usahlah membuat aku tambah repot. Toh urusan kita yang lain sudah jauh lebih merepotkan. Tak perlulah ditambah-tambah dengan dirimu yang tak mau jalan saat sudah diberi lampu bahkan jembatan."

"Kita sedang hidup di dunia nyata, bukan drama korea. Percuma menatap langit yang sama kalau cuma menatap saja, nggak berusaha ke sana. Besok besok juga warna langitnya berubah. Dan kita, belum tentu masih sudi menatapnya," tumpas sang perempuan.

Sang lawan bicara, yang juga adalah seorang lelaki bermata terang, tanpa disangka menyunggingkan senyum yang membuat kelabakan sang perempuan.

Ayah Ketika Putrinya Jatuh Cinta (1/2)

Katanya golden hour itu waktu yang amat spesial. Waktu ketika jingganya mentari tumpah-ruah menyinari sebagian isi bumi. Waktu yang juga terkenal amat romantis, memantik banyak pujangga mengelu-elukannya dengan sebutan senja. Sayang, sore itu seorang lelaki paruh baya tampak tidak bisa menikmatinya dengan penuh rasa. Selain karena peluh keringat yang membasahi badannya, sepanjang jalan protokol kota itu pun, lautan kendaraan mengantre untuk dapat pulang ke pelukan orang terkasihnya masing-masing. Sebagiannya terlihat tidak sabar karena terus saja menderukan klakson dan membanting setir. Sementara lelaki yang ada dalam cerita ini, terlihat tetap bisa membawa kendaraan roda duanya dengan khusyu', sembari terus mencari celah untuk masuk di antara lautan kendaraan lainnya. Dia juga sama seperti para pengendara yang lain, tidak sabar untuk lekas pulang ke tempat terdamainya.

Rumah, kata yang digunakan orang-orang untuk menamai tempat ini. Meski tidak semua rumah itu ramah, lelaki ini merasa amat beruntung, karena ia termasuk orang yang dapat merasakan keramahan itu dalam rumahnya. Keramahan yang mewujud sebagai seorang gadis bermata terang. Gadis yang selalu menunggu di ambang pintu tiap pukul enam. Lalu ketika motor telah diparkirkan, lelaki itu langsung disambut dengan peluk kehangatan. Pola selanjutnya, sembari tersenyum gadis itu akan bertanya, "Ayah, mau minum apa?"

"Air putih hangat saja."

"Siap Yah, Putri ambilkan ya!"
Rabu, 04 Agustus 2021

The Meaningless Suspect (Ch. 2)

Ada berapa besar kemungkinan dalam hidupmu, di antara miliaran manusia yang berlalu-lalang dan triliunan tempat yang bisa kamu kunjungi dengan mudahnya, pada tempatmu lah ancaman kematian tertoreh sedemikian terangnya?

Cerita ini barangkali bukan cerita yang kamu ekspektasikan sebelumnya. Bagaimana bisa toh biasanya blog ini berisi hal-hal ringan yang tak menguras pikiran. Namun betul juga kata mereka, bukankah dunia dipenuhi hal-hal tak terduga?

Cerita ini adalah bagian kedua dari epos yang tidak penting untuk diketahui bagian pertamanya. Hal yang perlu kamu ketahui, pada cerita ini terdapat dua tokoh utama, sebut saja Gore dan Edha. Malang nian nasib mereka, hanya karena berada di tempat dan waktu yang salah, harus berkutat dengan tantangan tak masuk akal dari psikopat haus darah.

Maka sekali lagi, cerita ini akan di luar ekspektasimu sebelumnya, jadi jangan memaksakan diri untuk membaca lebih lanjut, lebih baik kembali scrolling saja instagram dan twitter-mu itu, sebab membaca cerita ini akan jauh lebih banyak membuang waktu.

Lah masih saja keras kepala? Ya sudah. Semoga selepas membaca ini, kamu masih baik-baik saja. Meski aku sih tidak berharap banyak juga ya.

*

Huaaa.... Mulut Edha terbuka lebar. Ia menguap. Sayu mata dan lingkaran hitam di bawahnya, menunjukkan betapa mengantuknya ia saat itu. Tidak perlu detektif hebat untuk dapat menarik simpulan bahwa Edha telah terjaga semalaman. Ia baru saja memecahkan kasus konyol yang meresahkan. Setelah bekerja siang-malam menyintesa berbagai kemungkinan, akhirnya ia menyadari bahwa pelakunya sangatlah dekat. Kadang yang dekatlah yang paling mungkin menjadi penjahatnya, pikir Edha, mengambil lesson learned dari kasus ini.

Sementara itu Gore tampak sedang takzim melihat daftar menu yang ditempel di atas meja. Matanya dengan lincah berlompatan dari satu nama makanan ke nama makanan yang lain.

"Mie ayam spesial... yamin bakso... indomie khas warung... hmm...," bisik Gore mengeja nama makanan yang tertera.

"Ayo pilih saja salah satu, aku sudah ngantuk berat nih," kejar Edha.

"Oke, ini saja, mie ayam bakso satu, minumnya jus jeruk."

"Pada akhirnya default juga ya, haha," ejek Edha, "Eh, jadi 'kan Anda yang traktir?"

"Iya iya, hadiah untuk yang berhasil memecahkan kasus kok," ujar Gore kecut. Gore beranjak, ia harus meng-input dan membayar pesanannya secara mandiri di hujung ruangan rumah makan ini. Rumah makan berlantai tiga ini memang tergolong rumah makan tua, tetapi sudah memiliki banyak pembaharuan, salah satunya adalah layanan pesan dan bayar mandiri di tiap lantainya, teknologi yang juga sudah banyak dipakai di berbagai rumah makan modern lainnya di negeri ini.

Gore terus menelusuri ruangan itu, kebetulan mereka ada di lantai paling atas, dan di jam awal buka seperti ini, rumah makan masih cukup sepi. Beberapa langkah berjalan ke sisi lain ruangan itu, mata Gore nyaris terbelalak menemukan kata "mati" secara jelas tertoreh di salah satu sudut dindingnya.

KEPADA

PENDEKAR BERPERISAI ELEGI,

PADA REMBULAN KE-4 MEI,

ENGKAU 'KAN MATI

Gore memutuskan untuk mendekati tulisan itu. Ia menyadari ada selembar kertas yang ditaruh di sana, menggunakan klip kertas yang digantung pada paku berkarat. Tampaknya memang paku tersebut telah menancap di dinding itu sejak lama. Namun kertasnya bersih, jelas-jelas masih baru di sana.

Gore tidak mengambil kertas itu sama sekali. Ia memilih untuk mengubur rasa penasarannya. Ah, barangkali ini interior nyentrik rumah makan ini saja, benaknya meyakinkan diri. Gore lantas kembali melanjutkan aktivitasnya memesan makanan untuk sarapan siangnya dengan Edha hari itu. Gore memesan makanan pada mesin bernama "The Casheer". Mesin yang cukup praktis itu tampak memproses pesanannya, hingga beberapa detik kemudian muncul sebuah notifikasi. Di sana tertulis nominal tagihan enam digit. Sial, besar sekali! Seharusnya saya nggak pakai acara mentraktir Edha segala, si oportunis ini pasti sengaja beli yang mahal-mahal!

Gore telah kembali di meja makan sembari meratapi nota pembayaran. Kekesalan tertahannya terhadap Edha sejenak membuatnya melupakan tulisan aneh di dinding rumah makan tadi. Edha yang menangkap wajah tertekuknya Gore pun terkekeh, "Hehe... next time aku yang traktir kok!"

Beberapa saat kemudian, datanglah seorang lelaki kepala dua membawa nampan berisi dua gelas minuman. Mata Gore memicing, pada nametag hitam lelaki tersebut, tertera nama yang cukup aneh tapi familiar, "Dekar", barangkali kependekan dari "Pendekar".

"Oh, ini toh yang namanya Mas Dekar itu!" seru Gore, membuat Edha mengernyutkan dahi, sejak kapan Gore menjadi seorang yang SKSD begini.

"Lho, Mas-nya tahu saya tah?" ternyata orang yang disebut Dekar ini sama bingungnya.

"Mas ini yang jadi inspirasi tulisan di dinding sana 'kan?" Gore menunjuk sudut lain ruangan yang sebenarnya tertutupi oleh sekat lain. "Saya lihat ada instalasi unik di sana, bawa nama Pendekar Berperisai Elegi, katanya ia akan mati, haha, ada-ada saja rumah makan ini."

Tawa renyah Gore malah disambut dengan suara nyaring gelas yang pecah, praaang!!!

Ternyata Dekar baru saja menjatuhkan nampan berisi dua minuman dingin milik Gore dan Edha. Dinginnya minuman tersebut otomatis membasahi bagian bawah pakaian mereka bertiga. Masih setengah sadar ada gelas yang pecah, Dekar malah panik bertanya, "Serius Mas? Di mana, di mana tulisannya?"

Namun mendapati wajah Gore dan Edha yang syok melihat tingkah laku tak profesional Dekar, Dekar menyadari kesalahan fatalnya, "Eh... Mas Mba, maafkan saya. Nanti akan kami ganti minumannya beserta bonus lainnya. Mohon maaf ya, Mas Mba. Mohon lupakan pertanyaan saya sebelumnya."

**

"Gore, kenapa sih? Kamu kok belum cerita-cerita," protes Edha, selekas setelah Dekar pergi mengambil lap dan minuman ganti untuk mereka.

"Sorry sorry, awalnya saya kira hal itu tidak penting. Namun, setelah melihat reaksi mas-mas tadi, saya jadi yakin kalau ini adalah pertanda dari dibukanya sebuah kasus baru."

Melihat Edha yang masih tampak mengernyitkan dahi, Gore pun menambah penjelasannya, "Ed, kamu lihat 'kan reaksi mas-mas tadi? Satu hal yang amat jelas, dia tidak tahu bahwa tulisan itu ada sebelumnya. Yup, tulisan ancaman kematian. Barangkali memang saya lah yang pertama kali melihat eksistensi tulisan itu di sana."

"Hal lainnya yang amat jelas adalah bahwa tulisan itu benar ditujukan pada mas-mas tadi, dan mas-mas tadi amat menyadarinya. Pendekar berperisai elegi, istilah itu bisa mengacu pada siapa saja, tapi mas-mas dengan nama Dekar tadi langsung sekaget itu, entah atas bagian yang mana, apakah karena istilahnya atau karena dia sudah menyadari ada yang mengincar darahnya, yang jelas dia menyadari bahwa ancaman itu untuknya."

Edha tampak menarik napas panjang, "Mungkinkah ini hanya sekadar prank? People always do that nowadays."

"Mau prank atau bukan, jika menggunakan ancaman kematian, sungguh harus diinvestigasi, Edha. Kita tidak tahu yang mana yang benar berimbas pada hilangnya nyawa," ujar Gore bijak. Gore dan Edha menyadari bahwa lagi-lagi, ke mana pun mereka pergi, ada kasus yang harus mereka pecahkan. Edha yang sudah berencana tidur di atas kasur empuk selepas semua penat ini pun, terpaksa kembali menyalakan energinya.

"Oke, bawa aku ke sana!"

**

Edha benar-benar membeku melihat ancaman kematian tersebut. Ditulis dengan amat rapi menggunakan crayon warna abu gelap, membuat dinding yang sudah norak kelihatan makin norak.

KEPADA

PENDEKAR BERPERISAI ELEGI,

PADA REMBULAN KE-4 MEI,

ENGKAU 'KAN MATI

"Orang-orang zaman sekarang memang sudah pada gila! Mereka kira apa-apa yang tertulis di novel-novel Arthur Conan Doyle itu beneran normal terjadi apa," kesal Edha, sama sekali tidak habis pikir ada seseorang di dunia nyata yang berniat membuat ancaman kematian bak cerita-cerita misteri terkenal itu. "Kapan pula rembulan ke-4 Mei, hari ke-4 Mei 'kan sudah lewat beberapa pekan lalu. Mungkin ini hanya ancaman basi."

"Itu tiga hari lagi," ujar Gore yakin. "Betul, kalau kita mengasumsikan rembulan adalah bulan yang muncul tiap hari, tanggal 4 Mei tentu sudah lewat lama sekali. Namun, rembulan juga adalah arti lain dari soma, dan soma sendiri adalah hari Senin dalam bahasa Jawa modern. Senin ke-4 Mei, itu berarti tiga hari lagi."

"Sejak kapan kau jadi ahli bahasa begini," gurau Edha.

"Lupa ya Anda kalau saya ini punya darah Jawa," kata Gore bangga, merasa mendapat satu poin lebih unggul dibanding Edha.

"Hm maaf... Mba... Mas... jadi umur saya tinggal... tiga hari lagi?" sebuah suara yang baru mereka kenal kembali menyapa. Gore dan Edha membalikkan badan, mendapati betul dugaan mereka, ada lelaki bernama aneh Dekar di sana. Gore dan Edha pun saling bertatapan, antara bingung dan prihatin harus menjawab apa.

"Tenang," Edha buka suara memecah keheningan, "Kami berdua biasa disewa untuk memecahkan kasus-kasus misteri. Kami akan berusaha menemukan siapa pelakunya, meski entah ini ancaman betulan atau sekadar permainan," janji yang sebenarnya memunculkan konflik batin dalam diri Edha, antara ingin istirahat dari memecahkan kasus, dengan perasaan bersalah jika meninggalkan seseorang yang sedang menghitung mundur umurnya.

"Hmm... tapi sebelum itu," potong Gore, "Mengapa Anda bisa yakin bahwa pesan ini ditujukan untuk Anda?"

"Eh... err... sudah beberapa pekan ini saya mendapatkan ancaman via sms, Mas," ujarnya, agak ragu, "tapi saya kira bukan apa-apa, sampai akhirnya orang ini tahu tempat saya bekerja, saya benar-benar takut, Mas. Saya akan memberi apa saja yang tersisa dari saya, selama Mas dan Mba mau membantu saya menemukan pelakunya, sebelum ia menemukan saya dalam tusukannya."

Gore mendengar itu sembari bergidik, "Nanti tolong perlihatkan sms-sms-nya, sekarang ini mari kita pecahkan dulu yang terdekat: kertas itu," Gore menunjuk kertas yang tergantung pada paku berkarat di sudut dinding yang sama.

Edha meraih kertas putih tersebut, di sana terdapat beberapa tempelan potongan kertas lainnya, terlihat seperti kliping namun jauh lebih berantakan.

Temui aku, sebelum aku menemukanmu.

Sebagaimana kamu menjengkelkanku, aku akan meresahkanmu.

Kalau kamu cukup pintar, mungkin semua ini akan memberimu petunjuk.

Begitulah isi tulisan pada kertas utamanya. Saat Edha berusaha merapihkan tempelan kliping-kliping yang ada di sana, Edha menyadari kliping-kliping itu bisa dicabut dari kertas utamanya, sengaja tidak ditempel secara sempurna. Edha kemudian menyusun kliping-kliping tersebut di atas salah satu meja rumah makan, lalu berusaha memahaminya.

Brrtt... brrt... Getar bunyi ponsel terdengar samar, Dekar yang merasakan getaran itu hadir dari sakunya, mengambil ponselnya dengan sigap. Beberapa detik setelah membaca pesan itu, tangannya gemetar. Ponselnya terjatuh. Wajah Dekar makin pucat. Ia membeku.

Gore mengambil ponsel yang Dekar abaikan di lantai. Gore melihat sekeliling, lalu menatap Edha dengan berjuta makna, ia mengeraskan bacaannya terhadap pesan itu,

Bagaimana, sudah kau baca 'kan, Pendekar?

Menghubungi polisi akan membuat nyawamu melayang lebih cepat.

Kamu tahu aku mengawasimu.

Pesan itu baru saja membuktikan bahwa pengancam kematian ini tengah benar-benar mengawasi mereka. 

***

Bersambung ke Ch. 3 

Minggu, 25 Juli 2021

The Detours We Need

"I don't get many things right the first time,
In fact, I am told that a lot.
Now I know all the wrong turns,
The stumbles and falls brought me here."

(Ben Folds - The Luckiest)

sudut pandang cahaya pagi

Kamis, 22 Juli 2021, pukul 19.52

Aku sama sekali tidak menyadari bahwa hari ini adalah The Announcement Day, hari pengumuman seleksi beasiswa yang sudah sebulan ke belakang membuat dadaku kembang-kempis ini. Memang dasarnya diriku adalah penganut paham "daftar-kerjakan-lupakan", wkwk, paham yang semoga membuat diri ini juga tidak banyak menaruh harap pada apa-apa yang 'ah pasti sudah dalam aturan dan takaran Yang Maha juga'. Hee, semoga ya! Well, hidup ini 'kan memang bukan tentang mengejar apa-apa yang ada di dunia, ya?

Hingga saat sedang antengnya mentoring Kamis malam, notifikasi sms masuk, pemberitahuan bahwasanya hasil seleksi sudah dapat dilihat di halaman web pendaftaran beasiswa. Silakan login pada akun masing-masing untuk melihat hasil seleksi, begitu bunyi akhir sms-nya. Oh, ternyata hari ini pengumumannya ya? Baru tahu saya, hehe.

Lalu bak dalam film beralur maju-mundur, kepalaku langsung kembali memutar adegan-adegan saat seleksi wawancara lalu, seleksi terakhir dalam beasiswa ini. Aku teringat, ada satu pertanyaan yang benar-benar membuatku bingung bagaimana cara menjawabnya. Pertanyaan yang juga membuatku merasa 'ah sepertinya memang kesempatan ini bukan untukku'. Pertanyaan yang entahlah, mungkin hanya bisa dijawab dengan cara yang amat tidak logis, eh barangkali spiritual, wk.

Pertanyaan itu adalah, "Sewaktu S1 'kan mengambil pendidikan kimia, mengapa sekarang mengambil jurusan ini?"

*
Rabu, 06 Januari 2021

Teruntuk Cahayanya Nuzul

"Nuzul ayo kita saling mendoakan today. Tapi jangan bilang-bilang yaa biar diaminkan."  - Teteh, 11 Desember 2019
bersama cahayanya Nuzul, selepas SSC 13, 5 November 2017

Selasa malam, 5 Januari 2021, diriku sedang takzimnya membaca dan memaknai puisi karya Charles Lamb berjudul "Old Familiar Faces", dalam sajak british-nya itu, ia berkisah tentang wajah-wajah familiar yang ia temui selama menjalani kehidupan.

I have had playmates, I have had companions,
In my days of childhood, in my joyful school-days,
All, all are gone, the old familiar faces.
(Petikan puisi "Old Familiar Faces")

Alasanku tiba-tiba mampir menyelami sajak itu karena terinspirasi oleh salah satu film underrated berjudul The Guernsey Literary and Potato Peel Pie Society, film drama-sejarah berlatar belakang masa okupasi Jerman selama Perang Dunia ke-2 di Guernsey, Inggris, yang ternyata banyak membuat diriku berkontemplasi juga tentang manusia-manusia yang aku temui dalam kehidupan yang nano-nano ini.

Coba kutanya, pernahkah kamu mengambil keputusan 'impulsif', tapi justru dari keputusan itulah kamu bertemu dengan manusia-manusia terbaik yang pernah kamu kenal? Manusia-manusia berwajah familiar, yang membuatmu seolah telah mengenal mereka dari lamaaaa sekali, yang membuatmu bisa lepas menjadi dirimu seutuhnya, yang membuat hidupmu terasa jauh lebih ringan daripada sebelumnya?

Pernahkah?
Sebab aku pernah.

Senin, 30 November 2020

Cerpen: Dendrit

Langit Purwakarta, gambar oleh panitia LMDN199

Deru mobil sedan menghempas gemuruh hujan sore itu. Kedua lampu sennya berkedap-kedip syahdu bersama riakan air hujan. Tidak ada jalan yang cukup penting untuk bisa disebut jalan protokol di kampung itu. Tidak ada pula acara pemotongan pita yang diadakan pejabat setempat. Namun, sore ini anak langit pulang ke bumi dengan membawa tamu lain. Pria yang sudah lama menghilang –atau mengasingkan diri— dari kesyahduan kampung itu, kini pria dengan setelan jas hitam itu bersiap keluar dari mobil sedan dinasnya. Plat nomor merahnya terlihat sangat mencolok meski dalam guyuran hujan.

Satu persatu tetangga yang mendengar suara deru mobil, berhamburan keluar rumah. Maklum, sebelumnya jarang sekali ada mobil datang ke kampung mereka. Bagaimana mungkin masuk kampung yang jalannya saja berhamburan kotoran ayam. Pak Camat yang kemarin datang untuk blusukan pun terpaksa jalan kaki ke dalam kampung supaya mobil rendahnya tidak rusak akibat melewati medan off-road di kampung mereka.

Cerpen: Tempias Hujan Senja Kemarin

senja di Ciwidey

Elok. Satu kata yang dapat mewakilkan keindahan mata itu. Sekilas terpancar cahaya segemilang mentari dari sana. Mata itu, walau tampak kuyu atas perjuangan berdarahnya selama hampir 30 tahun. Tapi kurasa memang semua orang benar tentangnya, tak ada yang dapat mengalahkan kegemilangan matanya.

“Emm… Kia,” manusia dengan mata gemilang itu sontak memanggil namaku.

“Eh.. Ya, ada apa?” aku tergagap, malu telah tertangkap basah sedang memperhatikan mata gemilang manusia di hadapanku.

Manusia bermata gemilang itu menghembuskan nafas pelan. “Kau tahu, aku mungkin tak akan pernah bisa seperti ini tanpamu. Sungguh, Allah Maha Baik mempertemukan kita. Aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu, Kia,” katanya lagi. Sesekali angin yang masuk lewat celah-celah jendela kafe berhembus pelan menyapa wajahnya. Mengayunkan ujung-ujung kerudungnya yang telah basah terlebih dahulu oleh air mata. “Terimakasih, Kia. Kau selalu menjadi teman yang terbaik,” tambahnya lagi diakhiri tawa khasnya. Renyah dan bersahabat.