Cerpen: Sudah Kubuat Mungkin
Ayah Ketika Putrinya Jatuh Cinta (1/2)
The Meaningless Suspect (Ch. 2)
Ada berapa besar kemungkinan dalam hidupmu, di antara miliaran manusia yang berlalu-lalang dan triliunan tempat yang bisa kamu kunjungi dengan mudahnya, pada tempatmu lah ancaman kematian tertoreh sedemikian terangnya?
Cerita ini barangkali bukan cerita yang kamu ekspektasikan sebelumnya. Bagaimana bisa toh biasanya blog ini berisi hal-hal ringan yang tak menguras pikiran. Namun betul juga kata mereka, bukankah dunia dipenuhi hal-hal tak terduga?
Cerita ini adalah bagian kedua dari epos yang tidak penting untuk diketahui bagian pertamanya. Hal yang perlu kamu ketahui, pada cerita ini terdapat dua tokoh utama, sebut saja Gore dan Edha. Malang nian nasib mereka, hanya karena berada di tempat dan waktu yang salah, harus berkutat dengan tantangan tak masuk akal dari psikopat haus darah.
Maka sekali lagi, cerita ini akan di luar ekspektasimu sebelumnya, jadi jangan memaksakan diri untuk membaca lebih lanjut, lebih baik kembali scrolling saja instagram dan twitter-mu itu, sebab membaca cerita ini akan jauh lebih banyak membuang waktu.
Lah masih saja keras kepala? Ya sudah. Semoga selepas membaca ini, kamu masih baik-baik saja. Meski aku sih tidak berharap banyak juga ya.
*
Huaaa.... Mulut Edha terbuka lebar. Ia menguap. Sayu mata dan lingkaran hitam di bawahnya, menunjukkan betapa mengantuknya ia saat itu. Tidak perlu detektif hebat untuk dapat menarik simpulan bahwa Edha telah terjaga semalaman. Ia baru saja memecahkan kasus konyol yang meresahkan. Setelah bekerja siang-malam menyintesa berbagai kemungkinan, akhirnya ia menyadari bahwa pelakunya sangatlah dekat. Kadang yang dekatlah yang paling mungkin menjadi penjahatnya, pikir Edha, mengambil lesson learned dari kasus ini.
Sementara itu Gore tampak sedang takzim melihat daftar menu yang ditempel di atas meja. Matanya dengan lincah berlompatan dari satu nama makanan ke nama makanan yang lain.
"Mie ayam spesial... yamin bakso... indomie khas warung... hmm...," bisik Gore mengeja nama makanan yang tertera.
"Ayo pilih saja salah satu, aku sudah ngantuk berat nih," kejar Edha.
"Oke, ini saja, mie ayam bakso satu, minumnya jus jeruk."
"Pada akhirnya default juga ya, haha," ejek Edha, "Eh, jadi 'kan Anda yang traktir?"
"Iya iya, hadiah untuk yang berhasil memecahkan kasus kok," ujar Gore kecut. Gore beranjak, ia harus meng-input dan membayar pesanannya secara mandiri di hujung ruangan rumah makan ini. Rumah makan berlantai tiga ini memang tergolong rumah makan tua, tetapi sudah memiliki banyak pembaharuan, salah satunya adalah layanan pesan dan bayar mandiri di tiap lantainya, teknologi yang juga sudah banyak dipakai di berbagai rumah makan modern lainnya di negeri ini.
Gore terus menelusuri ruangan itu, kebetulan mereka ada di lantai paling atas, dan di jam awal buka seperti ini, rumah makan masih cukup sepi. Beberapa langkah berjalan ke sisi lain ruangan itu, mata Gore nyaris terbelalak menemukan kata "mati" secara jelas tertoreh di salah satu sudut dindingnya.
KEPADA
PENDEKAR BERPERISAI ELEGI,
PADA REMBULAN KE-4 MEI,
ENGKAU 'KAN MATI
Gore memutuskan untuk mendekati tulisan itu. Ia menyadari ada selembar kertas yang ditaruh di sana, menggunakan klip kertas yang digantung pada paku berkarat. Tampaknya memang paku tersebut telah menancap di dinding itu sejak lama. Namun kertasnya bersih, jelas-jelas masih baru di sana.
Gore tidak mengambil kertas itu sama sekali. Ia memilih untuk mengubur rasa penasarannya. Ah, barangkali ini interior nyentrik rumah makan ini saja, benaknya meyakinkan diri. Gore lantas kembali melanjutkan aktivitasnya memesan makanan untuk sarapan siangnya dengan Edha hari itu. Gore memesan makanan pada mesin bernama "The Casheer". Mesin yang cukup praktis itu tampak memproses pesanannya, hingga beberapa detik kemudian muncul sebuah notifikasi. Di sana tertulis nominal tagihan enam digit. Sial, besar sekali! Seharusnya saya nggak pakai acara mentraktir Edha segala, si oportunis ini pasti sengaja beli yang mahal-mahal!
Gore telah kembali di meja makan sembari meratapi nota pembayaran. Kekesalan tertahannya terhadap Edha sejenak membuatnya melupakan tulisan aneh di dinding rumah makan tadi. Edha yang menangkap wajah tertekuknya Gore pun terkekeh, "Hehe... next time aku yang traktir kok!"
Beberapa saat kemudian, datanglah seorang lelaki kepala dua membawa nampan berisi dua gelas minuman. Mata Gore memicing, pada nametag hitam lelaki tersebut, tertera nama yang cukup aneh tapi familiar, "Dekar", barangkali kependekan dari "Pendekar".
"Oh, ini toh yang namanya Mas Dekar itu!" seru Gore, membuat Edha mengernyutkan dahi, sejak kapan Gore menjadi seorang yang SKSD begini.
"Lho, Mas-nya tahu saya tah?" ternyata orang yang disebut Dekar ini sama bingungnya.
"Mas ini yang jadi inspirasi tulisan di dinding sana 'kan?" Gore menunjuk sudut lain ruangan yang sebenarnya tertutupi oleh sekat lain. "Saya lihat ada instalasi unik di sana, bawa nama Pendekar Berperisai Elegi, katanya ia akan mati, haha, ada-ada saja rumah makan ini."
Tawa renyah Gore malah disambut dengan suara nyaring gelas yang pecah, praaang!!!
Ternyata Dekar baru saja menjatuhkan nampan berisi dua minuman dingin milik Gore dan Edha. Dinginnya minuman tersebut otomatis membasahi bagian bawah pakaian mereka bertiga. Masih setengah sadar ada gelas yang pecah, Dekar malah panik bertanya, "Serius Mas? Di mana, di mana tulisannya?"
Namun mendapati wajah Gore dan Edha yang syok melihat tingkah laku tak profesional Dekar, Dekar menyadari kesalahan fatalnya, "Eh... Mas Mba, maafkan saya. Nanti akan kami ganti minumannya beserta bonus lainnya. Mohon maaf ya, Mas Mba. Mohon lupakan pertanyaan saya sebelumnya."
**
"Gore, kenapa sih? Kamu kok belum cerita-cerita," protes Edha, selekas setelah Dekar pergi mengambil lap dan minuman ganti untuk mereka.
"Sorry sorry, awalnya saya kira hal itu tidak penting. Namun, setelah melihat reaksi mas-mas tadi, saya jadi yakin kalau ini adalah pertanda dari dibukanya sebuah kasus baru."
Melihat Edha yang masih tampak mengernyitkan dahi, Gore pun menambah penjelasannya, "Ed, kamu lihat 'kan reaksi mas-mas tadi? Satu hal yang amat jelas, dia tidak tahu bahwa tulisan itu ada sebelumnya. Yup, tulisan ancaman kematian. Barangkali memang saya lah yang pertama kali melihat eksistensi tulisan itu di sana."
"Hal lainnya yang amat jelas adalah bahwa tulisan itu benar ditujukan pada mas-mas tadi, dan mas-mas tadi amat menyadarinya. Pendekar berperisai elegi, istilah itu bisa mengacu pada siapa saja, tapi mas-mas dengan nama Dekar tadi langsung sekaget itu, entah atas bagian yang mana, apakah karena istilahnya atau karena dia sudah menyadari ada yang mengincar darahnya, yang jelas dia menyadari bahwa ancaman itu untuknya."
Edha tampak menarik napas panjang, "Mungkinkah ini hanya sekadar prank? People always do that nowadays."
"Mau prank atau bukan, jika menggunakan ancaman kematian, sungguh harus diinvestigasi, Edha. Kita tidak tahu yang mana yang benar berimbas pada hilangnya nyawa," ujar Gore bijak. Gore dan Edha menyadari bahwa lagi-lagi, ke mana pun mereka pergi, ada kasus yang harus mereka pecahkan. Edha yang sudah berencana tidur di atas kasur empuk selepas semua penat ini pun, terpaksa kembali menyalakan energinya.
"Oke, bawa aku ke sana!"
**
Edha benar-benar membeku melihat ancaman kematian tersebut. Ditulis dengan amat rapi menggunakan crayon warna abu gelap, membuat dinding yang sudah norak kelihatan makin norak.
KEPADA
PENDEKAR BERPERISAI ELEGI,
PADA REMBULAN KE-4 MEI,
ENGKAU 'KAN MATI
"Orang-orang zaman sekarang memang sudah pada gila! Mereka kira apa-apa yang tertulis di novel-novel Arthur Conan Doyle itu beneran normal terjadi apa," kesal Edha, sama sekali tidak habis pikir ada seseorang di dunia nyata yang berniat membuat ancaman kematian bak cerita-cerita misteri terkenal itu. "Kapan pula rembulan ke-4 Mei, hari ke-4 Mei 'kan sudah lewat beberapa pekan lalu. Mungkin ini hanya ancaman basi."
"Itu tiga hari lagi," ujar Gore yakin. "Betul, kalau kita mengasumsikan rembulan adalah bulan yang muncul tiap hari, tanggal 4 Mei tentu sudah lewat lama sekali. Namun, rembulan juga adalah arti lain dari soma, dan soma sendiri adalah hari Senin dalam bahasa Jawa modern. Senin ke-4 Mei, itu berarti tiga hari lagi."
"Sejak kapan kau jadi ahli bahasa begini," gurau Edha.
"Lupa ya Anda kalau saya ini punya darah Jawa," kata Gore bangga, merasa mendapat satu poin lebih unggul dibanding Edha.
"Hm maaf... Mba... Mas... jadi umur saya tinggal... tiga hari lagi?" sebuah suara yang baru mereka kenal kembali menyapa. Gore dan Edha membalikkan badan, mendapati betul dugaan mereka, ada lelaki bernama aneh Dekar di sana. Gore dan Edha pun saling bertatapan, antara bingung dan prihatin harus menjawab apa.
"Tenang," Edha buka suara memecah keheningan, "Kami berdua biasa disewa untuk memecahkan kasus-kasus misteri. Kami akan berusaha menemukan siapa pelakunya, meski entah ini ancaman betulan atau sekadar permainan," janji yang sebenarnya memunculkan konflik batin dalam diri Edha, antara ingin istirahat dari memecahkan kasus, dengan perasaan bersalah jika meninggalkan seseorang yang sedang menghitung mundur umurnya.
"Hmm... tapi sebelum itu," potong Gore, "Mengapa Anda bisa yakin bahwa pesan ini ditujukan untuk Anda?"
"Eh... err... sudah beberapa pekan ini saya mendapatkan ancaman via sms, Mas," ujarnya, agak ragu, "tapi saya kira bukan apa-apa, sampai akhirnya orang ini tahu tempat saya bekerja, saya benar-benar takut, Mas. Saya akan memberi apa saja yang tersisa dari saya, selama Mas dan Mba mau membantu saya menemukan pelakunya, sebelum ia menemukan saya dalam tusukannya."
Gore mendengar itu sembari bergidik, "Nanti tolong perlihatkan sms-sms-nya, sekarang ini mari kita pecahkan dulu yang terdekat: kertas itu," Gore menunjuk kertas yang tergantung pada paku berkarat di sudut dinding yang sama.
Edha meraih kertas putih tersebut, di sana terdapat beberapa tempelan potongan kertas lainnya, terlihat seperti kliping namun jauh lebih berantakan.
Temui aku, sebelum aku menemukanmu.
Sebagaimana kamu menjengkelkanku, aku akan meresahkanmu.
Kalau kamu cukup pintar, mungkin semua ini akan memberimu petunjuk.
Begitulah isi tulisan pada kertas utamanya. Saat Edha berusaha merapihkan tempelan kliping-kliping yang ada di sana, Edha menyadari kliping-kliping itu bisa dicabut dari kertas utamanya, sengaja tidak ditempel secara sempurna. Edha kemudian menyusun kliping-kliping tersebut di atas salah satu meja rumah makan, lalu berusaha memahaminya.
Brrtt... brrt... Getar bunyi ponsel terdengar samar, Dekar yang merasakan getaran itu hadir dari sakunya, mengambil ponselnya dengan sigap. Beberapa detik setelah membaca pesan itu, tangannya gemetar. Ponselnya terjatuh. Wajah Dekar makin pucat. Ia membeku.
Gore mengambil ponsel yang Dekar abaikan di lantai. Gore melihat sekeliling, lalu menatap Edha dengan berjuta makna, ia mengeraskan bacaannya terhadap pesan itu,
Bagaimana, sudah kau baca 'kan, Pendekar?
Menghubungi polisi akan membuat nyawamu melayang lebih cepat.
Kamu tahu aku mengawasimu.
Pesan itu baru saja membuktikan bahwa pengancam kematian ini tengah benar-benar mengawasi mereka.
***
Bersambung ke Ch. 3
The Detours We Need
"I don't get many things right the first time,In fact, I am told that a lot.Now I know all the wrong turns,The stumbles and falls brought me here."
(Ben Folds - The Luckiest)
sudut pandang cahaya pagi |
Teruntuk Cahayanya Nuzul
"Nuzul ayo kita saling mendoakan today. Tapi jangan bilang-bilang yaa biar diaminkan." - Teteh, 11 Desember 2019
bersama cahayanya Nuzul, selepas SSC 13, 5 November 2017 |
I have had playmates, I have had companions,In my days of childhood, in my joyful school-days,All, all are gone, the old familiar faces.(Petikan puisi "Old Familiar Faces")
Sebab aku pernah.
Cerpen: Dendrit
Langit Purwakarta, gambar oleh panitia LMDN199
Deru mobil
sedan menghempas gemuruh hujan sore itu. Kedua lampu sennya berkedap-kedip
syahdu bersama riakan air hujan. Tidak ada jalan yang cukup penting untuk bisa
disebut jalan protokol di kampung itu. Tidak ada pula acara pemotongan pita
yang diadakan pejabat setempat. Namun, sore ini anak langit pulang ke bumi
dengan membawa tamu lain. Pria yang sudah lama menghilang –atau mengasingkan
diri— dari kesyahduan kampung itu, kini pria dengan setelan jas hitam itu
bersiap keluar dari mobil sedan dinasnya. Plat nomor merahnya terlihat sangat
mencolok meski dalam guyuran hujan.
Satu persatu tetangga yang mendengar suara deru mobil, berhamburan keluar rumah. Maklum, sebelumnya jarang sekali ada mobil datang ke kampung mereka. Bagaimana mungkin masuk kampung yang jalannya saja berhamburan kotoran ayam. Pak Camat yang kemarin datang untuk blusukan pun terpaksa jalan kaki ke dalam kampung supaya mobil rendahnya tidak rusak akibat melewati medan off-road di kampung mereka.
Cerpen: Tempias Hujan Senja Kemarin
senja di Ciwidey |
Elok. Satu kata
yang dapat mewakilkan keindahan mata itu. Sekilas terpancar cahaya segemilang
mentari dari sana. Mata itu, walau tampak kuyu atas perjuangan berdarahnya
selama hampir 30 tahun. Tapi kurasa memang semua orang benar tentangnya, tak
ada yang dapat mengalahkan kegemilangan matanya.
“Emm…
Kia,” manusia dengan mata gemilang itu sontak memanggil namaku.
“Eh..
Ya, ada apa?” aku tergagap, malu telah tertangkap basah sedang memperhatikan
mata gemilang manusia di hadapanku.
Manusia bermata gemilang itu menghembuskan nafas pelan. “Kau tahu, aku mungkin tak akan pernah bisa seperti ini tanpamu. Sungguh, Allah Maha Baik mempertemukan kita. Aku sangat bersyukur punya sahabat sepertimu, Kia,” katanya lagi. Sesekali angin yang masuk lewat celah-celah jendela kafe berhembus pelan menyapa wajahnya. Mengayunkan ujung-ujung kerudungnya yang telah basah terlebih dahulu oleh air mata. “Terimakasih, Kia. Kau selalu menjadi teman yang terbaik,” tambahnya lagi diakhiri tawa khasnya. Renyah dan bersahabat.